Opini

Sedekah Laut dalam Perspektif Vernakularisasi

Selasa, 16 Oktober 2018 | 14:00 WIB

Sedekah Laut dalam Perspektif Vernakularisasi

foto: Tribunjogja

Oleh Suwarsa

Sedekah Bumi dan Laut merupakan vernakularisasi, perpaduan antara tradisi Islam dengan tradisi di Nusantara. Kata sedekah (صدقة) merupakan terminus dalam Islam. Agus Sunyoto menyebutkan upacara sedekah bumi dan laut mulai berlangsung pasca-kedatangan Islam. Perpaduan antara tradisi Semit dan Nusantara. Tradisi ini disinyalir sebagai adaptasi dari kebiasaan pengikut Imam Ali sebagai luapan empati dan bela sungkawa atas tragedi Karbala.

Merunut kepada beberapa teori masuknya Islam ke Nusantara di mana salah satu teori (Teori Sufi) menyebutkan bahwa Islam pertama kali masuk ke Nusantara disebarkan secara personal di wilayah pesisir pantai oleh para sufi pengembara yang berasal dari Persia (Iran). Kesulitan terbesar menyebarkan ajaran Islam dari pendekatan personal menjadi komunal dan selanjutnya konstitusional (pendirian kerajaan-kerajaan Islam) dieliminir oleh para penyebar Islam melalui pendekatan sosial kultural.

Penyebaran Islam dari wilayah pesisir kemudian memasuki wilayah pedalaman tidak sesingkat yang kita duga. Para penyebar Islam memerlukan waktu lebih dari 400 tahun karena mengalami kesulitan mentransformasikan ajaran jika tidak dilakukan melalui pendekatan sosial kultural tadi.

Apakah sedekah bumi dan laut dikategorikan perbuatan syirik (menyekutukan) Allah? Mencermati persoalan ini kita dituntut untuk bersikap jernih harus melihatnya dari berbagai sisi. 

Pertama, Islam merupakan basis teologis, di dalamnya mengandung ajaran tauhid. Kata tauhid pun sering kita asumsikan dengan angka positif dan matematis. Padahal jika dikaji lebih jauh tauhid memiliki arti utuh. Dengan bahasa sederhana dapat disebutkan kehadiran manusia dan alam ini tidak terlepas dari ada-Nya. Dia hadir di setiap kondisi dan keadaan, sumber dari segala-galanya.

Kedua, Islam sebagai basis nilai. Landasan baik dan buruk ada dalam agama ini. Sebagai landasan nilai tentu saja akan mewarnai segala apa pun. Tidak akan didapati dalam kitab suci dan ajaran Islam bagaimana tata cara membuat mobil, membuat akun Facebook, membuat dan mengatur lalu lintas. Kita tidak akan pernah mendapati dalil bagaimana manusia membuat pesawat ulang-alik di dalam Al-Qur'an. 

Namun sebagai basis nilai, Islam sering mengajak kepada manusia agar secara terus-menerus mengepakkan sayap dan menembus cakrawala dunia ini. Kita juga tidak akan pernah menemukan dalam kitab suci dan rujukan lain tentang tradisi, kebiasan kecuali melalui proses penelaahan dan pembelajaran.

Sebagai basis nilai, Islam tidak pernah mengajarkan kepada siapa pun agar dengan semena-mena menyalahkan kepada pihak yang tidak sejalan. Rasulullah tidak pernah menyebut sesat kepada siapa pun karena penyebutan sesat itu beliau terima langsung di dalam wahyu, misalnya: mereka adalah orang-orang yang sesat, tidak mendapatkan petunjuk. 

Sebelum wahyu seperti ini turun Rasulullah menyebut mereka dengan kalimat: Mereka belum tahu/mengerti. Sementara ini, diri kita dengan sangat mudah menyebut sesat, musyrik, dan Jahiliyah kepada orang lain tanpa berpikir panjang terhadap ucapan tersebut hanya karena menganggap Islam sebagai basis teologis tanpa memperhatikan aspek keislaman secara utuh.

Yang harus kita sadari adalah hidup tidak hanya sekadar hitam dan putih tetapi banyak warna dan warni. Tengoklah ke dalam diri, belajarlah ke dalam bukan selalu melihat dan belajar ke luar. Bukankah Allah lebih dekat dari urat leher kita?


Penulis adalah esais, tinggal di Kota Sukabumi