Opini

Puasa Orang Mbeling

Sabtu, 22 Oktober 2005 | 06:05 WIB

Oleh: Muhammad Adnan

SAYA senang membaca tulisan Rektor IAIN Walisongo Semarang, Pak Abdul Djamil pada rubrik hikmah Ramadan (Suara Merdeka) yang berjudul "Puasa Orang Jawa".

<>

Di samping bahasanya yang mudah dipahami, menggelitik, menjelaskan realita, juga karena Pak Djamil sebenamya sedang ngrasani dirinya sendiri yang juga orang Jawa. Jangan kaget pembaca, meski bernama Abdul Djamil, rektor kita ini tulen orang Jawa, dia bukan orang Arab meski mungkin punya tetangga atau saudara jauh keturunan Arab. Bahkan dia tidak hanya Jawa tetapi orang Jawa yang mengerti segala sesuatu tentang orang Jawa. Status mengerti ini penting agar saat Pak Djamil ngonceki dan mbelejeti masih bisa dimaklumi karena ke-mengerti-annya tersebut.

Karena itu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan tulisannya tersebut. Bahkan harus diakui, sebagai sebuah tulisan, telah berhasil karena merangsang syahwat orang lain untuk menanggapi atau setidaknya membacanya. Saya yang Jawa tapi tidak tulen dan tidak banyak mengerti tentang orang Jawa sudah pasti tidak berani menyalahkan tulisan tersebut, karena bisa dianggap su'ul adab atau kurang unggah-ungguh dan tata krama. Saya hanya ingin urun rembuk untuk memperpanjang tulisan tersebut dengan memberikan pikiran alternatif khususnya pada orang yang dianggap dalam tulisan tersebut blaka suta.

Dalam benak saya, fenomena sosial menyambut puasa dan laku ibadah lainnya seperti yang diceritakan dalam tulisan tersebut sebenarnya bukan khas milik orang Jawa. Jika ada orang Jawa yang kayak begitu, saya yakin bukan karena dia Jawa tapi karena dia adalah orang mbeling yang beragama Islam dan beretnis Jawa. Saya tidak sedang mbelani orang Jawa, tapi ingin mengatakan bahwa orang Islam mbeling bukan monopoli orang Jawa. Kenyataan mayoritas Islamnya orang Jawa itu mbeling, khususnya untuk laku puasa, itu persoalan lain dan jadi tanggung jawab Pak Djamil yang sangat mengerti tentang orang Jawa.

Ketika Nabi Muhammad SAW mengucapkan sabdanya, "Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illal ju'i wal athasyi " Betapa banyak orang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga, tentu tidak hanya ditujukan kepada orang Jawa, bahkan saya tidak tahu apakah orang Jawa saat itu sudah ada atau belum. Sabda Nabi tersebut, setidak-tidaknya mengindikasikan bahwa banyak umatnya yang mbeling, susah-payah ngelakoni puasa tetapi muspra tanpa pahala.

Saya punya kawan orang Bangladesh saat masih belajar di Hiroshima University. Khawatir hanya mendapatkan haus dan lapar, dia sama sekali tidak pernah berpuasa Ramadan. Orang seperti ini menurut saya Islamnya lebih parah dari orang Jawa. Dia tidak perlu merayakan Idul Fitri karena setiap hari dia sudah ber-idul fitri.

Demikian pula ketika Nabi bersabda, "Wa kam min qaimin laisa lahu min qiyamihi illas sahr " Betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam (tarawih dll), tetapi hanya mendapatkan capai dan melek malam (begadang). Hadis ini tentu saja bukan untuk menyindir para aktivis shalat tarawih orang Jawa saja, apalagi yang sudah bersusah-payah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Juga bukan untuk mempersoalkan para pejabat yang beragama Islam dan orang Jawa, yang begitu semangat ikut shalat tarawih saat masih menjadi pejabat dan hilang dari peredaran setelah selesai tugasnya. Memang susah bagi orang Islam menjadi pejabat di negeri kita ini, sampai urusan shalat sunnah pun harus diatur oleh protokoler. Apalagi jika ukuran ke-Islaman kemudian diukur dari rajinnya ngelakoni shalat sunnah....susah tenan!

Ketika menangani Islamic Center di Hiroshima, saya malah punya kawan dari Indonesia Timur, artinya bukan etnis Jawa, yang tidak pernah ikut shalat tarawih bersama, tetapi rajinnya luar biasa pada saat shalat Idul Fitri. Bahkan siap menjadi khotib dan ikut sibuk menggelar tikar di halaman kampus. Rupanya dia khawatir kalau hanya mendapatkan ganjaran capai dan lelah maka dia tinggalkan shalat tarawih. Orang seperti ini, Islamnya lebih parah daripada orang Jawa yang bersedia berdesakan mencari saf/barisan pertama agar dekat pejabat, meskipun hanya semalam saja hal itu dilakukan.

Pada saat berkunjung ke Universitas Millia Islamia di New Delhi beberapa tahun lalu, saya berkesempatan sha