Kitab Ulama Damaskus atas Masalah Syekh Siti Jenar di Nusantara Abad Ke-18
Jumat, 24 Maret 2017 | 08:00 WIB
Karya ini sangat penting karena berisi pandangan al-Nâbusî terkait polemik masalah teosofi (tasawuf falsafi) dan pantiesme (wahdatul wujud) yang berkembang di Bumi Nusantara pada masa itu. Al-Nâblusî terpanggil untuk turut serta menuangkan fatwa dan pandangannya terkait masalah pemikiran “wahdatul wujud” di yang berkembang di Nusantara dan erat kaitannya dengan sosok dan ajaran Syekh Siti Jenar yang kontroversial.
Fatwa dan pandangan al-Nâblusî ini dituangkan dalam sebuah risalah yang kini manuskripnya tersimpan di Perpustakaan al-Zhâhiriyyah di Damaskus, Suriah, dengan nomor kode 4008. Risalah ini kemudian disunting (tahqîq) oleh Prof. Dr. ‘Abd al-Rahmân al-Badawî dan disisipkan bersama dalam bunga rampai pemikiran para sufi berjudul “Syathahât al-Shûfiyyah” yang diterbitkan Wikâlât al-Mathbû’ât di Kuwait (tanpa tahun). Oleh al-Badawî, risalah karangan al-Nâblusî ini diberi judul “Risâlah li ‘Abd al-Ghanî al-Nâblusî fî Hukm Syath al-Walî”.
Dalam kolofon, al-Nâblusî mengatakan jika karyanya ini diselesaikan pada sore hari Jum’at, 13 Sya’ban tahun 1139 Hijri (bertepatan dengan 4 April 1727 Masehi). Al-Nâblusî menulis;
Sebenarnya, risalah ini ditulis oleh al-Nâblusî untuk mengembangkan dan melengkapi apa yang telah ditulis oleh guru beliau, yaitu Syekh Ibrâhîm ibn Hasan al-Kûrânî al-Madanî (w. 1690 M). al-Kûrânî, yang juga mahaguru ulama Nusantara di Haramain pada masa abad ke-16 M, atau generasi Syekh ‘Abd al-Ra’ûf ibn ‘Alî al-Jâwî (Abdul Rauf Singkel, w. 1693 M) dan Syekh Yûsuf al-Tâj al-Khalwatî (Yusuf Makassar, w. 1699 M), menulis sebuah risalah berjudul “al-Maslak al-Jalî fî Hukm Syath al-Walî” untuk merespon polemik pemikiran teosofi dan panteisme yang berkembang di Nusantara pada masa itu.
Nah, risalah “al-Maslak al-Jalî fî Hukm Syath al-Walî” karangan al-Kûrânî ini kemudian dikembangkan oleh al-Nâblusî dalam risalahnya yang (diberi) judul “Risâlah ‘Abd al-Ghanî fî Hukm Syath al-Walî.Dalam kata pengantarnya, al-Nâblusî menulis;
(Maka berkatalah seorang hamba yang fakir kepada Tuhannya yang maha mengetahui, ‘Abd al-Ghanî, yang mengajar di maqam al-hâtimî [maqam Ibnu ‘Arabi] dan manzil al-hâtimî [rumah Ibnu ‘Arabi] di Masjid Syekh Akbar Ibnu ‘Arabi [di Damaskus], yang menjadi khatib ilmu-ilmu ilahiah di atas mimbar [masjid tersebut], semoga Allah menuntunnya kepada jalan kebenaran ilmu pengetahuan. Aku telah mendapati sebuah risalah berjudul “al-Maslak al-Jalî fî Hukm Syath al-Walî” karangan Syekh Imam Ibrâhîm al-Kûrânî al-Madanî, semoga Allah merahmatinya, yang menjawab di dalam risalah itu akan sebuah pertanyaan yang datang kepadanya dari salah satu pulau di negeri Jawi [Nusantara] di ujung negeri India, pada tahun seribu delapan puluh enam [hijri/ 1675 masehi]).
Bunyi pertanyaan yang datang dari negeri Jawi (Nusantara) tersebut yang kedepankan kepada Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî, sebagaimana tertulis dalam “al-Maslak al-Jalî”, adalah sebagai berikut;
(Apa pendapat anda atas sebuah pemikiran salah seorang dari negeri Jawi [Nusantara], yang mana ia dikenal sebagai sosok yang ahli ilmu dan wara: (menurutnya) “Allah adalah wujud [eksistensi] diri kami dan diri kami adalah wujud Allah. Kami adalah Allah dan wujudNya”. Apakah pemikiran ini mendapatkan landasan penafsiran/ penakwilan yang sahih sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahli Nusantara, ataukah pemikiran itu adalah sebuah kekafiran yang jelas sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama yang terpuji sebagai ahli ilmu zahir dan batin? Mohon berikan kami penjelasan apakah hakikat sebenarnya pemikiran tersebut sesuai dengan kaidah syariat dan hakikat. Semoga Allah memberikan anda ganjaran, dan melanggengkan imdad dan taufiq-Nya untuk anda).
Syekh ‘Abd al-Ghanî mengatakan, bahwa Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî telah menjawab pertanyaan tersebut dengan pendapatnya yang proporsional. Kini giliran Syekh ‘Abd al-Ghanî yang hendak menambahkan jawaban atas pertanyaan tersebut dan memberikan perspektif pemikirannya yang baru atas pertanyaan dari Nusantara itu.
Dalam versi suntingan al-Badawî, jawaban dan ulasan Syekh ‘Abd al-Ghanî atas permasalahan di atas yang berasal dari Nusantara itu tertuang dalam 8 (delapan halaman). Beliau sangat detail dan jeli dalam menyikapi seorang ulama Nusantara yang mengatakan bahwa “Allah adalah wujud kami dan wujud kami adalah Allah”, dengan membaginya ke dalam empat maqam tingkatan, yaitu maqam aghyâr (ghayrullâh), af’âl (fi’lullâh), shifât (shifâtullâh), dan dzât (dzâtullâh).
Sosok “orang Nusantara yang memiliki reputasi sebagai sosok seorang ulama yang saleh, ahli ilmu, dan wara’i” ini menarik untuk ditelisik lebih jauh. Siapakah gerangan dirinya? Adakah ia adalah Syekh Hamzah Fanshuri, Syekh Syamsuddîn Samathrânî, atau Syekh Siti Jenar? Yang mana ketiganya dikenal sebagai tokoh penganut ajaran teosofi dan pantheisme di Nusantara.
Hal lain yang tak kalah menariknya untuk juga ditelisik adalah keberadaan Syekh ‘Abd al-Ghanî al-Nâblusî yang tercatat sebagai salah seorang ulama sentral di zamannya, turut serta menuliskan sebuah karya khusus untuk menanggapi, merespon, dan menjawab sebuah permasalahan pemikiran teosofi dan patheisme yang muncul dan berkembang di belahan bumi yang jauh, yaitu negeri bawah angina (Jawi/ Nusantara). (A. Ginanjar Sya’ban)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
2
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
3
Peran Generasi Muda NU Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di Tengah Konflik Global
4
Luhut Binsar Pandjaitan: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian Timur Tengah
5
OSN Jelang Peringatan 100 Tahun Al-Falah Ploso Digelar untuk Ingatkan Fondasi Pesantren dengan Tradisi Ngaji
6
Pengadilan Internasional Perintahkan Tangkap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas Kejahatan Kemanusiaan
Terkini
Lihat Semua