Jamal D. Rahman dalam komentarnya mengatakan, “Sosok para nabi terasa berdenyaran bukan saja karena inferensi kita tentang kisah para nabi itu sendiri, melainkan juga karena diksi dan imajinasi Ahmad Adib Amrullah dalam puisi-puisinya. Dengan puisi-puisinya Ahmad adib membangkitkan perasaan kita tentang para nabi, sekaligus menghubungkan batin kita dengan para kekasih Allah.”
SuksesAhmad Adib Amrullah menarasikan 25 Nabi melalui sajak-sajaknya yang kental aroma sufistik, membuat kita serasa bercinta dengan para kekasih Allah. Para Nabi adalah cahaya kehidupan, menularkan kebijaksanaan, memberikan kesejukan, dan memberikan pencerahan yang terang benderang. Kalau saja dalam kisah sederhana, sejarah ilmiah, dan penuturan lisan—kita selalu menemukan keindahan para nabi, apalagi disuguhkan dengan bahasa agung, yang digunakan oleh Ahmad Adib dalam menyanjung 25 Nabi. Sungguh luar biasa.
Ini yang baru disadari, puisi tentang kenabian memang penting dalam kehidupan kita, supaya kisahnya, ajarannya, dan hikmahnya akan selalu menyambung sebagai untaian “nikmat kata” yang penuh makna. Sebagaimana Ahmad Adib Amrullah menggambarkan Nabi Adam yang terlempar dari Surga, ia bertanya dalam puisinya, “Adakah yang menandingi kemuliaan maksiatku?”
Saya “iri” dalam hal ini, kenapa kata-kata tersebut bukan saya yang menemukannya.Bagi saya diksi dan pengandaiannya luar biasa, di mana Ahmad Adib Amrullah ingin menggambarkan keluarnya Adam dari surga adalah permulaan manusia menjadi khalifatullah, dengan perantara memakan buah khuldi, buah yang sebelumnya dilarang Allah SWT untuk dimakan.
Dalam susunan kata tersebut kita menemukan kata “kemuliaan” dan “maksiat”, kedua kata itudalam realitas kehidupan adalah kata yang berlawanan, berlainan, dan berbeda—“kemuliaan maksiat”. Sungguh, bertolak belakang. Kemuliaan biasa diidentikan dengan hal-hal baik, dan maksiat biasa diidentikan dengan hal-hal buruk. Namun, dalam syair yang dituliskan oleh Ahmad Adib maknanya menjadi berbeda, kesalahan Nabi Adam adalah kemuliaan bagi manusia sekarang. Siapa yang bisa menandingi peristiwa tesebut? Saya katakan “ini penggambaran yang jenius”. Mungkin hanya ditemukan oleh mereka yang menjiwai makna kisah kenabian.
Usaha Ahmad Adib tidak bisa kita anggap remeh, melalui puisi-puisinya ia mencoba mengakrabkan para nabi dengan pendekatan sastra. Memang, ini bukan hal baru jika kita merujuk pada sejarah kesusateraan Arab-Persia, tapi di Indonesia, seperti yang dikatakan Soni Farid Maulana dalam mengomentari buku ini, “Termasuk tema yang jarang digarap oleh para penyair Indonesia, baik yang duduk di pesantren maupun umum. Antologi ini merupakan tafsir religius yang wajib diketahui”.
Ahmad Adib Amrullah terlahir dari keluarga Pesantren dan ia juga lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir(2000-2009). Ia menghabiskan waktu 9 tahun di al-Azhar. Semenjak lulus SD hidupnya dihabiskan di Pesantren, ia menyelesaikan pendidikan menengah pertama dan menengah atas di Pondok Pesantren Asshidiqiyah Batu Ceper (1994-2000). Pantas, dalam kumpulan puisi “Sajak Dua Puluh Lima Nabi” ini, ia sangat memahami betul bagaimana kisah dan hikmah apa yang harus ditularkan dalam puisi-puisinya.
Mungkin Ahmad Adib Amrullah terinspirasi oleh Hasan bin Tsabit (563-674) dan Ka’ab bin Zubair (wafat sekitar 662 M) adalah sastrawan terkenal di zaman Rasulullah. Mereka sering menulis syair untuk memuji dan membela Rasulullah. Bahkan. Ka’ab bin Zubair diberi hadiah “burdah” oleh Rasulullah setelah membacakan syair “banat su’ad” dihadapan beliau.
Dalam “Sajak 25 Nabi” Ahmad Adib menawarkan berbagai ajaran moral yang telah diwariskan dan diajarkan oleh 25 Nabi, agar kita selalu mengingat dan meneladani bagaimana jejak kebaikan dan kebijaksanaan para nabi.
Di sinilah Ahmad Adib menawarkan nilai-nilai pencerahan, seperti dalam puisinya “Sajak ke 20”, menggambarkan Nabi Ibrahim, “Potonglah salah satu leher iradahmu, sebagai tanda shadaq dan taslim-mu, sebagai tanda tulus dan pasrahmu. Karena ‘ingin’-mu akan tersembelih oleh ingin-Nya”. Ahmad Adib merangkai katanya begitu istimewa, Nabi Ibrahim menghadapi posisi “tidak biasa” mengorbankan anaknya Ismail, ia lanjutkan lagi dalam puisi berikutnya.
“Aku telah sampai pada derajat mengorbankan, sementara anakku telah berada pada maqom dikorbankan”. Lalu dalam syair lanjutannya Ahmad Adib bertanya, “Beranikah engkau mengorbankan sesuatu yang paling engkau cintai, atau sudikah engkau dikorbankan oleh Sang Maha Cinta?”
Apa yang Anda temukan dari potongan-potongan puisi tersebut, Ahmad Adib bukanlah penyair-penyairan, melaikan penyair sungguhan. Kita akan terkejut lagi, bagaimana Ahmad Adib Amrullah menggambarkan Tuan Semesta Jagad Sayyidina Muhammad, ia menuliskan, “Sungguh sesat kata ini untuk menggambarkan sehelai ujung kukumu, Tuan.”
Ia gambarkan dalam puisi selanjutnya, “Bila wangi kasturi menodai titik semerbak wangimu, anugerahkan ludahmu bagi papa nestapaku, Kanjeng.” Ia pun bersimpuh pasrah dalam puisinya, “ Jikalau memujamu adalah sebuah dosa, maka aku memilih untuk berlumuran durja, dan Jika memuliakanmu adalah petaka, maka izinkan aku bergumul dengan derita.”
Hebat! Ahmad Adib begitu peka, ia tidak “kecolongan diksi” sama sekali. Pemilihan katanya benar-benar “eddiiiyyan tenan”. Kekagumannya terhadap Kanjeng Nabi Muhammad memunculkan kata-kata sebegitu indahnya.Saking cintanya Ahmad Adib kepada Baginda Rasul—menggambarkan “kuku”-nya pun ia merasa tidak ada kepantasan.
Kata “ludah”, “durja”, dan “derita” dalam bait kata-kata tersebut tersirat makna yang sangat dalam sekali. “Bukanlah ludah”, hakikatnya adalah keberkahan, “bukanlah durja”, hakikatnya adalah kesetiaan, dan “bukanlah derita”, hakikatnya adalah kepasrahan. Pilihan diksi tersebut mengisyaratkan Ahmad Adib ingin berada pada kondisi “kosong” dan benar-benar bercinta dengan Rasulullah, seperti yang dilakukan para sufi, bukan kesombongan yang dibawa, melainkan kepasrahan total untuk menjemput hakikat sejati. Saya teringat dengan syair asy-Syekh Yusuf ibn Ismail an-Nabhani, tentang Terompah Rasulullah Saw, “secara dzahir ia adalah sandal, namun hakikatnya ia adalah mahkota.”
Saya kurang begitu paham, buku ini ditulis pada rentang waktu berapa lama. Dan saya coba cek seluruh puisi yang ada dalam buku ini sama sekali belum pernah terpublish di media. Artinya, ini benar-benar karya yang segar. Buku ini mempunyai ketebalan 101 halaman, bagi saya kurang tebal, namun sebagai pembuka “kran” puisi tentang para Nabi, saya rasa cukup.
Hanya saja,saya butuh makna lain dari buku ini (butuh gizi lain dari buku ini), entah apa.Buku ini harus ditebalkan oleh si mpu-nya. Saya berharap Ahmad Adib Amrullah tidak puas dan tidak berhenti di sini, masih banyak yang bisa digali hikmah dari kisah 25 Nabi.Namun setidaknya, seperti kata komentar Anis Sholeh Ba’asyin, “Ahmad Adib Amrullah sudah menunjukan tekad kuatnya untuk menuangkan renungannya tentang 25 Nabi dalam bentuk puisi.”
Dalam hal ini, tidak berlebihan jika saya mengatakan, inilah “penyairbaru yang jenius” hadir di Indonesia, dengan membawakan tema di luar kebiasaan para “penyair Indonesia”, ide yang brilian, ide luar biasa.
Ahmad Adib menutup buku puisinya dengan sangat menakjubkan, “Aku tak peduli badai, karena aku tak benci udara. Aku tak peduli sengatan, karena aku tak benci api. Aku tak peduli gelombang, karena aku tak benci air. Aku tak peduli lindu, karena aku tak benci tanah. Aku hanya rela, apa yang Ia minta. Aku tak perdulikan surga, aku tak perdulikan neraka, aku telah rela, jadi yang Ia rela.”
Ini yang harus kita sadari, inti dari pengabdian diri kita tehadap Allah adalah kepasrahan, keikhlasan, syukur, dan kesabaran. Karena ujungnya, usahamu, ibadamu, dan segala perbuatanmu—kau harus rela, jadi apa yang Ia (Allah) rela.
Judul : Sajak Dua Puluh Lima Nabi
Penulis : Ahmad Adib Amrullah
Penerbit: Karkasa
Cetakan : Pertama, 2017
ISBN : 978-602-61118-2-1
Peresensi: Aswab Mahasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.