Dalam keyakinan kaum muslimin, sejak Islam pertama kali hadir di Jazirah Arab, ia sudah mendeklarasikan diri sebagai agama universal: agama untuk seluruh manusia, bukan agama ras, sektarian, apalagi agama komunitas tertentu. Dan, sudah barang tentu ia juga mengandung semangat sebagai agama rahmat, kedamaian, dan humanis bagi sekalian alam. Keyakinan demikian ini secara teologis—maupun historis—memang sangat berasalan.<> Karena Nabi Muhammad Saw. diyakini sebagai nabi sekaligus rasul terakhir dalam sejarah agama-agama semit. Tentunya pula, risalah yang beliau emban—yang kemudian disampaikan kepada umatnya—adalah risalah penyempurna dari nabi-nabi terdahulu.
Keyakinan tersebut bukan berarti menafikan kenyataan historis bahwa sesungguhnya pola penerapan Islam ini, dari satu nabi ke nabi yang lain senantiasa berubah-ubah sesuai situasi zaman dan kondisi umat di mana mereka ditugaskan. Dalam bahasa lain, Islam yang mereka anut adalah sama (satu)—sama-sama menyeru kepada Tuhan yang Esa. Sementara pola penerapan syariat, cara, dan pendekatan dalam mengajak mereka menuju ke agama satu ini beraneka ragam. Dalam bahasa agama, pola semacam ini disebut “addîn wâhid wa asy-syar’iah mukhtalifah”.
Demikian pula, artikulasi pemahaman mengenai Islam yang kita anut juga amat beragam. Bahkan dalam sejarah pemikiran Islam, semua ini diekspresikan dalam beragam bentuk. Ada Islam Sunni, Islam Syi’ah, Islam Khawarij, Islam Muktazilah, Islam Murjiah, Islam Wahabi, dan Islam-Islam yang lain. Kesemuanya ini—dalam batas tertentu—bisa dianggap sebagai sekte-sekte yang berkembang di dalam tubuh Islam. Masing-masing golongan juga sama-sama merasa sebagai golongan yang selamat. Hal ini seperti sabda Nabi: “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang selamat hanyalah satu—Ahlussunnah wal Jama’ah”.
Sebagai ekspresi keagamaan hal ini sebetulnya absah-absah saja, dan merupakan bagian dari sunnatullah. Meski kenyataannya, menjaga keragamaan ini bukanlah hal mudah. Selalu saja ada rintangan sana sini yang menghadang. Bahkan upaya dialog dengan mereka pun sering buntu, dan berujung pada “pengkafiran”. Ini terjadi karena apa yang mereka yakini, pahami, sudah menjadi semacam “ideologi tertutup” yang sedemikian mengkristal. Sedikit pun tak ada celah untuk dibuka. Kebenaran penafsiran keagamaan yang benar hanya milik satu golongan, sementara golongan yang lain dinilainya salah, sesat.
Upaya dialog ini misalnya sudah jauh-jauh hari ditempuh oleh para intelektual Islam klasik kita. Banyak di antara mereka yang secara khusus menulis sebuah karya, baik itu berupa risalah-risalah kecil, buku, ensiklopedia madzhab, maupun kritik sekalipun. Sekadar menyebut paling terkenal misalnya, dalam bidang teologi dan perbandingan agama, kita mengenal “Maqâlat al-islamiyyîn wa ikhtilâf al-mushallîn” karya Abu Hasan al-Asy’ari, “Al-Milal wa an-nihal” karya Syahrastani, “Al-Farqu baina al-firaq”, karya Abdul Qahir Al-Bagdadi, dan masih banyak lagi karya-karya lain yang menghiasi khazanah intelektual Islam.
Buku karya KH Muhammad Faqih Maskumambang ini adalah satu di antara sekian karya—yang ditulis oleh ulama pembela Aswaja awal abad ke-20 M.—yang juga bisa dikategorikan dalam upaya dialog tersebut—atau bahkan kritik terhadap mereka. Dalam buku ini, penulis mencoba menghadirkan ulasan yang cukup tajam dan argumentatif dalam mengkritik golongan yang suka mengkafirkan pihak lain itu—secara khusus Wahabi. Terlebih narasi logika yang diketengahkan dalam buku ini referensinya diambil langsung dari kutipan dan buku-buku induk golongan ini. Hal ini tentu menjadikan buku ini kian memiliki nilai lebih dibanding dengan buku-buku lain yang sejenis, misalnya.
Meski sayangnya, penulis buku ini tidak menyuguhkan—memetakan—secara utuh mengapa tokoh-tokoh yang diketengahkan dalam buku ini tergolong sebagai Wahabi. Hanya menjadikan pandangan-pandangan revivalisme mereka—yaitu kembali kepada ajaran pokok agama, Al-Qur’an dan hadits—sebagai tolok ukur, tentu tidaklah memadai. Padahal kenyataannya, tidak semua tokoh yang diketengahkan dalam buku ini memiliki satu karakter pemikiran dan orientasi yang sama—kendatipun inspirasi pemikiran pembaharuan mereka peroleh dari generasi sebelumnya: terinspirasi belum tentu mesti sama, tetapi di sana ada polarisasi, fragmentasi, visi dan evolusi pemikiran yang plural.
Terlepas dari itu, buku ini tetap memiliki nilai pentingnya tersendiri—terutama dalam sudut pandang tradisi intelektual ulama Nusantara. Nilai penting ini setidaknya dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, buku ini mengulas cukup panjang dan teliti ketika membongkar distorsi-distorsi yang dilakukan oleh kelompok Wahabi terhadap pemikiran-pemikiran ulama Aswaja, sehingga hal demikian akan menyingkap watak pemikiran mereka sesungguhnya. Kedua, buku ini memberikan pemahaman dasar yang cukup mamadai kepada para pembaca mengenai akidah dan fikih Aswaja, serta konsesnsus-konsensus yang disepakati oleh ulama Aswaja. Hal ini tentu sangat membantu para pembaca (masyarakat) dalam rangka memetakan mana pemikiran yang dianggap benar, dan mana pemikiran yang dianggap meyimpang dari konsensus para ulama, serta dapat membantu membentengi diri mereka dari bahaya golongan ini bagi persatuan umat.
Ketiga, buku ini memiliki nilai historis yang panjang dan penting. Ia pertama kali dicetak/diterbitkan dalam bahasa Arab dan disebarluaskan di Mesir—dan dunia Arab umumnya—tahun 1922 M. Sehingga, secara tidak langsung buku ini setidaknya diakui urgenitasnya oleh ulama-ulama saat itu.
Keempat, buku ini adalah karya ulama Nusantara sekaligus pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU), sehingga karya ini bisa dibilang sebagai representasi sikap/pemikiran NU awal mengenai golongan Wahabi. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa buku ini adalah buku pertama dari kalangan ulama Nusantara yang secara khusus mengkritik sekte Wahabi dengan amat bernas.
Kelima, selain itu, dalam kesempatan ini, buku ini—yang hampir sejak satu abad lalu menghilang dari wacana publik—diterbitkan ulang tidak hanya dalam satu bahasa saja, tetapi dua bahasa: Arab dan Indonesia dalam satu buku. Apalagi penyajian buku ini juga dilengkapi dengan ulasan singkat nama-nama tokoh maupun sumber-sumber kitab yang menjadi rujukan, sehingga kesemua ini memudahkan para pembaca dalam menelusuri jejak tradisi (transmisi) keilmuan sekaligus memahami secara utuh pemikiran penulis dengan baik.
Secara subtansial, buku setebal 303 halaman ini, sangatlah menarik dan penting. Bahkan dalam kata pengantar, KH Maium Zubair menegaskan bahwa apa yang dikandung dalam buku ini amat layak diketahui oleh mereka yang mengaku sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, dan pembela Aswaja—dan tentunya bagi umat Islam yang menyukai ajaran Islam yang damai, santun, dan humanis.
Data buku
Judul Buku Asli : An-Nushûs al-Islamiyyah Li Ar-Rad ‘Ala al-Wahabiyyah
Judul Terjemah : MenolakWahabi, Membongkar Peyimpangan Sekte Wahabi dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir at-Tilmisani
Penulis : KH Muhammad Faqih Maskumambang
Penerjemah : KH Aziz Masyhuri
Kata Pengantar : KH Maimun Zubair
Penerbit : Penerbit Sahifa
Cetakan/tahun : 1/2015
Tebal : 303 hlm.
Bahasa : Arab dan Indonesia
Peresensi : M Abdul Rouf, mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar, Kairo
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
3
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
4
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
5
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
6
Menag Penuhi Undangan Arab Saudi untuk Bahas Operasional Haji 2025
Terkini
Lihat Semua