Tajug itu menghadap ke kolam ikan yang berfungsi untuk wudhu serta membersihkan kaki bagi orang yang akan memasuki tajug. Sebelah bawah tajug ada kolam yang memiliki pancuran tempat santri mandi. Di atas tajug, ada rumah ajengan. Di samping dan belakangnya ada kolam juga. Semuanya ada pancurannya. Sementara kolam untuk mencuci ada di sebelah barat, dekat dengan jalan ronda.
Jalan ronda itu sebagai batas antara pesantren dan kampung. Di pinggir jalan sebelah seberangnya ada warung Imi tempat santri berkumpul sebelum dan sesudah maghrib. Bukan berkumpul tanpa maksud, bukan hanya untuk makan, tapi memantau Nyai Juariyah yang rumahnya tidak jauh dari situ. Para santri memanggilnya si jamilah (cantik). Ia cucu marbot.
Yang membuat kuterkesan kalau sebelum isya. Aku ikut berkumpul di warung Imi. Samar-samar, tapi jelas ucapan-ucapan orang bermunajat di tajug. Apalgi yang bermunajat itu si Usup yang terkenal merdu suaranya. Innallaha wamalaikatahu yushalluna ala nabiyyi ya ayyuhalladzina amanuuu... dst.. Terasa meresap ke dalam sanubari. Orang-orang di warung terbungkam kalau si Usup yang bermunajat.
Juga kalau si Usup azan subuh. Suaranya merdunya dikeluarkan sepenuhnya. Orang yang malas bangun juga biasanya terbangun kalau si Usup yang azan. Terus duduk, anteng menyimak suaranya. Hayya alash shalah (mari kita shalat) hayya alal falah (mari kita meraih kebahagiaan) asshalatu khairum minan naum... (shalat lebih daripada tidur...). suara yang merdu terbawa semilir angin subuh. Lebih menggugah rasa dibandingkan terommpet yang membangunkan tentara.
Segeralah para santri terbangun memburu kolam untuk berwudhu. Santri-santri yang malas masih nuglet, tapi kalau sudah mendengar iqamat, segera dia berlari sebab takut ketahuan Kang Udin, kalau tak ikut berjamaah. Nanti dilaporkan ke ajengan. Lain dari itu, mereka tahu bahwa shalat berjamaah lebih besar pahalanya dibanding shalat sendirian.
Ajengan saya bernama Muhammad Abdul Syukur. Ia sebetulnya melanjutkan mertuanya. Orang yang memulai mendirikan pesantren itu adalah orang tua istrinya, kakeknya Nyai Halimah, yang masyhur di kampung itu, Ajengan Haji Bajuri. Ia meninggal di Mekkah ketika melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Ia meninggalkan dua anak. Satu, ibunya Nyai Halimah, satu lagi Ajengan Muhammad Kadir yang menjadi pengasuh pesantren Cijahe.
Namun sayang, ketika kau ke situ, pesantren hanya tinggal puingnya. Kalau masih seperti dulu, aku ingin tidur tiga malam sebagai upaya mencuci diri setelah hidup banyak berbuat dosa.
Terpopuler
1
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
2
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
3
Haul Ke-15 Gus Dur di Yogyakarta Jadi Momen Refleksi Kebijaksanaan dan Warisan Pemikiran untuk Bangsa
4
Surat Al-‘Ashr: Jalan Menuju Kesuksesan Dunia dan Akhirat
5
Mariam Ait Ahmed: Ulama Perempuan Pionir Dialog Antarbudaya
6
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 229: Ketentuan Hukum Talak Raj’i dan Khulu’
Terkini
Lihat Semua