Syafawi Ahmad Qadzafi
Kolomnis
Bayangkan kamu tinggal di sebuah negara atau benua yang tidak memperbolehkanmu bekerja sebagai pegawai (negeri maupun swasta) hanya karena ras atau sukumu. Melamar pekerjaan di mana-mana tidak diterima dan tidak dipercaya karena sesuatu yang bukan pilihanmu. Risiko tidak punya pekerjaan, tidak punya uang, tidak punya penghidupan yang layak lamat-lamat muncul secara komunal.
Oke. Lantas, apa yang tersisa kemudian?
Ya, benar. Hanya satu jalan keluarnya; jadi pedagang. Dengan berdagang kamu tidak perlu terikat dengan negara atau dengan orang lain.
Baiklah. Periode berlanjut. Bos-bos baru bermunculan. Dari awalnya hanya pengusaha kecil, lama-lama ras yang tadinya tidak diterima ini mulai besar. Tumbuh jadi roda ekonomi raksasa. Menguasai keuangan, perbankan, menguasai pasar, dan mulai memperkerjakan pribumi ras-ras endemik Eropa.
Cerita ini perlu saya hentikan sampai di sini agar tidak jadi kisah sejarah bangsa Yahudi di Eropa.
Cerita di atas merupakan latar kisah yang singkat, mengenai gambaran sederhana, bagaimana Yahudi Eropa menguasai ekonomi pada masa sebelum Perang Dunia Pertama dan Kedua (meski sebenarnya juga masih menguasai ekonomi juga sampai sekarang).
Cerita di atas adalah periode singkat ketika Adolf Hitler muda merasa bahwa kebangkrutan total Kerajaan Jerman usai kalah dari Perang Dunia Pertama, muncul karena adanya orang-orang “non-pribumi” yang menguasai ekonomi mereka.
Orang-orang itu adalah Yahudi. Kambing hitam yang sempurna: tidak berkulit putih, bertutur dengan bahasa yang berbeda, dan mengelompok menjadi komunitas yang terpisah.
Sebelum merasa bahwa Ras Jerman adalah ras superior (dengan cerita fiktif Adolf tentang kemurnian Ras Arya dan lain sebagainya), si kumis Charlie Chaplin ini lebih dulu menemukan Yahudi sebagai kubu yang “seharusnya” inferior dalam skema biner tersebut. Pandangan yang lantas diidentifikasi menjadi pandangan anti-semit.
Pertanyaannya kemudian, siapa memangnya orang semit itu?
Istilah semit pada mulanya muncul sebagai istilah untuk merujuk pada kelompok bangsa yang menuturkan bahasa serumpun di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Jika merujuk pada jurnal Babylonian and Asyyrian: A History of Akkadian yang ditulis oleh Andrew George, semit ini adalah rumpun bangsa yang menuturkan bahasa dari sisa-sisa Peradaban Mesopotamia (peradaban 10.000-6.000 tahun yang lalu). Beberapa bahasa yang masuk di sana adalah Bahasa Ibrani, Ugaritic, Aramaik, Arab, Amhar (Ethiopia), dan Akkadia.
Berdasar literatur sejarah itu, maka bisa dikatakan pada periode itu orang-orang Eropa seperti Adolf melihat Yahudi bukanlah orang kulit putih, melainkan bangsa Timur Tengah yang bermigrasi ke wilayah mereka.
Pandangan rasial ini lantas menurunkan konsekuensi bahwa bangsa Timur Tengah yang tinggal di Eropa saat itu tidak dipandang sebagai manusia setara. Pandangan yang lantas melahirkan ide holocaust sebagai final solution untuk memurnikan Eropa dari orang-orang Timur Tengah (baca: Yahudi).
Gerakan ini pada perkembangannya kemudian dilabeli dengan istilah “anti-semit” atau jika dibaca secara terjemahan bahasa kaku adalah “anti terhadap orang-orang Timur Tengah berbahasa rumpun Semit dari nenek moyang Peradaban Mesopotamia”.
Jika merujuk pada istilah semit ini, maka sudah seharusnya pandangan anti-semit itu memasukkan orang-orang Palestina ke dalamnya juga. Oh, sebentar—maaf—bukan “memasukkan” ke dalamnya, tapi memang orang-orang Palestina sudah ada di dalam kategori tersebut—bahkan sejak awal mula istilah semit dimunculkan oleh August Ludwig dari Gottingen School of History pada 1781.
Orang-orang Palestina sejak awal memang penutur bahasa Arab, tinggal di area sisa-sisa Peradaban Mesopotamia, dan tinggal di sekitaran Jerusalem lebih dulu dari para Zionis Eropa yang secara serampangan mengklaim tanah nenek moyang hanya berdasar dari politisasi agama di kitab suci mereka.
Ironisnya lagi, Zionis Eropa yang datang ke tanah Palestina ini pada dasarnya selalu berlindung pada istilah anti-semit ini untuk menangkal segala macam kritik-kritik yang datang ke mereka. Jika Barat mengkritik mereka, dengan mudah mereka akan menyebut kritik itu sebagai ujaran anti-semit.
Zionis melemparkan tuduhan anti-semit juga ke para pemrotes kebijakan-kebijakan Pemerintah Israel yang melakukan genosida ke Gaza belakangan ini. Bahkan meskipun yang mengkritik itu adalah kampus-kampus Ivy League seperti Colombia University, New York University, University of California, Harvard University, Yale University, hingga MIT.
Zionis tidak peduli, kalau ada yang mengkritik kebijakan Israel, itu artinya mereka anti-semit dan rasis. Tuduhan demi tuduhan ini meluncur, seolah-olah istilah semit hanya milik Zionis dan hanya pro-Zionis saja yang boleh menggunakannya sebagai “semitism-shield”.
Lucunya, jangankan kampus-kampus di Amerika Serikat, bahkan orang-orang Yahudi sendiri tidak bisa luput dari label anti-semit kalau mereka mengkritik Israel.
Tanyakan itu pada Profesor Norman Finkelstein, yang pernah menyebut bahwa sudah menjadi hak bagi orang Palestina untuk membenci penjajahnya. Finkelstein berkaca dari kakek-neneknya yang selalu membenci orang Jerman karena sejarah NAZI-nya. Finkelstein bahkan dengan berani menyebut bahwa Gaza dan Tepi Barat adalah Kamp Konsentrasi. Istilah yang sama untuk Kamp Konsentrasi milik NAZI.
Atau ada Ahli Psikolog Gabor Mate yang dengan tulus meminta Piers Morgan, pembawa acara Piers Morgan Uncensored, untuk berkunjung ke Gaza dan Tepi Barat agar bisa menyaksikan secara langsung bagaimana perilaku apartheid yang dilakukan Pemerintah Israel. Kunjungan—yang menurut Mate—akan bisa membuat Morgan punya pandangan lebih adil soal krisis kemanusiaan di Palestina ini.
Label anti-semit kepada kedua pakar Yahudi ini bahkan menunjukkan bahwa tidak hanya mengklaim tanah-tanah di Palestina, Zionis juga mengklaim istilah “semit” hanya boleh digunakan oleh mereka. Padahal perilaku pemerintahan Israel yang membunuh tanpa pandang bulu warga Palestina secara terminologi bahasa dan akar sejarah merupakan tindakan paling nyata dari istilah anti-semit.
Dan Israel melakukan itu semua karena mereka merasa menjadi ras superior di muka bumi. Ras pilihan Tuhan. Ras paling murni yang paling berhak atas tanah Palestina. Dan hanya karena itu, mereka merasa bisa melakukan apapun terhadap bangsa lain tanpa menerima konsekuensi apapun dari dunia.
Mirip seperti yang dilakukan oleh seorang seniman gagal di Kerajaan Jerman, lebih dari setengah abad yang lalu. Merasa rasnya paling superior, paling murni, dan merasa berhak melakukan apapun terhadap ras lain. Lalu melahirkan final solution yang berdarah-darah itu di tanah Eropa.
Bedanya, yang satu melakukannya di tanah airnya sendiri, yang satu melakukannya di tanah orang.
Oke. Jika sudah begitu, siapa yang lebih anti-semit sekarang?
Syafawi Ahmad Qadzafi, Koordinator Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI), UIN Raden Mas Said Surakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua