Pustaka

Memanusiakan Kembali Kebudayaan

Ahad, 31 Oktober 2010 | 23:22 WIB

Judul: Refilosofi Kebudayaan, Pergeseran Pascastruktural
Penulis : Syaiful Arif
Penerbit : Ar-Ruzz Media, Jogjakarta
Cetakan pertama : Oktober 2010
Halaman : 360 hlm
Peresensi : Mahbib Khoiron
*

Hakikat kebudayaan adalah usaha pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan. Maka, meskipun pada level cara-baca dan konteks sosial, telah terjadi banyak perubahan kebudayaan, arah dari kebudayaan itu sendiri haruslah tetap mengacu pada kemanusiaan.<>

Setidaknya, inilah tesis utama dari buku Refilosofi Kebudayaan, Pergeseran Pascastruktural karya Syaiful Arif. Bagi Arif, pendekatan filsafat atas kebudayaan amat urgen untuk dikembangkan kembali, di tengah absurditas nilai akibat pendekatan post-modernis yang merelativisir kebudayaan. Pendekatan filsafat menjadi penting, karena ia memberi landasan yang tidak bisa berubah, yakni pemanusiaan manusia.

Pertanyaannya, kenapa tiba saja hakikat kebudayaan dimaknai sebagai pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan? Dari mana definisi ini? Ini pertanyaan logika yang mencoba dijawab Arif.

Pertama, definisi nominalis. Di kosakata kita, kebudayaan berasal dari kata budaya, yang merupakan gabungan dari daya-budi. Jadi, budaya adalah daya dari budi. Daya di sini bisa diartikan sebagai kekuatan, praksis, atau gerak. Sementara itu budi adalah kearifan, kebijaksaan. Dalam alam pemikiran Jawa, budhi adalah sinar akal yang tercerahi Atma (Ruh). Di sini terlihat bahwa budi bukan hanya akal menurut rasionalisme, tetapi akal yang telah tercerahi oleh spiritualitas. Maka, budi sering dilekatkan dengan kata pekerti; budi-pekerti yang berarti perilaku etis yang dipandu oleh kearifan pengetahuan.

Dari sini terlihat bahwa daya-budi adalah kekuatan, praksis, dan gerak dari budi. Jadi, budaya oleh karenanya mensyaratkan adanya perbedaan spesifik (differentia specifica) yang mengacu pada keharusan adanya budi. Jika suatu daya, kekuatan, praktik, dan perilaku hidup tidak didasarkan pada budi, maka ia bukanlah budaya. Hal sama terjadi pada terma culture yang bermuara pada civilization. Culture adalah usaha pengolahan (cultivation) alam-kehidupan, sehingga melahirkan peradaban (civilisation). Di sini pengolahan alam ditujukan agar kehidupan manusia beradab. Apa artinya beradab? Yakni suatu titik puncak evolusi hidup, yang menempatkan manusia di titik derajat kemanusiaannya.

Pada titik ini terlihat bahwa terma kebudayaan selalu bersanding dengan kemanusiaan. Maka definisi kebudayaan juga terkait dengan pendefinisian manusia. Apakah yang disebut manusia? Pada titik manakah manusia layak disebut manusia? Dari sini kita sampai pada cara pendefinisian kedua, yakni definisi esensial. Jika mengacu pada pola definisi ini, maka terciptalah rangkaian premis yang membentuk satu proposisi; manusia adalah spesies (species) dari jenis umum (genus) hewan. Di sini Aristoteles kemudian menahbsikan akal-budi sebagai pembeda spesifik, yang membedakan manusia sebagai spesies dari hewan sebagai jenis umum. Maka, perbedaan manusia dengan hewan secara umum adalah akal-budi. Manusia disebut manusia, ketika ia berakal-budi. Tentu, definisi ini sudah menjadi kebenaran umum yang tidak lagi perlu dipertanyakan.

Dari definisi manusia sebagai hewan berbudi inilah, maka definisi kebudayaan tertemu. Jadi, jika esensi manusia adalah budi, maka budaya; daya dari budi, adalah juga hal esensial dalam kehidupan manusia. Kenapa? Karena budaya adalah pendayaan budi. Dalam budaya, manusia merealisasikan budi, kepada objek alam-kehidupan, tentu agar alam tersebut sesuai dengan hakikat manusia, yakni budi. Pada titik ini tertemulah definisi hakikat kebudayaan, yakni karena hakikat manusia (jika dibandingkan dengan hewan) adalah budi, maka praktik kehidupan tentulah kehidupan berbudi. Budi yang merupakan esensi ontologis manusia, berusaha dipraktikkan dalam kehidupannya, di mana manusia berhadapan dengan alam-kehidupan secara berbudi.

Inilah hakikat kehidupan itu, yang kemudian dibahasakan menjadi budaya; pendayaan budi. Dari sini terlihat bahwa budi adalah kategori normatif, sementara budaya adalah kategori praksis dari norma tersebut. Budi adalah nilai, budaya adalah perealisasian nilai itu. Inilah hakikat kebudayaan itu, yang merupakan hakikat kehidupan manusia, yang lahir dari hakikat manusia. Pada titik ini, bukan hanya hakikat manusia merupakan hakikat kebudayaan, tetapi kebudayaan itulah hakikat kemanusiaan. Kenapa? Karena melalui kebudayaan, manusia berusaha merealisasikan hakikat kemanusiaannya.

Persoalannya, apakah pemanusiaan manusia itu? bukankah dalam setiap konteks budaya, terdapat ragam cara pemanusiaan yang berbeda, dan pada satu titik berbenturan? Dalam budaya Islam misalnya, pemanusiaan dirujukkan pada hukum: manusia akan lebih manusiawi (sesuai dengan kodrat Ilahi) jika taat dengan syari’at. Hal beda dengan budaya Barat modern yang menggerakkan rasionalisasi sebagai humanisasi. Yang pertama merujuk pada pengaturan manusia oleh aturan ketuhanan, dan oleh karenanya, absolut. Yang kedua mengacu pada kebebasan, dan oleh karenanya sering mendobrak aturan-luar diri.

Dari problem pemanusiaan ini, Arif kemudian berbicara soal struktur kebudayaan. Mengapa? Karena pemanusiaan adalah nilai, maka di dalam nilai, terdapat struktur. Artinya, ketika aras filosofis kebudayaan adalah nilai (pemanusiaan), maka pembincangan atas struktur nilai menjadi keniscayaan. Hal ini searah dengan pendekatan strukturalis yang mendaulat kebudayaan sebagai pemikiran. Artinya, (perilaku) budaya merupakan wujud dari struktur inheren yang ada pada ranah pemikiran. Maka, struktur nilai mistik akan melahirkan perilaku mistik orang Jawa, struktur pemikiran hukum Islam akan melahirkan perilaku yang sarwa fiqh, dan struktur rasionalisme akan melahirkan perilaku rasional.

Hanya saja, pendekatan struktural ini segera terkritisi karena kebudayaan tak bisa dibakukan dalam corak tertentu. Dalam budaya Jawa, mistisisme hanya satu varian dari corak pemikiran lain. Hal sama pada budaya Islam, Barat, Timur, Indonesia, yang memiliki ragam makna serta ragam tafsir. Kritik ini bahkan berlanjut pada kecurigaan atas “kepentingan pengetahuan” yang ada di balik pembakuan struktur kebudayaan tersebut. Inilah yang disebut tradisi pasca-strukturalis, yakni tradisi yang melakukan pembongkaran atas politik pembentukan nilai. Jadi apa yang disebut struktur oleh strukturalisme, oleh pasca-strukturalis dilihat sebagai upaya pihak tertentu, untuk menancapkan dominasi, baik dominasi nilai, pengetahuan, dan akhirnya politik. Arif kemudian mengelaborasi berbagai pemikiran kaum post-struktural, seperti hegemoni Gramsci, dekosntruksi Derrida, power/knowledge Foucault, hingga symbolic power Pierre Bourdieu. Bagi Arif, segenap pemikiran tersebut berguna untuk menguak politisasi budaya, yang dilakukan melalui politisasi simbol dan pengetahuan.

Dalam buku ini Arif juga menggelar tradisi Kulturkritik. Sebuah tradisi pemikiran budaya ala Mazhab Frankfurt yang kritis terhadap modernitas. Tradisi ini yang berangkat dari ratapan pilu atas hilangnya “yang otentik” dari manusia akibat modernisasi, merupakan tradisi kritik kebudayaan. Bagi Arif, inti kebudayaan adalah kritik. Mengapa? Karena dalam kritiklah, kebudayaan bisa merefleksikan dirinya. Untuk itu para pengkaji, pelaku budaya, dan manusia itu sendiri haruslah menyadari akan terjadinya krisis kebudayaan. Yakni satu situasi di mana pencapaian atas “aspek keras” kehidupan, seperti teknologi, industri, birokrasi, dan negara, telah membawa penyakit bagi kerawasan budi, dan masa depan kemanusiaan. Tanpa kesadaran akan kebudayaan, maka nilai dasar yang menjadi pijakan hidup, akan stagnan, membatu, dan terjerembab dalam “mesin sistem” non-manusiawi.

Pada titik inilah refilosofi kebudayaan Arif gerakkan, untuk mengembalikan gerak hidup yang sudah sistemik, kepada nilai dasar dari kebudayaan tersebut, yakni budi. Budi inilah yang akan mampu memanusiakan manusia, karena ia tak hanya bertanya apa sifat sesuatu, tetapi bagaimana sesuatu seharusnya bersifat? Refilosofi kebudayaan urgen, karena menurut Arif, kebudayaan telah terposisi hanya sebagai sub-sektor kehidupan, tak beda dengan sub-sektor olah-raga, seni, perdagangan, ekonomi, dsb. Bagi Arif, melampaui sub-sektor, kebudayaan adalah supra-sektor; lingkaran besar yang menaungi lingkaran-lingkaran kecil kehidupan. Lingkaran kecil ini berupa ekonomi, pendidikan, seni, tata ruang kota, dan bahkan politik. Inilah yang disebut sebagai otosentrisitas kebudayaan, di mana segenap gerak hidup, mampu “menguntungkan kebudayaan”. Kebudayaan harus “diuntungkan” karena ia merupakan garis tegas, pemanusiaan manusia. Ketika segenap praktik sub-sektor hidup telah menjauh dari cita pemanusiaan, maka ia tercerabut dari kebudayaan. Situasi ini yang disebut Arif sebagai krisis kebudayaan, di mana praktik hidup kita telah jauh dari landasan filosofis kebudayaan.

Buku yang dipengantari Guru Besar Antropologi UI, Ahmad Fedyani Saifuddin dan diepilogi Muhammad Herly Putra ini tak hanya menyediakan rangkaian teori-teori kebudayaan. Meskipun terdapat rangkaian perspektif kebudayaan, sejak antropologi, sosiologi dan cultural studies, tetapi Arif tetap membangunnya dalam ruang filsafat kebudayaan. Artinya, Arif berusaha menggali mana yang filosofis, mana yang politis dalam segenap perspektif tersebut. Dilengkapi dengan refleksi kritis atas hambatan struktural bagi refilosofi kebudayaan di Indonesia; buku ini layak dijadikan “kaca bening” tempat merefleksikan kembali persoalan dan perubahan mendasar kebudayaan kita.

* Pemred Jurnal Kebudayaan dan Demokrasi, Pesantren Ciganjur, Saat ini sedang belajar Filsafat Islam di Islamic College (IC) Jakarta