Pengalaman sejarah yang panjang sangat mempengaruhi pilihan tersebut selain pengaruh ajaran agama yang memang berbeda.
Achmad Murtafi Haris
Kolomnis
Hidup di era kini kurang menguntungkan bagi kelompok pengusung identitas primordial. Seperti pejuang identitas suku, agama, dan ras. Terutama di negara republik, maka identitas itu tidak relevan dengan semangat kebangsaan. Atau setidaknya negara masih membutuhkan identitas nasional yang mesti dikedepankan dan dibangun bersama yang konsekuensinya penepian identitas primordial.
Berbeda dari negara bersistem kerajaan, identitas agama, suku, dan ras mendapat legitimasinya dan posisinya yang formal dan legal. Sebut saja kerajaan Malaysia. Maka ia bernama ‘Malay’ yang berarti suku Melayu. Artinya bahwa ini negara aslinya ‘milik’ dan dipimpin oleh orang Melayu yang tidak mungkin diganti oleh “orang lain” demi keadilan politik, seumpama. Kerajaan adalah sistem kekuasaan yang mewariskannya kepada anak, dengan begitu maka selamanya peluang itu hanya dimiliki oleh keluarga raja. Dengan pertuanan tersebut, suku Melayu memiliki privilese (hak istimewa) dibanding suku dan ras yang lain. Tidak heran jika Dasar Ekonomi Baru (DEB, 1971) yang digulirkan oleh Mahathir Muhammad memberikan akses perekonomian lebih kepada rakyat Melayu (bumiputera, 69%) tidak mendapat perlawanan dari kalangan non-Melayu. Lantaran mereka, keturunan China (7%) dan India (1%) sadar, bahwa orang Melayu adalah tuan di negara ini dan layak mendapat perhatian lebih.
Selain suku penguasa (Melayu), agama yang dianut oleh pribumi Melayu pun mendapat keistimewaan. Islam ditetapkan sebagai agama federasi atau agama resmi negara. Dalam Konstitusi Malaysia artikel 160 disebutkan bahwa warga Melayu adalah Muslim yang berarti Islam harus dipeluk oleh warga Melayu. Kalau tidak maka dia akan kehilangan privilese sebagai bumiputra.
Apa yang terjadi di Malaysia itu banyak mendapat sorotan publik internasional terkait diskriminasi Melayu dan non-Melayu khususnya terkait kebebasan beragama. Tapi Malaysia tidak bergeming karena sistem kerajaan memberikan peluang itu.
Sedangkan di negara Republik, peluang itu meski ada, ia tidak sebesar di sistem kerajaan yang melegalkan dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu yang berafiliasi pada identitas keluarga raja. Sistem republik pada dasarnya adalah anti primordialisme dan merupakan anti-tesis dari sistem kerajaan. Sistem ini mendasarkan pada rotasi kepemimpinan melalui pemilu dan tidak melegalkan dominasi kelompok primordial tertentu dalam sistem politik.
Meski demikian, dengan tetap menolak hak pewarisan kursi kekuasaan kepada anak kandung penguasa, beberapa negara republik memberi tambahan atribut identitas agama pada sistem republiknya. Seperti Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, Republik Islam Mauritania, Republik Islam Afghanistan, dan Republik Islam Gambia. Sedangkan di sebagian lain, menyebutkan Islam sebagai agama resmi negara. Seperti Iraq, Yaman, Sudan, Aljazair, Comoro, dan Maldives.
Jika itu di dunia Islam, di negara Barat, Amerika dan Eropa yang berbudaya Yudeo-Kristiani, tidak ada negara bernama Republik Kristen di abad 21 ini. Namun, Kristen sebagai agama resmi negara dianut oleh Argentina, Kostarika, Yunani, Armenia, Irlandia, Samoa, dan Malta. Penolakan penggunaan identitas Kristen di negara-negara Eropa didasarkan pada pemikiran bahwa antara agama Kristen dan republikanisme tidak kompatibel satu sama lain. Agama mendasarkan pada ketundukan dan tujuan imaterial atau non-duniawi (unworldly) sementara republikanisme didasarkan pada partisipasi, kesepakatan dan tujuan material atau duniawi, seperti kata Jean-Jacques Rousseau (w. 1778) dalam On the Social Contract.
Niccolo Machiavelli (w. 1527) dalam Discoursi mengatakan bahwa agama Kristen dan politik jika bersatu maka akan terjadi korupsi yang justru tidak baik bagi agama dan sistem politik. Meski pandangan sekuler menolak pelibatan agama dalam politik, peran tokoh puritan Kristen John Calvin (pendiri Protestantisme bersama Martin Luther) dalam pendirian republikanisme dan penjatuhan sistem kerajaan di Eropa tidaklah dipungkiri.
Sebenarnya, Calvin tidak melarang sistem kerajaan. Namun dia menolak sistem hierarki atau feodalisme kerajaan dan memilih memperjuangkan egalitarianisme. Pejuang republikan di Inggris dan Belanda adalah pengikut Calvin. Pada 1566 terjadi revolusi di Belanda dan berdiri Dutch Republic untuk menjatuhkan penguasa Spanyol, Spanish Habsburg, di sana. Republik Belanda berlanjut hingga 1795. Pada 1641 di Inggris terjadi perang sipil yang dipimpin oleh kaum puritan dengan didanai oleh kaum pedagang Inggris. Perjuangan mereka menumbangkan kerajaan berhasil hingga terbunuhnya Raja Charles I. Republik Persemakmuran Inggris (English Commonwealth) berlangsung tidak lama hingga akhirnya kerajaan bangun kembali.
Pengaruh Calvinisme terhadap republikanisme Eropa vis a vis Katolik yang pro kerajaan, tidak menghasilkan penguatan politik identitas di kalangan negara Republik di Eropa. Hal ini tidaklah sama dengan republikanisme dalam Islam yang sebagian mendukung pencantuman identitas Islam dalam konstitusi negara. Seperti yang disampaikan sebelumnya, setidaknya ada 6 negara Republik Islam, 19 negara menyebutkan Islam sebagai agama negara, 6 negara tidak menyebut Islam sebagai agama negara (termasuk Indonesia) dan 18 negara mayoritas Muslim yang menyebut dirinya sekuler seperti beberapa negara di federasi Rusia.
Melihat komposisi pencantuman identitas Islam dalam konstitusi negara, tampak bahwa di dunia Islam antara yang pro dan kontra politik identitas relatif seimbang. Hal ini berbeda dari negara mayoritas Kristen yang mayoritas kontra politik identitas dan mendukung sekularisme secara penuh alias kaffah. Pengalaman sejarah yang panjang sangat mempengaruhi pilihan tersebut selain pengaruh ajaran agama yang memang berbeda. Sejarah peradaban Islam dan Kristen membentuk paradigma politik yang berbeda antara umat Kristiani dan Muslim. Seribu tahun Eropa hidup di bawah kekuasaan gereja dan nasib buruk yang dialami sepanjang itu (the Dark Age), membuat pemikir Eropa mantap jiwa dengan pemisahan agama dari politik. Sementara dunia Islam yang tidak mengalami hidup di bawah kekuasaan kaum agamawan, karena Islam tidak memiliki konsep lapisan agamawan seperti dalam Katolik dan Hindu (Brahmana) menjadikan mereka tidak perlu menjauhkan Islam dari politik.
Terlepas dari pro-kontra pencantuman agama dalam konstitusi negara, apa yang dicapai kaum sekuler di Barat yang terbukti menghasilkan peradaban politik yang adil dan kehidupan sosial yang makmur perlu menjadi pelajaran bagi semua. Bahwa identitas atau nama apa pun yang disematkan pada objek tertentu, tidak menjamin terlaksananya nilai ideal dari identitas yang disandang. Dan tidak pula mereka yang anti pencantuman identitas tertentu, apakah Islam atau Kristen akan tidak menjalankan nilai yang diajarkan oleh agama. Ada yang namanya Felix (nama Barat) tapi rajin salat. Sementara ada yang namanya Arab tapi tidak rajin salat. Kemampuan menjalankan ajaran agama adalah yang menentukan kualitas keberagamaan seseorang bukan pencantuman identitas agama dalam konstitusi. Kata pepatah Arab: Lisan al-hal afsah min lisan al-maqal (bahasa perbuatan lebih kuat dari bahasa omongan).
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
3
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
4
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
5
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
6
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
Terkini
Lihat Semua