Pustaka

Meski Beda, Kita Tetaplah Orang Indonesia

Jumat, 20 Desember 2024 | 20:03 WIB

Meski Beda, Kita Tetaplah Orang Indonesia

Jilid buku Homo Indonesiaensis: Sebuah Megaproyek Psikologis (Foto: berdikaribook)

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri berulang kali dawuh dengan tegas, bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, tidak sebaliknya, orang Islam yang berkebetulan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kita adalah tuan rumah di Indonesia, bukan dari penghuni negara lain. Sudah sepatutnya, sebagai tuan rumah, kita tentu harus menjaga rumah kita dari beragam konflik. Lebih dari itu, justru kita juga harus menjaga keharmonisan dan keutuhan hubungan antar-penghuni.


Hal ini pula yang hendak diungkapkan Abdul Malik Gismar dalam buku Homo Indonesiaensis: Sebuah Megaproyek Psikologis. Ia mengungkapkan bahwa keindonesiaan sudah seharusnya dihayati dengan sepenuhnya oleh setiap individu warga Indonesia, baik dari suku Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Minang, Aceh, Sasak, Asmat, atau lainnya; baik dari etnis Arab, India, China, atau pun Barat; baik dari agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, Konghucu, atau penganut kepercayaan lokal. Dengan begitu, senada dengan yang disampaikan Gus Mus di atas, keagamaan atau kesukuan itu merasuk dalam jiwa keindonesiaan.


Menariknya, tabwib atau penyusunan buku ini dibentuk secara tepat. Sebab, buku ini dibuka dengan penjelasan mengenai nasionalisme dalam konteks umum dan Indonesia. Kemudian, hal tersebut ditarik lebih dalam ke konstruksi Indonesia yang dibangun atas keragaman dan kondisi kejiwaan di bawah tekanan penjajahan. Dari situ, penulis merumuskan apa yang ia sebut sebagai Homo Indonesiaensis.


Setelah itu, barulah penulis memunculkan dinamika keindonesiaan dengan segala keragaman dan potensi konfliknya. Tentu saja, penulis dalam hal ini memungkasi tulisannya dengan sejumlah konklusi yang perlu untuk dilakukan oleh setiap elemen dan individu yang ia sebut sebagai Homo Indonesiaensis. 


Konstruksi Indonesia
Kesamaan nasib akibat penjajahan memberikan dampak psikologis yang kuat untuk bangkit. Meskipun bangsa ini pada mulanya terpimpin oleh raja masing-masing dengan struktur, hukum, adat-istiadatnya masing-masing, tetapi kesamaan nasib di bawah cengkeraman kolonialisme membuat mereka Bersatu.


Tentu bukan hanya itu yang membentuk nasionalisme mereka. Adanya kesamaan bahasa yang menjadi alat komunikasi juga membangun semangat kebangsaan lebih kuat lagi. Sedari dulu memang, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca yang membantu komunikasi para pedagang di bandar-bandar, sebagaimana ditulis Dedi Arman dalam artikelnya di laman Kebudayaan Kemdikbud berjudul Perkembangan Bahasa Melayu. Hal itulah yang kemudian menjadi sebuah kesepakatan dan dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda.


Di situlah titik kelanjutan dalam memperjuangkan kemerdekaan sebagai wujud pembebasan dari segala penderitaan. Bukan hanya dari sisi kesepakatan yang dideklarasikan, tetapi juga dari kesetaraan antara para pemuda itu. Mereka tidak memikirkan wilayah dan masyarakat di daerahnya sendiri, tetapi persatuan yang paling diutamakan dan mengenyahkan egoisme dan primordialisme.  Sebab, jika hal tersebut masih didorong, tentu saja akan menjadi problem yang menghambat terwujudnya cita bersama, yaitu kemerdekaan.


Pun dalam perumusan pembentukan negara, keterwakilan dan kesetaraan antarsuku, agama, dan golongan menjadi sebuah hal yang diutamakan. Tak pelak, ketika ada keberatan atas tujuh kata dalam sila pertama Pancasila dari kaum Nasrani, penghapusan hal tersebut tidak menjadi soal bagi perwakilan Islam. Pasalnya, selain tidak mengurangi substansi, ada persatuan yang menjadi prioritas seluruh elemen masyarakat Indonesia.


Sikap demikian menunjukkan keteladanan yang penting bagi kita. Ada kesepakatan yang menjadi titik temu. Karenanya, Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin selalu menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara kesepakatan. Hal itu yang harus terus diupayakan di tengah kemajemukan negeri ini.


Oleh karena itu, sudah sepatutnya persatuan dan kesatuan itu terus dipupuk. Semangat itu harus, meminjam bahasa anak masa kini, ‘menyala’ sepanjang waktu.


Peresensi: Syakir NF

Identitas Buku
Judul: Homo Indonesiaensis: Sebuah Megaproyek Psikologis
Penulis: Abdul Malik Gismar
Tebal: xxviii + 202
Tahun: 2024
Penerbit: Mizan Expose
ISBN: 978-602-441-342-2