Hubungan Indonesia dengan Australia yang tidak pernah tenang itu kembali mengalami ketegangan. Pendeknya negeri yang berada di Pasifik Selatan itu selelu membuat ulah, tidak menghormati etika diplomatik dan hukum internasional, sehingga Indonesia selalu menjadi sasaran ketidakberadaban politik pemerintah dan bangsa itu. Barangkali karena mereka adalah penjajah sehingga melihat kulit berwarna dianggap sebagai Aborigin sehingga layak diperlakukan semaunya.
Tindakan bangsa Australia melakukan penggerebekan terhadap utusan bangsa Indonesia Gubernur DKI yang merupakan tamu negara adalah tindakan biadab. Lagi pula terbunuhnya warga Australia di Timor Timur 30 yang lalu itu dalam situasi perang dan yang membunuh belum tentu tentara Indonesia, dan seandainya yang nyasar itu peluru tentara Indonesia belum tentu Gubernur DKI itu yang melakukan. Lagi pula kena peluru nyasar itu risiko wartawan perang dan petugas kemanusiaan yang bekerja di sana. Perang sudah usai, perdamaian dimulai tetapi tiba-tiba diungkit lagi dengan cara yang brutal dan kekanak-kanakan.
<>Kenyataan pelecehan yang selalu dialami bangsa ini hendaklah menjadikan bahan pelajaran bahwa orang berani menghina bangsa lain itu karena melihat bangsa lain itu lemah. Coba bayangkan Indonesia yang pada tahun 1950-1960-an merupakan negara paling kuat secara politik dan militer di Asia, karena saat itu Indonesia di bawah Bung Karno mampu membangun karakter bangsa ini. Selain itu juga memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh, sehingga semua negara besar dunia segan pada kehebatan Indonesia.
Sebaliknya sekarang negara gurem seperti Singapura sudah mendekte Indonesia, begitu juga negara yang lain. Sementara para pemimpin Indonesia yang kelihatan gagah dan galak itu ternyata sangat penurut. Contoh paling tragis adalah ketika tentara dengan persenjataannya yang canggih mulai dari kapal selam, destroyer, pesawat pemburu dan pembom antar benua dengan lugunya mau ditukar dengan pistol dan senapan paling banter panser. Arahnya pun dibelokkan, membeli senjata bukan untuk melawan penjajah, tetapi untuk melawan rakyat sendiri, seperti di Lampung di Jember di Bogor dan terakhir di Pasuruan.
Kemudian persenjataan TNI yang nggegirisi itu disimpan di museum, karena menganggap dunia tidak ada perang lagi. Sementara negara tetangga yang lain dengan segera melengkapi militernya dengan senjata canggih untuk menakut-nakuti dan menghina bangsa ini. Sementara kita dicekoki dengan doktrin anti perang, anti kekerasan yang palsu dan itu kita telan secara mentah-mentah baik oleh militer apalagi kalangan sipilnya.
Sebenarnya senjata paling canggih dan paling kuat adalah ideologi. Nah, ideologi bangsa ini yang lebih dulu dirongrong dengan dicuci otak melalui lembaga pendidikan, bahwa saat ini tidak perlu ada ideologi nasional, ketika manusia hidup di alam global. Padahal globalisme adalah alat baru kaum kapitalis untuk melakukan penjajahan. Bayangkan tidak hanya pemerintah negara lain yang bisa mendekte bangsa ini, tetapi perusahaan swasta juga sudah bisa mendekte pemerintah kita. Anehnya semuanya itu dianggap sebagai kewajaran, tanpa ada rasa ketersinggungan, karena harga diri dan ideologi sudah digadai dengan sejumlah materi.
Mengingat kenyataan yang memprihatinkan ini, maka pembentukan kembali karakter bangsa dengan melalui pengenalan dan penegasan lagi ideologi nasional itu menjadi sangat mendesak. Ini dianggap melawan arus, yaitu arus globalisasi. Justeru di situlah kita akan selamat, tidak tenggelam dan lenyap ditelan globalisasi ditelah gelombang penjajahan. Upaya reideologisasi ini secara politik juga agak susah sebab Pancasila sebagai ideologi negara telah dikorup oleh Orde Baru, sehingga orang takut dan curiga pada ideologi, khawatir dimanipulsasi, karena itu harus ada upaya rehabilitasi Pancasila yang telah dirusak orde baru itu. Akibat manipulasi itu pemrintahan dan elite politik diisi oleh kelompok pragmatis, sehingga tidak peduli dengan masa depan bangsa, tidak peduli dengan harga diri, hanya peduli dengan keuntungan materi.
Sementara materi itu bukan hasil kreasi sendiri, bukan hasil kerja keras, tetapi hasil dari hutang atau paling banter komisi. Bagaimana tidak menjadi bangsa budak kalau hidup mewah tetapi hasil dari komisi dan upeti. Kalau caranya seperti itu elite politik kita sangat mudah dilkendalikan oleh para pedagang termasuk pedagang kaki lima yang mampu memberi upeti mereka. Ini yang sekarang terjadi. Ini perlu disadarkan agar bangsa ini tidak menjadi masngsa bangsa lain, akhirnya menjadi banagsa yang miskin dan sengsara. Padahal kemerdekaan ini merupakan jembatan emas untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Kuncinya adalah kemandirian sehingga memiliki kedaulatan dan harga diri.(Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
4
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
5
Kongres Pendidikan NU 2025 Akan Dihadiri 5 Menteri, Ada Anugerah Pendidikan NU
6
Doa Istikharah agar Dapat Jodoh yang Terbaik
Terkini
Lihat Semua