Pustaka

Naik Haji ‘Bersama’ Kekasih Allah

Senin, 31 Juli 2017 | 03:00 WIB

Ibadah haji menempati urutan terakhir dari beberapa rentetan rukun Islam, haji sedikit berbeda dengan rukun-rukun Islam yang lain. Ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup, dan itupun berlaku kepada orang yang mampu saja, baik secara fisik maupun materi. Keadaan atau keputusan Islam ini memacu semangat juang sebagian kaum muslim yang berada pada taraf ekonomi menengah ke bawah, mereka berusaha sekuat tenaga dan sabar dalam mengumpulkan dana untuk menjadi tamu Allah.

Pada tahun 2017 ini, ada beberapa kisah calon jamaah haji yang taraf ekonominya bisa dibilang cukup rendah, akan tetapi mereka berhasil mendaftar haji dengan menabung selama puluhan tahun. Di Klaten Jawa Tengah misalnya, Ngadiman Yitno Samito, seorang tukang becak ini berhasil melaksanakan rukun Islam yang terakhir setelah menabung selama 20 tahun dari hasil mengayuh becak. Lebih lama menabung dari Ngadiman, ada Mansyur yang berprofesi sebagai tukang jahit, pria yang berasal dari Banjarnegara Jawa Tengah itu bisa melaksanakan ibadah setelah menabung selama 27 tahun. Selain untuk membiayai keluarga, hasil kerja keras dari usaha kecil-kecilan mereka sisihkan untuk menabung. Sungguh proses dan usaha yang begitu lama mereka lakukan hanya untuk memenuhi rukun Islam yang kelima.

Perjuangan dan kerja keras untuk mengunjungi Rumah Allah tidak hanya terjadi pada sebagian warga Indonesia saat ini, akan tetapi Nabi Muhammad dan para sahabatnya dulu juga mengalami hal serupa. Pada tahun 6 H/628 M Rasulullah bersama sekitar 1.400 kaum Muslim yang berangkat dari Madinah berniat untuk mengunjungi Makkah, setibanya di Hudaibiyah kedatangan mereka ditolak oleh kaum musyrik Quraisy yang menguasai kawasan Makkah waktu itu. Terjadilah perundingan di antara kedua belah pihak, dan disepakati beberapa perjanjian Hudaibiyah, salah satunya Rasulullah beserta rombongannya baru bisa mengunjungi Kota Makkah selama tiga hari pada tahun berikutnya (hal. 255).

Perjalanan panjang yang sangat melelahkan harus ditambah dengan kekecewaan yang mendalam, Umar ibn Al-Khattab termasuk sahabat yang merasa tidak puas dengan isi perjanjian Hudaibiyah, karena kaum Muslim seperti direndahkan, padahal kaum Muslim berada pada kebenaran sedang orang-orang musyrik berjalan di atas kebatilan. Umar ibn Al-Khattab pun mengajukan beberapa keberatannya kepada Rasulullah dan Abu Bakar, akan tetapi Rasulullah tetap berpegang pada isi perjanjian Hudaibiyah, sehingga pada tahun itu beliau bersama rombongannya harus kembali ke Madinah.

Hal ini nampaknya memberikan isyarat kepada kaum Muslim, bahwa terkadang memang tak mudah untuk menapakkan kaki di Tanah Suci Makkah, butuh perjuangan dan tekad yang bulat, apalagi bagi mereka yang memiliki taraf ekonomi rendah. Kisah Ngadiman Yitno Samito dan Mansyur di atas mungkin sedikit bisa memberikan motivasi bagi mereka yang taraf ekonominya rendah tetapi memiliki keinginan yang luar biasa untuk menjadi tamu Allah.

Dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah pertama kali melaknasanakan ibadah haji pada tahun 10 H. pada akhir-akhir bulan Dzulqa’dah Rasulullah mulai berkemas-kemas untuk berangkat, menyiapkan bekal perjalanan, memakai wangi-wangian, dan mengenakan mantel. Sebelum niat berihram, beliau terlebih dahulu mandi, kemudian ‘Aisyah binti Abu Bakar Al-Siddiq memercikkan wewangian ke tubuh dan kepala beliau, hingga tetesan wewangian itu terlihat meleleh di anak-anak rambut dan jenggot, dan beliau tidak membasuh tetesan wewangian itu. Pada tanggal 4 Dzulhijjah 10 H, setelah memasuki Masjid Al-Haram beliau langsung melaksanakan tawaf mengelilingi Ka’bah, lalu dilanjutkan dengan melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwah tanpa bertahallul, karena beiau berniat melaksanakan Haji Qiran (hal. 268).

Selain menjelaskan tentang bagaimana kisah Rasulullah bersama para sahabat menunaikan ibadah haji yang dikemas dalam 20 bab, penulis juga mengutip pesan Ali Syariati dalam karyanya, Haji. Menurut Ali Syariati, yang terpenting dari ibadah haji adalah kesungguhan untuk menangkap pesan sejarah dari tokoh-tokoh yang diperankan, dengan tokoh utamanya: Nabi Ibrahim. Perjalanan hidup beliau senantiasa dicurahkan hanya kepada Allah, meski begitu beliau tetap harus menerima beberapa cobaan dan ujian dari Allah, dengan diperintahkannya menyembelih putra kesayangannya (hal. 251). 

Dengan kata lain, Muslim sejati dan apalagi sudah berpredikat sebagai “pak haji” harus selalu tabah dan memasrahkan semuanya kepada Allah ketika ia ditimpa suatu musibah, bisa saja saat itu Allah menguji kesabarannya. Muslim sejati tidak bisa berlomba-lomba dengan ketetapan dan ketentuan Allah.

Ibadah haji juga sebagai simbol kesederajatan sesama manusia, karena pada waktu pelaksanaannya semua jamaah haji sama-sama berdiri di hadapan Khalik-Nya dalam pakaian yang sama, tanpa perbedaan satu dengan yang lain. Sikap ini selayaknya harus tetap dipelihara sampai kembali pada kampung halamannya, sehingga “pak haji” tidak merasa “tinggi” sendiri dan tidak serta merta merendahkan dan apalagi menghina orang-orang di sekitarnya. Para kerabat, sanak family, dan tetangga sebenarnya mengharap “pak haji” atau orang yang pulang dari Tanah Suci sebagai sosok Nabi Ibrahim di kampung halaman mereka.

Data Buku
Judul : Pesona Ibadah Nabi: Shalat, Zakat, Puasa, Haji
Penulis : Ahmad Rofi’ Usmani
Penerbit : Mizan Pustaka
ISBN : 978-602-1337-35-6
Tebal : 346 Halaman
Peresensi: Saiful Fawait, Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep.