Risalah Redaksi PENYEGARAN PEMIKIRAN ISLAM

Dari Monoteisme ke Moneyteisme

Kamis, 3 Mei 2007 | 00:56 WIB

Penyegaran pemikiran, pemahaman ulang serta penafsiran ulang terhadap ajaran Islam selalu dilakukan dari zaman ke zaman. Bahkan kecenderungan itu telah dinubuatkan dalam sebuah Hadis bahwa setiap seratus tahun akan datang seorang mujtahid yang akan memperbaruhi pemahaman keagamaan. Pembaruan pemahaman keagamaan merupakan kenyataan dan sekaligus keniscayaan historis dan sosiologis mengingat perkembangan masyarakat serta perubahan alam pikirnya.

Pembaruan selalu dilakukan oleh para pewaris Nabi baik secara intelektualitas, spiritualitas dan moralitas. Pembaruan dilakaukan benar-benar untuk mengembangakan agama itu sendiri dan untuk mendekatkan agama pada bahasa rakyat, sehingga masyarakat bisa memahami dan berujung pada peningkatan pengamalan ajaran agama secara tepat dan benar. ;

Langkah itu pun ditempuh sangat hati-hati. Pertama tentunya dengan memohon izin petunjuk serta bimbingan dari Allah, kedua melihat apakah pemikiran yang dikembangkan bermanfaaat bagi agama dan masyarakat. Ketiga dan yang sangat menentukan adalah mengoreksi diri sendiri apakah niatnya melakukan pembaruan murni sebuah ketelusan karena Allah atau untuk kepentingan pribadi, mencari popularitas, mencari kekuasaan atau mencari kekayaan. Bila semuanya sudah siap baru pembaruan dilakukan dengan segala risiko.

Dalam zaman serba pragmatis pembaruan dibuka lebar, semua orang yang asal mau dan berambisi bisa melangkah untuk melakaukan penyegaran pemikiran Islam dengan tolak ukur yang ditentukan sendiri dan tujuan yang dipatok sendiri, pembaruan kemudian menjadi kompetisi antar individu untuk mengejar populatitas dan kekuasaan. Walaupun dikatakan sebagai upaya penyegaran, tetapi tidak lebih dari upaya eksperimentasi yang dilandasi oleh permainan, keisengan dan kesembronoan.

Pembaruan dilaksanakan berdasarkan ide tentang progress (kemajuan) sementara yang disebut kemajuan adalah kemajuan materi, maka pembaruan telah menjadi proyek pembangunan ekonomi. Pembangunan yang semuala diarahkan untuk menjaga kemandirian umat dengan memperkuat basisi ekonomi itu menjadi ketergantungan pada ekonomi, sehingga agama menjadi ekonomis dan sangat ekonomis, sebagai sektor pekerjaan.

Dari situ kemudian banyak orang yang tertarik bekerja di sektor pembaruan Islam, sehingga muncul kelompok pengamat, ustadz, muballigh dukun dan sebagainya. Bukannya profesi ini dulunya tidak ada, tetapi berbeda filosofi, kalau dulu dijalankan dengan penuh pengabdian, sekarang dijalankan dengan penuh perhitungan. Akibat dari semua itu adalah pendidikan Islam mahal, pengajian mahal. Bahkan kalau dulu pesantren sebagai pendidikan alternartif yang bisa dijangkau orang paling miskin sekalipun, sekarang tak ada lagi pesantren gratis, semua harus dibayar tinggi. Masyarakat bahwah yhanya bisa belajar secara gratis di rumah atau di langgar yang disana masih ada sukarelawan yang mengajarkan agama.

Pembaruan yang pada mulanya diarahkan untuk meningkatkan kemurnian tauhid (monoteisme), kemudian berubah untuk memperbesar kekayaan (moneyteisme). Dengan tidak adanya monoteisme atau ketauhidan yang kuat maka orang bisa menyembah kepada siapa saja, terhadap dirinya sendiri, terhadap harta, terutama pada puncak harta (kapital). Bila orang telah mengabdi pada kapital, maka apa saja kepentingan kapital akan dilayani, termasuk keinginan kapital untuk mengeliminir barir norma agama yang selama ini dianggap menghalangi ekspansi kapital.

Dalam kepentingan ini banyak pembaru (mujaddid) yang berani dan mampu mendekonstruksi Islam terutama ajaran Al Qur’an sangat dibutuhkan dengan langkah yang santa sistematis, pertama meragukan otoritas Al Qur’an, kedua mendekontruksi kerasulan Muhammad, baru setelah itu merelatifkan sistem perkawinan, mencairkan hubungan keluarga lalu mendobrak sistem kekerabatan. Tujuan semuanya adalah individualisasi dalam rangka menciptakan kebebasan individu, tanpa ikatan perkawinan, tanpoa ikatan keluarga, tanpa ikatan kekerabatan dan kemasyarakatan.

Banyak pembaru yang dengan sangat sistematis menjalankan agenda itu tanpa terasa, padahal langkahnya tidak hanya meruntuhkan agama, tetapi juga merongrong tradisi, sebab semua yang memiliki akar keagamaan dan ketimuran diganti dengan spirit kemajuan yang digerakkan oleh kapitalisme global yang bercorak liberal. Karena itu kelompok pembaru ini dielu-elukan sebagai orang yang mampu menafsirkan Al Qur’an secara kontemporer dan sebagainya. Kalau sudah demikian berbagai penghargaan nasional dan internasional segera diperoleh. Karena mereka telah mampu menanamkan kebebasan individu, melakukan privatisasi agama, sebagai landasan bagi privatisasi sektor-sektor publik termasuk negara.

Ketika agama telah diabdikan sebagai alat kapitalisme global, maka umat menjadi korbannya. Ketika negara telah didekontruksi dan diswastanisasi maka negara dikuasai oleh pemilik modal, tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat sudah ditiadakan, juga telah dijadikan alat kapital. Akibatnya seluruh asset negara diatur swasta untuk mencari keuntungan, sehingga tugas negara melayani, melindungi masyarakat telah ditiadakan, negara menjadi miskin, para pengusaha yang kaya, sehingga tidak ada dana untuk masyarakat dan untuk kepentingan umum.

Melihat kenyataan itu maka tidak heran kalau gerakan kebebasan individu muncul di mana-mana, tetapi rakyat makin sengsara. Kalau dulu mereka bisa memperoleh pendidikan di sekolah negeri yang murah atau di pesantren yang sangat murah, maka sekarang mereka dihadapkan pada pendidikan yang sangat mahal, biaya kesehatan yang sangat mahal dan transportasi yang sangat  mahal, sehingga hal itu juga telah menghambat kemajauan aktivitas keagamaan masyarakat.

Ketika sistem  kekeluargaan direngangkan, sistem perkawinan direlatifkan, sistem kekerabatan dihancurkan oleh para pemikir pembaruan, karena semua itu diangggap komunal dan tradisionalistik Dengan demikian hilang pula solidaritas sosial, sehingga budaya saling membantu juga tidak ada, semua mengurusi dirinya sendiri, bahkan tel;ah dibuat orang lain sebagai musuh atau pesaing. Hilangnya solidaritas sosial ini dengan sendirinya juga menghancurkan solidaritas nasional, sehingga tidak ada lagi rasa sebangsa dan setanah air.

Ini sebenarnya puncak tujuan kapitalisme global dalam mendorong dan membiayai terjadinya pembaruan, penyegaran dan dekontruksi ajaran Islam yang justru dilakukan oleh para sarjana Muslim sendiri. Ekspansi kapital baik yang berupa investasi dan ekspansi militer bisa berjalan tanpa hambatan. Para pemikir Muslim yang telah diajari pluralisme (palsu) dan nonviolence (palsu) itu melarang segala bentuk perlawanan terhadap kolnialisme, karena perlawanan itu bertentangan dengan plurarisme dan mengancam doktrin anti kekerasan.

Pembaruan agama mestilah dikembalikan pada spirit iman, sebagaimana yang telah dinubuatkan demi kepentingan agama dan masyarakat Islam sendiri, bukan kepentingan kapitalisme. Sebab kalau agama diabdikan pada kapitalisme tidak hanya agama itu sendiri rusak, masyarakat Islam juga akan sengsara, karena menjadi objek penghisapan dan penjajahan baik secara ekonomi politik dan pemikiran. (Abdul Mun’im DZ)