“Sesungguhnya Dialah yang menjadikan manusia tertawa dan menangis.” (Q.S. al-Najm: 43)
Al-Qur’an merupakan lautan hikmah tanpa tepi bagi siapapun yang menyelaminya, obat bagi segala penyakit, dan pedoman dalam menjalani hidup yang fana ini. Semua yang ada dalam Al-Qur’an adalah titah ilahi. Siapapun yang mengamalkannya, pasti akan selamat dunia dan akhiratnya. Selama berpegang teguh kepada Al-Qur’an, maka manusia tidak akan tersesat. Bukan kah Nabi Muhammad sudah menyabdakannya; Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara [pusaka]. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunah Rasul.” (HR. Malik, Muslim dan Ash-hab al-Sunan).
Akan tetapi, latar belakang wawasan, pengetahuan, pengalaman, guru, dan kecenderungan seseorang akan suatu hal menyebabkan perbedaan dalam memahami Al-Qur’an. Ada yang memaknai Al-Qur’an secara tekstual, ada yang kontekstual, dan ada pula yang liberal. Masing-masing meyakini pemaknaannya lah yang paling shahih. Naasnya, saat ini ada satu kelompok yang memonopoli pemaknaan Al-Qur’an. Mereka menganggap yang lainnya sesat dan tidak benar seolah-olah mereka lah yang paling mengetahui apa yang dimaksudkan Tuhan.
Al-Qur’an menyinggung berbagai aspek kehidupan. Mulai dari soal agama, etika, moral, seni, budaya, sosial, ekonomi, politik, dan banyak hal lainnya. Di dalam Al-Qur’an juga ada cerita-cerita tentang sejarah umat terdahulu, penciptaan langit dan bumi, dan kabar kehidupan setelah di dunia ini. Di dalam sejarahnya, setiap ayat Al-Qur’an diturunkan sebagai respon atas kejadian yang terjadi pada saat itu. Sehingga dengan demikian, apa yang ada di dalam Al-Qur’an itu semestinya tidak jauh dari sisi-sisi kemanusiaan.
Terkait hal itu, dalam buku ini Hasan Taşdelen berupaya untuk menampilkan ‘sisi lain Al-Qur’an.’ Ia menulis kisah, cerita, dan anekdot yang disesuaikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Setidaknya anekdot tersebut dikaitkan dengan budaya dan pemahaman pada saat itu atau dikaitkan dengan tata bahasa Arab. Sehingga melahirkan cerita –interaksi seseorang dengan ayat Al-Qur’an- yang bisa membuat orang tertawa dan menangis.
Buku ini terbagi menjadi dua bagian; bagian pertama tentang anekdot yang bisa membuat kita tersenyum dan tertawa dan bagian kedua memuat anekdot yang bisa membuat kita menangis. Anekdot-anekdot tersebut memotret kisah dari zaman Nabi Muhammad hingga tabi'it tabi'in dan digali dari karya-karya sastra klasik.
Salah satu kisah yang cukup mengocok perut kita adalah kisah Si Mujrim yang Lugu. Suatu ketika Mujrim salat pada barisan pertama. Kemudian imam membaca Surat Al-Mursalat ayat 16; Bukankah telah kami binasakan orang-orang terdahulu? (alam nuhlikil awwalin). Mendengar hal itu Mujrim langsung mundur ke barisan paling akhir. Ia mengira yang dimaksud dalam Al-Qur’an yang dibaca imam salat tersebut adalah orang pada barisan pertama.
Kemudian imam melanjutkan bacaannya; Lalu Kami susulkan (azab Kami atas) orang-orang yang datang kemudian (tsumma nutbi’uhumul akhirin). Merasa dirinya yang dituduh karena berada di barisan paling belakang, lalu Mujrim bergerak maju dan pindah ke barisan tengah. Imam melanjutkan lagi bacaannya; Demikianlah kami perlakukan para pendosa (kadzalika naf’alu bil mujrimin). Mendengar hal itu, tanpa tengok kanan-kiri, Mujrim langsung kabur meninggalkan masjid karena merasa dirinyalah yang dicari-cari untuk dibunuh setelah namanya disebut mujrimin (para pendosa) di ayat terakhir.
Sementara, kisah tentang tangis bersama Al-Qur’an diantara adalah tangisan Umar bin Khattab ketika menjadi imam salat Subuh dan membaca Surat Yusuf; Dan dia (Yakub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf,” kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia diam menahan amarah (terhadap anak-anaknya). Ketika sampai pada Surat Yusuf ayat 84 ini, air mata Umar bin Khattab tumpah. Bahkan disebutkan, Umar tidak bisa melanjutkan bacaan setelahnya setelah menangis keras tersebut.
Menurut saya, dari buku ini kita bisa belajar bagaimana memahami Al-Qur’an. Kitab suci umat Islam tersebut tidak cukup dipahami secara tekstual. Karena hal itu bisa menjadikan kita menjadi ‘Mujrim-Mujrim yang lainnya.’ Al-Qur’an seharusnya dipahami sesuai dengan konteks dan asbabun nuzulnya sehingga kita bisa menyelami makna di setiap ayat Al-Qur’an dan mengontekstualisasikannya dengan apa yang terjadi saat ini.
Tidak lain, buku ini hadir mengajak kita untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sahabat sejati. Buku ini terdiri atas ratusan kisah unik tentang Al-Qur’an atas beragam topik. Dengan bahasa yang ringan dan jenaka, penulis mampu menghadirkan kisah-kisah lucu dan menyentuh tentang interaksi seseorang dengan Al-Qur’an yang digali dari khazanah klasik.
Identitas buku
Judul : Tertawa Bersama Al-Qur’an, Menangis Bersama Al-Qur’an
Penulis : Hasan Taşdelen
Penerbit : Zaman
Cetakan : Cetakan I, 2014
ISBN : 978-602-1687-02-4
Tebal : 293 halaman
Peresensi : A Muchlishon Rochmat