Opini

Tantangan Integrasi Keilmuan (1): Problem Otoritas

Rabu, 10 Agustus 2022 | 16:00 WIB

Tantangan Integrasi Keilmuan (1): Problem Otoritas

Ilustrasi keilmuan. (Foto: NU Online)

Polemik antara sains dan agama terus berlanjut. Dominasi peradaban sains saat ini dan bangkitnya kesadaran beragama menjadikan perdebatan itu kian lantang. Pengetahuan yang banyak beredar yang berawal dari temuan sains digugat.


Kaum agamawan menolak temuan sains karena bertolak dari akal semata tanpa merujuk pada kitab suci barang secuil. Padahal, bagi agamawan, akal lemah dan tidak mampu menjawab misteri kehidupan yang pelik. Kitab sucilah yang mampu menjawabnya. Seperti tentang asal muasal alam dan manusia (Genesis) dan akhir ceritanya kelak (Armagedon).  


Konflik agama dan sains bergaung bertalu-talu saat Nicolaus Copernicus (1474-1543) dari Jerman dan Galileo Galilei (1564-1642) dari Italia menyampaikan pandangannya bahwa pusat galaksi bukanlah bumi (geosentrisme), tapi matahari (heliosentrisme). Bumi berputar mengelilingi matahari bukan sebaliknya seperti yang selama ini dianut. Yang terbesar konflik itu, selain dari temuan yang melawan arus, ia mendasarkannya pada pengamatan inderawi dan bukan pada kitab suci seperti selama ini. Ia juga mengambil alih posisi gereja sebagai otoritas tunggal dalam menjelaskan fenomena alam. Ilmu agama adalah Queen of Sciences yang tidak boleh siapa pun menyelisihinya.  


Pergeseran otoritas memporak-porandakan tatanan sosial masyarakat Eropa saat itu. Petuah Gereja tak lagi berlaku dan kitab suci dikerdilkan. Revolusi Sains lahir dan mencerabut akar gereja dari peradaban Eropa.


Respons gereja Katolik terhadap Copernicus dan Galileo meski keras, tidak sampai menghukum mati. Dalam pengadilan gereja (inquisition) mereka dinyatakan sesat. Copernicus meninggal pada usia 70 tahun karena stroke sementara Galileo meninggal di tahanan rumah karena sakit. 


Konflik diametral antara pemimpin gereja dan ilmuwan di kemudian hari, setelah beberapa abad berlalu, mengambil bentuk yang berbeda. Mereka tidak lagi menyikapinya secara dogmatis, tapi mencoba bertarung secara ilmiah meski tetap membela doktrin gereja (pseudosains). Saat menghadapi temuan Charles Darwin (1809-1882) akan asal muasal manusia dari keluarga kera besar sementara kitab suci mengatakan dari Adam mereka menciptakan teori creationism sebagai tandingan dari evolutionism.


Teori Evolusi Darwin dalam the Origin of Spesies (1859) ditentang oleh ilmuwan gereja dengan teori creationism yang berpandangan bahwa alam semesta terjadi dalam sekali ciptaan dengan kekuatan adikodrati Tuhan. Mereka meragukan temuan Darwin tentang asal-usul manusia dari keluarga kera besar. Secara paleontologi, kimia biologis, genetika populasi, biologi molekular, anatomi komparatif, dan biofisika tidak ditemukan kebenaran teori Darwin, kata creationist.


Creationism mendasarkan pandangannya pada Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama. Meski demikian, pandangan mereka berkembang dari yang sangat anti evolusi Darwin hingga akomodatif dengan mengatakan bahwa evolusi itu terjadi karena ciptaan Tuhan atau Theistic Evolutionisn. Baik gereja Katolik mau pun Protestan pada akhirnya memahami teori evolusi Darwin bahwa hal itu terjadi sesuai hukum alam yang ditetapkan oleh Tuhan. Creationism pun kini, setelah gereja rekonsiliasi dengan sains, diubah menjadi Evolutionary Creationism.  Dua pandangan yang berseteru akhirnya duduk bersanding. 


Perjalanan waktu merubah sikap gereja dari kontra ke akomodasi. Heliosentrisme yang mendudukkan matahari sebagai pusat mayapada diterima meski tidak secara penuh.   


Perspektif Peradaban Islam

Pertarungan agama dan sains yang terjadi di Barat tidak terjadi di dunia Islam. Andaikan terjadi, ia tidak sekeras itu. Konflik antara kelompok Ortodoks vs Filsuf: Ghazali vs Ibn Rushd bukan pada perkara kejadian alam, manusia, dan pusat galaksi. Hal ini lantaran al-Quran sebagai sumber ajaran Islam tidak masuk ke detil proses kejadian alam semesta.


Al-Qur’an hanya memberi clue dan merangsang otak untuk mencari detil kejadian melalui fakta. QS Al-An’am: 97. “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagi kamu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Kami telah menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang-orang yang mengetahui”; QS Al-Baqarah: 189. “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji’.”; QS Yasin: 38-40. “dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui”; “Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua”; “Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya”.


Masalah pusat galaksi apakah bumi atau matahari, Al-Qur’an tidak secara harfiah menyebut itu. Yang ada adalah pelbagai pandangan ulama tentangnya. Seperti Fakhruddin al-Razi (1149-1209) mendukung matahari sebagai pusat galaksi dan bahwa terdapat banyak galaksi (multiuniverse) selain galaksi bumi. (m.marefa.org


Dalam perkara bentuk bumi al-Razi juga berpandangan bahwa ia bulat bukan pipih. Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) pun demikian pro bumi bulat seperti halnya Ibn Rushd (1126-1198) yang banyak berjasa menerjemahkan pemikiran Aristoteles dan mengenalkannya ke Eropa. 


Sejarah peradaban Islam tidak mengenal pengadilan atas para ilmuwan seperti halnya yang dilakukan oleh gereja di abad pertengahan. Pengadilan ulama atas kaum bidat atau yang dituduh sesat terjadi atas penganut faham kebatinan seperti  pengusung wihdatul wujud, Mansur Hallaj (858-922M) hingga dijatuhi hukuman mati, tapi tidak atas ilmuwan dalam perkara kejadian alam, astronomi, dan penciptaan manusia. 


Pandangan pusat mayapada adalah matahari dan bentuk bumi adalah bulat, tidak menghebohkan para ulama. Yang menghebohkan adalah temuan Darwin tentang asal muasal manusia dari keluarga kera besar. Nampak mayoritas ulama menolak pandangan Darwin karena nenek moyang manusia adalah Adam. Sejumlah penolakan juga muncul dari kalangan penganut agama samawi yang sama-sama meyakini Adam sebagai bapak umat manusia.


Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya