Oleh Nanang Qosim
Bagi kebanyakan orang, termasuk di lingkungan para pelajar di sekolah, hitungan menambah, mengurangi, mengalikan, dan menjumlahkan jauh lebih mudah daripada hitung membagi. Akan tetapi yang cukup menarik di sini adalah bahwa ternyata kesulitan membagi itu juga tergambar dalam sikap kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari.
Memang dalam kehidupan ini yang paling sulit dilakukan adalah berbagi. Lihatlah kenyataan dewasa ini, banyak sekali orang yang suka menghitung-hitung kepemilikan dan pendapatannya dan bahkan pendapatan orang lain dengan mengeluarkan energi dan waktu yang tidak sedikit. Akan tetapi sangat sulit yang dilakukan adalah membagi sebagian dari apa yang dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya.
Kesulitan menegakkan budaya berbagi itu akan diperparah oleh tidak adanya upaya para orang-orang tua menginternalisasikan sikap berbagi itu pada anak-anak mereka. Allah Swt., menyindir kecenderungan menghitung-hitung kekayaan itu sebagai tradisi abadi manusia. Sebagaimana firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. sampai kamu masuk ke dalam kubur. (QS. Al-Takâsur:1-2).
Memandang Mulia
Islam memandang mulia kedudukan orang-orang yang memiliki kekayaan (aghniyâ’). Sebab mereka dapat memberi manfaat besar bagi lingkungan dan deerah di mana ia hidup. Bahkan dalam perspektif Islam, manusia terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi yang lain (khairunnâs ‘anfa’uhumlinnâs). Sebab, seperti disebut Nabi, orang kaya merupakan salah satu pilar atau sendi bangunan masyarakat yang sejahtera, disamping penguasa, ulama, dan do’a para fakir miskin (al-Hadîs).
Banyak contoh para pemimpin yang mendaratkan budaya berbagi itu. Khadijah, ummul mikminîn dan Usman ibnu Affân telah mendaratkan budaya berbagi itu dalam kehidupan mereka. Dari jajaran orang kaya penguasa terlihat Umar inbu Abdul Aziz, yang sering disebut sebagai khulafaurrasyidin yang kelima, dan Harun al-Rasyid pada dinasti Abbasiyah. Mereka telah mendaratkan budaya berbagi itu dalam kehidupan dan dalam pemberdayaan masyarakat mereka.
Islam memandang mulia orang yang memiliki budaya berbagi, dan memperingatkan bahwa budaya berbagi itu tidak hanya harus ditegakkan oleh orang yang berkecukupan melainkan oleh setiap orang. Bedanya hanya terdapat pada kuantitas dan kualitas yang dibaginya. Sebab dalam apa yang mereka miliki terdapat hak orang lain yang membutuhkan.
Kelalaian seseorang untuk berbagi, apalagi secara sengaja tidak mau berbagi, akan menyebabkan dirinya teralienasi dari manusia dan Tuhan, yang kurang lebih dapat diillustrasikan sebagai berikut: “Anda akan menemuinya jauh dari Tuhan, dari Nabi, dan dari manusia. Akan anda temui dia selalu sombong dan memandang orang sebelah mata. Jika bicara selalu menghina dan melukai perasaan orang lain. Jika memberi ia pamrih dan mendikte. Dia selalu minta agar orang lain berlutut dan tunduk padanya. Rasa kepedulian tidak pernah bersemi dalam perilakunya”. Terang saja bahwa keengganan sebagian orang untuk berbagi akan memunculkan kecemburuan dan berbagai kerawanan sosial, yang pada akhirnya mengganggu ketenangan dan kenyamanan masyarakat, termasuk para pemilik harta.
Menumbuhkan Berbagi
Ramadhan adalah momentum untuk menumbuhkan kembali budaya berbagi di tengah masyarakat kita, karena di sini seorang Muslim diminta untuk dapat mendaratkan budaya berbagi secara mengesankan. Rasulullah Saw meminta orang yang berpuasa untuk membagi bukaannya pada jirannya, dan di bagian akhir Ramadhan seorang Muslim diminta untuk menyepurnakan ibadahnya dengan membayar zakat fitrah. Seorang Muslim yang memiliki budaya berbagi paling tidak ditandai oleh empat karakternya.
Pertama, ia yakin sepenuhnya bahwa pemilik hakiki dari kekayaannya adalah Allah SWT, yang ia miliki adalah hak guna pakai. Dengan demikian ia tidak penah sombong karena kepemilikannya. Kedua, orang yang memiliki budaya berbagi selalu sadar bahwa fungsinya hanyalah fungsi distributif. Oleh karenanya ia selalu berusaha meningkatkan kuantitas dan kualitas kekayaannya secara legal, kemudian memiliki kepedulian dengan membagi hak-hak orang lain yang ada dalam hartanya.
Ketiga, humanistik, dia sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa. Kalaupun ia berbeda dengan yang lain, bukan dalam hal kemanusiaan, melainkan kewajiban untuk menyantuni mereka.
Dengan demikian ia tidak akan menganggap enteng orang ia pernah atau sering memberi kepadanya. Keempat, amanah, memiliki kesadaran bahwa apa yang dimilikinya adalah titipan Tuhan yang sewaktu-waktu dapat diambil-Nya. Untuk itu ia akan bertindak sebagai pemegang amanah yang baik, menggunakan kekayaannya hanya untuk sesuatu yang direstui pemiliknya, Allah Swt.
Begitulah, kita perlu menginternalisasikan budaya berbagi ini pada segenap anggota keluarga. Berilah sedikit harta agar mereka langsung memberikannya kepada yang membutuhkan. Beri pula pembekalan pada mereka bahwa pemberian pada yang lain bukan berdasar belas kasihan tetapi berbasis kewajiban; kita wajib membaginya dan kita tidak berhak memandang enteng terhadap orang yang kita pernah atau sering memberi kepadanya.
Penulis adalah peneliti di Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kota Semarang, Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang