Pustaka

Sketsa Kebangsaan Gus Dur

Rabu, 7 Februari 2018 | 04:48 WIB

Malam itu sekitar tahun 1980-an, gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman dipangku ayahnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang mengomandani amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina.

Gadis kecil yang saat ini akrab disapa Yenny Wahid itu mengungkapkan, saat itu ayahnya mengenakan kaos bertuliskan “Palestina”. Kala itu, Gus Dur menggelar pengumpulan dana dan aksi simpati terhadap warga Palestina bersama para tokoh dan sejumlah seniman, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri.

Simpati kemanusiaan terhadap sebuah bangsa, terutama kelompok tertindas dan lemah (mustadh’afin) adalah salah satu persoalan pokok yang menjadi perhatian Gus Dur. Apapun agama, keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas bagi Gus Dur untuk melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar negeri.

Peran dan pergaulannya yang luas membuat setiap orang mempunyai kesan mendalam terhadap Gus Dur. Bahkan, kasih sayangnya yang tercurah kepada semua manusia membuatnya terus dikenang oleh setiap elemen bangsa ketika dirinya telah tiada. Bahkan, Soka University Tokyo milik Soka Gakkai yang didirikan Daisaku Ikeda hingga saat ini masih menjadikan Gus Dur sebagai ikon penggerak kebudayaan modern.

Pengalaman, testimoni, dan kesaksian terhadap pribadi Gus Dur memang sudah banyak dibicarakan para tokoh nasional dan lokal, bahkan internasional. Tetapi dalam buku berjudul Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa terbitan Elex Media Komputindo berupaya menghadirkan sebuah sketsa berbeda yang coba dihadirkan para tokoh dari berbagai bidang dan kalangan untuk memberikan testimoni yang selama ini belum banyak terungkap mengenai pribadi Gus Dur dari berbagai sudut pandang.

Ada 20 orang dalam buku ini yang menuliskan pengalamannya dengan apik sehingga pembaca dibawa larut ke dalam kisah-kisah Gus Dur berdasarkan interaksi langsung (direct interaction) dengan sang guru bangsa.

Mitsuo Nakamura misalnya. Profesor Emeritus bidang Antropologi pada Universitas Chiba Jepang yang banyak menekuni isu-isu kontemporer Indonesia ini mengungkapkan, saat dirinya mengajak jalan Gus Dur bersama istrinya Shinta Nuriyah berkeliling ke Kota Kamakura di Jepang. 

Dalam perjalanan tersebut, Mitsuo Nakamura yang tidak lain orang Jepang sendiri merasa kalah dengan pengetahuan Gus Dur tentang sejarah kota kuno yang pernag menjadi ibu kota Kerajaan Jepang pada abad ke-12 itu, dan diancam oleh invasi tentara Mongol. Selain itu, Gus Dur ingat betul detail-detail novel Shogun dan film Kurosawa Ran. “Kebanyakan pertanyaan Gus Dur tentang dua karya seni itu melampui kemampuan saya untuk menjawab,” ungkap Nakamura.

Testimoni pribadi Gus Dur juga datang dari Habib Saggaf bin Mahdi, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Iman Parung, Bogor, Jawa Barat. Habib Saggaf pernah berinteraksi langsung dengan Gus Dur ketika dirinya diminta bantuan oleh Yenny Wahid untuk membujuk dan menaihati Gus Dur agar mau melakukan proses cuci darah.

Misi tersebut berupaya dibawa Habib Saggaf dengan sejumlah jurus agar dapat meyakinkan Gus Dur untuk mau cuci darah. Singkat cerita, Habib Saggaf yang disapa Gus Dur dengan sebutan Habib Parung ini berhasil membujuk. Namun, di tengah-tengah obrolan di kediaman Gus Dur tersebut, Habib Saggaf terkesan dengan sikap hangat dan lontaran humor-humor segar dari mulut Gus Dur.

Selain itu, Habib Saggaf juga menceritakan pengalamannya bertemu dengan Gus Dur dalam mimpi dan sosok Gus Dur yang menurutnya adalah salah satu contoh orang yang dicintai Allah SWT dan manusia dari berbagai kalangan. Dalam mengelola pesantren dan aktivitas sosialnya, Habib Saggaf juga banyak mengambil pelajaran dari Gus Dur sebagai manusia yang dekat dengan siapa saja.

Ketika disarikan satu per satu, tentu ruang resensi ini terlalu panjang untuk dibaca. Termasuk pengalaman bersama Gus Dur dari seorang Dorce Gamalama, Inul Daratista, KH Imam Ghazali Said, Don Bosco Selamun, Acep Zamzam Noor, Ahmad Tohari, Franz Magnis Suseno, Jaya Suprana, Al-Zastrouw Ngatawi, dalan lain-lain yang diungkapkan dalam buku setebal 202 halaman ini.

Semakin banyak terungkap sikap, pemikiran, dan hal-hal lain terkait Gus Dur, semakin banyak pula pundi-pundi kebijaksanaan (wisdom) dari sang guru bangsa yang perlu diungkap, ditulis, dan diterapkan secara luas. Hal ini berangkat dari sketsa Gus Dur dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara yang cakupannya tidak hanya para tataran lokal dan nasional, tetapi juga pada ranah global.

Karena Gus Dur juga aktif merajut benang-benang perbedaan yang masih tercecer di setiap belahan dunia untuk mewujudkan persatuan kemanusiaan dalam kain perdamaian. Saat masih aktif sebagai pelajar dan santri di Indonesia, Gus Dur kecil sudah mampu melahap sejumlah buku-buku bacaan tidak ringan bagi anak seumurannya. Begitu juga dengan kajian berbagai kitab kuning karya para ulama yang menurutnya mempunyai daya bahasa dan sastra yang luar biasa.

Saat aktif menjadi mahasiswa di Kairo dan Baghdad, pengembaraan ilmunya tidak hanya ia dapat dari buku, tetapi juga berusaha memahami kehidupan sosial, budaya, dan sejarah yang melingkupinya. Yang turut menciptakan kuatnya Gus Dur adalah pergaulannya yang sangat luas ketika itu. Turut aktif di dunia luar dan bertemu banyak orang bagi Gus Dur tidak akan ia dapatkan ketika hanya belajar di dalam kampus.

Gerakan sosialnya antara lain ia goreskan ke dalam tulisan demi tulisan yang beredar di sejumlah koran, jurnal, seminar-seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya. Bahkan, tidak sedikit pemikirannya yang dituangkan dalam bahasa Inggris ketika ia mengisi di sejumlah forum internasional. Bagi Gus Dur, gerakan nyata untuk mengubah tatanan sosial, agama, budaya, dan lain-lain ke arah yang lebih baik akan tersampaikan dengan lengkap ketika gerakan tersebut juga diiringi dengan aktivitas menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan.

Gerakan-gerakan Gus Dur berlanjut ketika dirinya diamanahi menjadi Presiden Republik Indonesia pada 1999. Gerakan merajut kebangsaan diperluas oleh Gus Dur ke dalam ranah global. Hal itu ia upayakan dengan melakukan diplomasi budaya. Bukan diplomasi politik yang ndakik-ndakik, njlimet, dan formalistik, tetapi diplomasi yang penuh humor dan kopi. Hal itu ia lakukan dengan sejumlah pemimpin besar dunia.

Gus Dur adalah sebuah sketsa. Jika setiap orang mampu melihat kasih sayang, agama yang ramah, persatuan yang kokoh, kebersamaan dalam berbangsa, membela yang lemah dan tertindas, menegakkan hak-hak kemanusiaan, beragama secara substansial, kejeniusan, penuh humor cerdas, serta  kepemimpinan yang kokoh mengayomi, maka goresan-goresan itu akan tertuju pada sketsa yang jelas bernama KH Abdurrahman Wahid, Gus Dur. Selamat membaca!

Idenitas buku:

Judul: Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa
Editor: Alamsyah M. Djafar dan Wiwit R. Fatkhurrahman
Penerbit: Elex Media Komputindo (Kompas Gramedia)
Cetakan: Pertama, 2017
ISBN: 978-602-04-4729-2
Tebal: 202 + xvii halaman
Peresensi: Fathoni Ahmad