Risalah Redaksi

Kebangkiatan Tanpa Gerakan

Jumat, 25 Mei 2007 | 03:14 WIB

Hari kebangkitan tahun ini diperingati secara luas oleh berbagai kalangan yang mencerminkan adanya upaya membangkitkan Indonesia dari keterbelakangan. Tetapi apa yang bisa diharapkan dari wacana atau sekadar opini yang disebarkan oleh masyarakat individualis dan pragmatis seperti masyarakat Indonesia. Semua mempunyai mimpi tentang Indonesia masa depan. Padahal masa depan itu telah mereka berangus sendiri.

Kalau para aktivis pergerakan dulu memiliki pemikiran besar dan jangka panjang, maka saat ini pemikiran besar dituduh sebagai megalomania. Sementara pemikiran jangka panjang dituduh utopia. Baik intelaktual maupun politisi tidak ada yang memiliki pemikiran menyeluruh dan jangka panjang, karena takut menerima tuduhan berpenyakit jiwa semacam itu. Lagi pula jiwa mereka telah dikerdilkan oleh sistem sekolahan yang membuat mereka menjadi teknisi, bukan penggerak. Maka kebangkitan ini diperingati dengan teriakan bukan dengan gerakan.

<>

Kita bisa saksikan berbagai pemikiran ditumpahkan oleh para elite tantang kebangkitan Indonesia, tetapi tidak sedikitpun mereka mau berkorban untuk Indonesia, malah Indonesia dijadikan sapi perah untuk memenuhi ambisi mereka. Kekayaan alamnya dikeruk, fasilitasnya didominasi, kekayaannnya dikorupsi. Bahkan secara aklamasi dan terbuka menjual seluruh aset negara kepada bangsa lain, sehingga negara menjadi jompo. Ketika negara telah jompo, mereka membuat akalmasi lagi untuk hutang keluar negeri, demikian hanya hasil hutang itu tidak untuk investasi tetapi dikorupsi lagi, sehingga negara semakin terjerumus dalam kenistaan.

Di tengah kenistaan yang dibuat itu mereka masih sempat meneriakkan dan memberikan harapan tentang kebangkitan Indonesia. Saat ini Indonesia bukan lagi negara kesatuan yang berdaulat tetapi telah mereka jadikan sebagai kapling yang setiap saat bisa dijual. Dengan memberikan semua usaha asing bisa berinvestasi di seluruh bidang, maka rakyat akan kehilangan mata pencaharian.

Lihat perusahaan rokok rakyat telah digilas oleh perusahaan rokok asing, melalui sebuah peraturan pemerintah. Sebentar lagi rakyat bisa digusur dari sawah dan rumahnya, oleh perusahaan asing ketika mereka dibebaskan mengambil tanah rakyat dan negera sebagai tempat usaha. Beberapa bulan setelah beroperasinya minimarket asing di berbagai pesantren membuat usaha rakyat gulung tikar. Semua upaya itu disahkan oleh para wakil rakyat dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Kebangkitan nasional adalah kebangkitan seluruh bangsa atau rakyat Indonesia, tidak hanya para elitnya. Sekarang ini hanya elite yang bangkit dengan menyerobot uang rakyat. Dimasa yang lalu dana reboisasi yang semestinya untuk pelstarian hutan dan rakyat dipinggiran hutan, dipakai untuk kepantingan politik. Belakangan ini DKP yang mestinya digunakan untuk memodernisasi peralatan para nelayan tetapi dijadikan kerayahan para elite politik, sehingga nelayan tetap sengsara, sementara elite yang menikmati hasilnya. Aliran dana berputar di elite, sehingga pembangunan tidak jalan, dengan demikian perekonomian juga tidak berputar, yang menjadikan rakyat kehilangan pendapatan, antren orang miskin utnuk mendapat jatah makan semakin panjang.

Dengan cara bersikap dan bertindak seperti itu kita mestinya berhenti berteriak tentang kebangkitan. Sebab pada dasarnya kita sedang meluncur menuju keterpurukan, rakyat semakin miskin, negara semakin miskin, kita sebagai bangsa juga semakin rendah kualitasnya, karena kehabisan asa. Sebagai negara juga semakin tidak berdaya. Bagaimana mungkin di masa yang lalu negara seperti Australia dan Cina segan dengan Indonesia, sekarang ini karena kelemahan para pemimpinnya, Indonesia bisa didekte oleh negara gurem seperti Singapura.

Penjajahan otak, penjajahan cara berpikir itu memang sangat strategis, tanpa harus mengeluarkan biaya banyak para imperialis tinggal mengendalikan para elite untuk memenuhi kepentingan meraka. Bangsa tidak boleh punya cita-cita, bangsa tidak boleh punya senjata, bangsa harus menghormati etika imperial, semua mereka taati, karena dianggap sebagai etika universal, manipulasi etika dan ideologi itu sedemikian luas, sehingga menjadi kepercayaan umum.

Kebangsiktan Nasional, mestilah didahului munculnya kesadaran sejarah dan kesadaran berbangsa, kesadaran itu tidak cukup hanya menjadi nilai, tetapi harus menjadi sistem perilaku dan tindakan. Dan tindakan itu mesti dilakukan dengan penuh risiko, maka disitu diperlukan komutmen yang kuat dan militansi yang tinggi. Tanpa militansi cita-cita kebangsaan itu hanya slogan belaka, sementara militansi butuh pengorbanan, pikiran, harta dan jiwa.

Bila prinsip kebangkitan seperti ini, maka sangat sedikit yang punya hak moral untuk melaksanakannya. Ini tidak apa-apa, lebih baik sedikit tetapi memikiki kesadaran diri, ini jauh lebih baik ketimbang besar dan gegap gempita tetapi tanpa kesadaran, seperti buih yang muncul secara musiman dan setelah itu lenyap disapu gelombang, itulah nasib nasionalisme kita yang serba semu. Itu yang perlu ditransformasi menajdi nasionalisme berkesadaran. Nasionalisme pemikiran yang berujung pada pergerakan.(Abdul Mun’im DZ).