Pustaka Umaruddin Masdar

Agama Kolonial, Colonial Mindset Dalam Pemikiran Islam Liberal

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Islam Liberal Sebagai Agen Neokolonialisme

Pengantar : Nusron Wahid
Epilog : Eman Hermawan

Ketika wacana Islam liberal gencar mewarnai pem<>ikiran Islam Indonesia, muncul tanggapan berupa buku karya Nuim Hidayat dan Adian Husaini berjudul “Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya”. Buku yang terbit pertengahan tahun 2002 ini mencoba menanggapi pemikiran Islam liberal secara normatif mengacu pada teks-teks baku dalam al-Qur'an. Melalui buku ini Adian dan Nuim tidak sependapat dengan gagasan Islam Liberal karena menilai pada beberapa konteks menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.

Selang kurang setahun kemudian terbit buku karya Umaruddin Masdar, Agama Kolonial, buku ini, yang juga memberikan tanggapan terhadap gagasan Islam liberal seperti Nuim dan Adian. Hanya perbedaannya pada sudut pandang. Umaruddin Masdar menilai ada “kesalahan” dalam gagasan liberal menyangkut afiliasi politik yang ada di belakangnya yang tak bisa dilepaskan dari berbagai kepentingan. Islam liberal (di)hadir(kan) bukan lantaran kebutuhan bangsa Indonesia terhadap pembaruan Islam aar bermanfaat bagi umat, akan tetapi lantaran ada ‘pesanan’ dari kelompok tertentu sehingga Islam harus ‘disesuaikan’.

Mengapa demikian? Dia menganalisis bahwa sebelum gagasan Islam liberal hadir di tengah-tengah kita, ada gagasan Islam dan civil society, neomodernisme Islam, kiri Islam, tradisionalisme, post-tradisionalisme, dan sebagainya yang datang silih berganti seperti kehadirannya sudah direncanakan namun tanpa mempunyai pengaruh signifikan secara nyata pada kehidupan riil umat di tingkat bawah. Sehingga buku ini memberikan kesimpulan bahwa pemikiran Islam yang sering “diperbarui” selama ini hanyalah sebuah pemikiran yang tidak pernah nyambung dengan kenyataan umat (hlm. 15). 

Makanya, kalau diamati secara jujur, sesungguhnya wacana dan praktek keberagamaan kaum elit yang menyuarakan berbagai pemikiran itu sama sekali tidak ada relevansi dan korelasinya dengan fakta keberagamaan umat, baik yang dibawa oleh kaum Islam liberal ketika berbicara tentang pluralisme, toleransi atau pandangan-pandangan hidup liberal yang lain maupun kaum fundamentalis ketika berbicara tentang syariat Islam. Lebih dari itu, wacana kaum elit ini hanya sekedar wacana agama yang tidak secara konsisten dilaksanakan oleh mereka sendiri. “Inilah masalah mendasar pemikiran Islam dari asa ke masa, apapun jenis pemikirannya. Pemikiran ya pemikiran yang tak ubahnya seperti barang komoditas belaka”, kata Umaruddin. Bahkan secara radikal ia berpandangan pemikiran Islam sebagai komoditas untuk mencari dan memperebutkan status, pengaruh, kekuasaan, dan kenikmatan dunia lainnya (hlm. 44-45).

Namun yang jelas, pada dasarnya buku ini mewakili kegelisahan atas derasnya arus teori, konstruksi, pola pembacaan ataupun definisi akademis atas berbagai fakta dan realitas sosial masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya Islam, yang cenderung semakin menjauhkan diri dari denyut nadi realitas. Umaruddin Masdar mencoba menguak secara konspiratif atas berbagai fakta bahwa sebuah pemikiran yang ditawatrkan kepada masyarakat tak akan pernah lepas dari kepentingan politik tertentu. Parahnya di tengah gempuran globalisasi dengan sistem kapitalismenya setiap pemikiran keagamaan menawarkan ‘agama baru’ sebagai batu loncatan untuk menumpuk modal sebesar-besarnya.

Sebagaimana tertulis dalam dalam kata pengantar buku ini, model demikian berambisi untuk menegakkan satu tradisi pembacaan yang menempatkan teks sebagai pusat-sistem dan bukan realitas. Teks menjadi ruh penggerak dari mekanisme produksi dan reproduksi pengetahuan di mana kenyataan harus tunduk kepadanya. Sehingga seluruh konsepsi dan kemudian konstruksi tentang sesuatu (baca: realitas) diwajibkan memiliki sandarannya kepada teks. Teks sebagai pusat sistem produksi dan reproduksi pengetahuan dan teks sebagai pusat penciptaan keyakinan.

Pemodal menemukan pijakan yang cukup menjanjikan dalam Islam untuk dijadikan sandaran sementara sehingga melalui melalui beberapa agennya menelorkan gagasan Islam liberal. Makanya beberapa kalangan menyebut Islam sebagai agama ‘dinamis’. Sela