Membongkar Skandal Akademik
Orang selalu menyangka bahwa kajian akademik itu merupakan teori, metode dan analisis yang serba obyektif, bebas prasangka. Padahal dalam jubah obyektivitas itu penuh dengan prasangka, sarat nilai dan segudang kepentingan, yang bersifat ekonomis maupun politis.Buku yang ditulis oleh Greg Fealy ini berusaha dengan cermat membongkar dan menelanjangi kepalsuan akademik tersebut, khususnya dalam kajian NU yang dilakukan oleh para intelektual dunia yang selama ini dianggap hebat, sehingga teori dan argumennya selalu dianut oleh para intelektual Indonesia, karena dianggap obyektif dan akademik, padahal hanya merupakan statemen dan slogan politik, yang kebetulan dilontarkan oleh orang kampusan dan bergelar professor doktor, sehingga kengawurannya dalam menilai entitas NU seolah bisa dipercaya.
Para Indonesianis khususnya dalam kajian&nbs<>p; NU yang muncul belakangan tidak puas dengan kajian tahun 60-70-an yang penuh dengan kebohongan akademik, mereka mencoba mengembangkan tradisi kajian baru, yang ini belakangan berkembang menjadi semacam paradigma kajian NU baru. Langkah itu dipelopori oleh Ken Ward, peneliti muda Australia yang sangat tekun menstudi NU dari pesantren ke pesantren dari satu acara NU ke acara lainnya, terutama sekitar Pemilu 1971. Langkah sederhana yang dilakukan Ken Ward itu ternyata menghasilkan paradigma yang revolusioner, karena berakibat membongkar keseluruhan cara berpikir para Indonesianis tentang NU. Hal itu yang kemudian dilanjutkan oleh Greg Fealy dalam mengkaji NU, dengan lebih mensistematisir kajian Ward dengan melakukan review yang angat luas terhadap penyimpangan yang dilakukan dalam kajian NU.
Di mata ilmuwan Barat NU selalu dihindari karena dianggap sebagai organisasi tradisional yang akan segera punah dihempas gelombang modenisasi yang mereka jajakan. Dalam visi mereka hanya Islam modernis yang akan bisa bertahan karena mereka adalah pemercaya agenda modernisasi, karena itu mereka itu diemong diasuh dan dimanjakan baik secara akademik maupun politik. Sebaliknya terhadap NU, mereka menginjak, menghina sepanjang tulisan mereka. Maka NU mendapat sebutan oportunis, nepotis, picik dan korup.
Mengapa kalangan ilmuwan Barat begitu gigih menghina dan memusuhi NU, ini berkait dengan persoalan lebih luas, tenatang kepentingan politik dan ekonomi Barat yang sedang terancam dengan munculnya negara baru pasca Perang Dunia II di mana dominasi Barat atas koloni meraka mulai pudar, karena itu segala kekuatan militer dan akademik dikerahkan untuk melakukan penjajahaan baru, termasuk di bidang pemikiran, siapa yang mendukung agenda kolonialisme yang kapitalistik itu dianggap kawan dan siapa yang berbeda dianggap lawan. NU punya agenda lain karena itu diangap penghalang ambisi mereka.
Lawan utama imperialisme ini adalah nasionalisme, karena sikap itu bisa menghadang ekspansi mereka untuk menjarah dunia lain, kedua adalah populisme, ini juga merupakan penghalang bagi kapitalisme untuk melakukan exploitation de la homme par la homme (penghisapan manusia atas manusia). Orang semacam Soekarno, Gamal Abdel Naser, Aliande adalah termasuk golongan itu, karena itu mereka didongkel. Demikian juga NU sebagai partai politik memiliki sikap nasionalis yang kuat dan populisme yang jelas, didukung oleh basisi tradisi yang sangat kaya, karena itu juga merupakan musuh dan penghalang imperialisme nomor satu, karena itu harus dihancurkan.
Sejak awal NU menolak ikut memberontak terhadap Republik ini, karena intervensi asing itu merusak nasionalisme Indonesia, NU dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta, karena semuanya jelaas dirancang oleh rezim kolonial untuk kembali mencabik Indonesia pasca kemerdekaan. Aliansi NU dengan Soekarno dan kekuatan rakyat yang lain menambah kuat posisi nasiolisme dan populuisme, karena itu NU dituduh oportunis yang berpolitik hanya cari makan. Jadi dosa besar NU di mata kapitaslis dan para ilmuwan yang menjadi kaki tangannya adalah, pertama, tidak mau beraliansi dengan kekuatan Barat malah keluar dari Masyumi yang merupakan sekutu Barat paling terpercaya, kedua, tidak mau bergabung dengan kaum pemberontak untuk menghancurkan republik ini, melalui DI/TII, PRRI, Permesta, malah mengutuk tindakan itu.
Ketiga, juga tidak mau terlibat dalam menggulingkan Soekarno, malah bekerja sama, dengan inspirator kemerdekaan Dunia Ketiga itu, untuk membela keutuhaan negeri ini.Karena itu NU dihajar dari seluruh lini, baik politik maupun akademik. Keempat, NU memiliki basisi pertahanan tradisi yang memadai, padahal siapa yang menguasai tradisi akan menguasai basis massa dan sekaligus akan mampu membendung arus modernisasi, atau imperialisasi politik maupun kebudayaan, sehingga petahanan itu sulit bahkan gagal dijebol oleh kolonialisme Barat, bahkan muncul dewa penolong yang namanya post modernisme, yang sangat apresiatif pada t
Terpopuler
1
Hitung Cepat Dimulai, Luthfi-Yasin Unggul Sementara di Pilkada Jateng 2024
2
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
3
Hitung Cepat Litbang Kompas, Pilkada Jakarta Berpotensi Dua Putaran
4
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
5
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
6
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
Terkini
Lihat Semua