Pustaka

Fathur Rahim, Kitab Karya Sultan Idrus Buton

Ahad, 16 April 2017 | 10:30 WIB

Ini adalah gambar halaman sampul dari kitab “Fathur Rahîm fî Tauhîd Rabbil ‘Arsyil ‘Adhîm”, dalam versi manuskrip (makhthûth) dan versi edisi teksnya (muhaqqaq), karangan seorang ulama besar Nusantara yang juga Sultan Buton ke-28, yaitu Syekh Muhammad ‘Idrûs ibn Syekh Badr al-Dîn al-Buthûnî, (dikenal dengan Syekh Idrus Buton, w. 1851 M).

Kitab “Fathur Rahîm” menghimpun kajian intisari ajaran agama Islam, mulai dari ajaran tauhid, fiqih, dan tasawuf, termasuk di dalamnya adalah adab berzikir, keutamaan bacaan-bacaan zikir, keutamaan membaca shalawat atas Nabi Muhammad, keutamaan ilmu pengetahuan, para ulama, para penuntutnya, dan orang-orang yang hidup dalam kecintaan atas ilmu.

Syekh Idrus Buton menulis dalam kata pengantarnya;

فيقول العبد الفقير الحقير المعترف بالذنب والتقصير محمد عيدروس قائم الدين بن الفقير بدر الدين البطوني، غفر الله له ولوالديه ولمشايخه ولجميع المسلمين. هذا مختصر في علم العقيدة من أركان الإيمان والإسلام، وفي فضل كلمة الحسنى وغيرها، وآداب الذكر بذلك من مشايخي العظام، وفي فضل الإكثار بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم، في كل وقت من الأوقات في الليالي والأيام، وفي فضل العلم والعلماء والمتعلمين والمحبين لهم كلهم أهل الفضل والاحترام, وسميته فتح الرحيم في توحيد رب العرش العظيم.

(Maka berkatalah seorang hamba yang fakir nan hina, yang mengakui akan segala dosa dan kesalahan, Muhammad Idrus Qâimuddîn putra dari [Sultan] Badruddîn dari Buton, semoga Allah berkenan mengampuninya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan semua orang Muslim. [Ammâ ba’du]. Ini adalah sebuah ringkasan dalam ilmu akidah, dari rukun-rukun iman dan islam, juga dalam menerangkan keutamaan kalimat-kalimat dzikir yang indah dan lainnya, adab berzikir yang aku dapatkan dari para guruku yang agung, juga dalam menerangkan keutamaan memperbanyak bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW di setiap masa di siang dan malam, juga dalam menerangkan keutamaan ilmu, para ulama, para penuntut, dan orang-orang yang mencintai ilmu dan ahlinya …)

Manuskrip kitab ini sekarang tersimpan di Buton dan menjadi koleksi Abdul Mulku Zahari Buton (lihat “Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari”, disunting oleh Achadiati Ikram dkk dan diterbitkan oleh Manassa-YOI di Jakarta pada tahun 2002). Manuskrip ini kemudian didigitalisasi oleh British Library dan menjadi koleksi digital perpustakan tersebut dengan nomor kode EAP212/2/8.

Manuskrip kitab “Fathur Rahîm” tersebut kemudian ditahqiq oleh al-Fadhil al-Muhaqqiq Abu Sabiq Supriyanto Kudus pada tahun 2016 silam. Jumlah keseluruhan kitab “Fathur Rahîm” versi manuskrip setebal 20 halaman, dan dalam versi tahqiqan menjadi 57 halaman, termasuk di dalamnya pengantar pentahqiq dan biografi Syekh Idrus Buton.

Tidak ada kolofon yang menginformasikan kapan dan dimana karya ini diselesaikan. Namun kemungkinan besar karya ini ditulis di Buton, pada rentang kurun masa antara tahun 1824—1851 M. Rentang waktu tersebut merupakan masa menjabatnya Syekh Idrus sebagai Sultan Buton ke-28. Ini baru sebatas pengandaian, bisa jadi titimangsa penulisan karya ini adalah sebelum masa tersebut.

Syekh Sultan Idrus Buton diperkirakan lahir pada tahun 1784 M. Perkiraan ini menimbang ketika dilantik sebagai Sultan Buton ke-28, Syekh Idrus berusia 40 tahun. Ayah beliau adalah Sultan Badruddîn, Sultan Buton ke-27. Sementara kakeknya adalah Sultan Qôimuddîn al-Kabîr, yang merupakan Sultan Buton ke-24.

Idrus kecil tumbuh dalam lingkungan aristokrasi istana Kesultanan Buton, sekaligus dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan keislaman yang kental. Pada lingkungan keluarganya itu, dan di Madrasah Kesultanan Buton, Idrus kecil telah menghafal Al-Qur’an sejak kecil dan belajar ilmu-ilmu keislaman dasar.

Hingga paruh kedua abad ke-19 M, Kesultanan Buton tercatat sebagai salah satu kekuatan politik dan ekonomi terbesar di wilayah timur kepulauan Nusantara, selain Kesultanan Ternate dan Tidore, Kesultanan Bone, Kesultanan Bacan, Kesultanan Banjar, Kesultanan Sulu, termasuk kesultanan-kesultanan di kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), seperti Kesultanan Bima, Kesultanan Sumbawa, dan lain-lain.

Ketika masih menjadi pengaran, Idris Buton diamanahi ayahandanya untuk menjadi pemimpin pasukan Kesultanan Buton dalam sebuah perang laut besar di perairan Buton, melawan para perompak dan bajak laut. Pada perang naval tersebut, Pangeran Idris Buton membuktikan kecakapannya sebagai pemimpin, dan pasukannya berhasil mengahalkan sekelompok perompak dan bajak laut tersebut.

Pada tahun 1824, Syekh Idrus dilantik sebagai Sultan Buton ke-28 menggantikan ayahandanya. Beliau pun menyandang gelar Sultan Qôimuddîn Muhammad Idrus ibn Sultan Badruddîn ibn Sultan Qôimuddîn al-Kabir. Beliau menjadi Sultan Buton hingga wafat pada tahun 1851.

Ada banyak proyek reformasi yang dilakukan oleh Sultan Idrus Buton ketika memimpin kesultanan, di antaranya adalah mereformasi undang-undang system tata negara kesultanannya. Selain itu, Sultan Idris Buton juga dikenal sebagai penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan, menegakkan hukum dengan adil, mencintai rakyatnya, dan menghormati ulama. Beliau juga dikenal sebagai figure sultan yang ulama, dan ulama yang sultan. Kecenderungan keilmuan sang sultan adalah fiqih dan tasawuf.

Di antara guru-guru utama Syekh Idrus Buton adalah kakeknya sendiri, yaitu Syekh Sultan Qôimuddîn al-Kabîr (w. 1788), juga Syekh Muhammad Sunbul al-Makkî (w. ?), seorang ulama besar Makkah yang datang ke Kesultanan Buton dan mengajar di sana.

Besar kemungkinan Syekh Idrus Buton juga menjadi murid Syekh ‘Abd al-Shamad ibn ‘Abd al-Rahmân al-Jâwî al-Falambânî (dikenal dengan Syekh Abdul Shamad Palembang, w. 1832), kutub utama Nusantara pada zamannya. Hal ini diindikasikan dari banyaknya koleksi kitab-kitab karangan Syekh Abdul Shamad Palembang yang menjadi bacaan dan milik Syekh Idrus Buton.

Genealogi intelektual dan transmisi keilmuan (sanad) Syekh Idrus Buton juga menyambung kepada Syekh Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm Sammân al-Madanî (w. 1775), guru utama Syekh Abdul Shamad Palembang, lewat jalur Syekh Muhammad ibn Sumbul al-Makkî.

Sanad keilmuan Syekh dari Idris Buton tersebut tergambar sebagai berikut; Syekh Idris Buton dari Syekh Muhammmad ibn ‘Abd al-Karîm dari Syekh Muhammad Sumbul al-Makkî dari Syekh ‘Abd dari Syekh Musthafâ ibn Kamâluddîn al-Bakrî dari Sammân al-Madanî dari Syekh ‘Alî Effendî dari Syekh Musthafâ Effendî al-Adrânarî dari al-Lathîf dari Syekh dari Syekh ‘Umar al-Fuâdî dari Syekh Ismâ’îl al-Jarûnî dari al-Qarâbisyî dari Syekh dari Syekh Halabî al-Sulthânî al-Aqrânî dari Khalîluddîn al-Tawaqqu’î dari Syekh dari Syekh Abû Zakariyyâ al-Syirwanî dari Muhammad al-Anjânî dari Syekh ‘Umar dari Syekh Marâm al-Khalwatî dari Syekh ‘Izzuddîn dari Shadaruddîn dari Syekh Abû Ishâq Ibrâhîm dari Syekh Akhâ Muhammad al-Bilsî dari al-Khalwatî dari Syekh Syihâbuyddîn dari Syekh Rukdunnîn al-Ahrâwî dari al-Kailânî dari Syekh Quthbuddîn al-Abhârî dari Syekh Rukduddîn al-Najjâsî dari al-Thabrîsyî dari Syekh ‘Umar al-Bakrî dari Syekh ‘Abd al-Qâhir Dhiyâuddîn al-Surhâwardî dari  Syekh Junaid dari Syekh Minsyâ al-Nûrî dari Syekh Muhammad al-Dânirî dari  Syekh dari Syekh Ma’rûf al-Karkhî dari Syekh Sirrî al-Siqthî dari al-Baghdâdî  dari Syekh al-Hasan al-Bashrî dari Syekh Habîb al-A’jamî dari Dâwud al-Tâbî  Rasûlullâh SAW. dari Sahabat ‘Ali ibn Abî Thâlib KRW.  

Syekh Idris Buton meninggalkan banyak karya, baik dalam bidang teologi, yurisprudensi islam, tata negara, dan tasawuf. Mayoritas karya-karya ini ditulis dalam bahasa Arab. Di antara karya-karya tersebut adalah; (1) Raudhah al-Ikhwân fî ‘Ibâdah al-Rahmân, (2) Tahsîn al-Awlâd fî Thâ’ah Rabb al-‘Ibâd, (3) Dhiyâ al-Anwâr fî Tashfiyyah al-Akdâr, (4) Mu’nisah al-Qulûb fî Dzikr wa Musyâhadah ‘Allâm al-Ghuyûb, (5) Tanqiyyah al-Qulûb fî Ma’rifah ‘Allâm al-Ghuyûb, (6) Kasyf al-Hijâb fî Murâqabah al-Wahhâb, (7) Mushbâh al-Râjîn fî Dzikr al-Shalâh wa al-Salâm ‘alâ al-Nabî Syafî’ al-Mudznibîn, (8) Fathur Rahîm fî Tauhîd Rabb al-‘Arys al-‘Adhîm, (9) Durrah al-Ahkâm, (10) Sabîl al-Salâm ilâ Bulûgh al-Marâm, dan lain-lain.

Syekh Idris Buton wafat pada tahun 1851 dan memiliki tiga orang putera, yaitu (1) Sultan Muhammad Isa Buton, (2) Syekh Abdul Hadi Buton, dan (3) Sultan Muhammad Salleh Buton.

A. Ginanjar Sya’ban, khadim Pusat Kajian Islam Nusantara (PKIN) Pascasarjana Islam Nusantara UNU Indonesia, Jakarta