Risalah Redaksi

Kembali pada Hati Nurani dan Kejujuran

Rabu, 13 Juni 2007 | 03:40 WIB

Ketika reformasi digulirkan, maka transparansi atau keterbukaan tiba-tiba menyeruak menjadi spirit dan watak dari seluruh aktivitas sosial politik. Pada mulanya sikap itu dinilai sangat positif, tetapi karena tidak dilandasi kejujuran, sebaliknya dilandasi oleh kecurangan dan kebencian, maka transparansi hanya digunakan untuk menjebak yang lain atau diperalat untuk kepentingan sendiri. Karena apa yang ditampilkan di permukaan secara transparan berbeda dengan yang dijalankan di bawah tanah.

Tetapi yang lebih memprihatinkan, transparan kemudian hanya tinggal transparan, tidak bisa disentuh saat terjadi penipuan. Kalau dulu orang korupsi secara sembunyi saat ini orang korupsi secara terbuka, tetapi belum tentu hukum bisa menjerat korupsi tersebut, sebab korupsi tersebut tekah sesuai dengan prosedur hukum. Sehingga yang terjadi orang korupsi sangat mudah dibuktikan secara sosial ekonomi tetapi sulit dibuktikan secara hukum.<>

Dalam kondisi semacam ini, kebanyakan orang lalu berpikir pragmatis, menipu atau ditipu, maka yang terjadi semua menipu semua, sehingga hidup penuh dengan penipuan. Ketika suasana penuh dengan tipuan itu, maka salah satu faktor perekat harmoni sosial akan hilang yanitu kepercayaan. Kepercayaan ini hilang karena tidak adanya kejujuran, karena manusia telah kehilangan nurani, menjadi sekadar homo economicus, homo politicus dan sejenisnya. Posisinya sebagai manusia hamba dan khalifatullah hilang.

Di tengah suasana saling menipu dan saling mencurigai itu, maka sangat tepat kalau ketua umum PBNU meminta kepada para aktivis korban Lapindo dan kalangan DPR yang hendak mengajukan interpelasi pada presiden, agar gerakannya kali ini dilandasi dengan kejujuran, benar-benar demi perjuangan rakyat. Jangan digunakan sebagai monuver atau sebagai pencitraan saja. Hal itu perlu ditekankan, sebab saat para korban Lapindo tidak percaya pada semua orang, ini karena pengalaman ditipu oleh semua pihak, baik Lapindo maupun para aktivis dan politisi.

Membingkitkan kepercayaan itu amat sulit tetapi harus dlakaukan, sebab dibutuhkan penyelesaian. Karena banyak masyarakat terlantar dan diterlantarkan. Apalagi sebagian besar korban adalah warga NU karena itu sangat beralasan kalau PBNU sangat peduli dengan masalah ini. Memang dalam sistem politik demokratis yang kapitalistik akan sulit mengubah orang untuk tidak membisniskan bencana atau penderitaan orang. PBNU menghendaki ada perubahan sistem politik secara mendasar, dari yang kapitalistik menjadi politik yang Pancasilais. Karena itu NU saat ini sedang giat mengkaji ekses dari amandemen UUD 1945, yang diangap sebagai biangkeladi kerunyaman, ketika sistem liberal diterapkan.

Tanpa ada perubahan sistem politik maka di negara ini akan terjadi kekacauan, sebab manusia  dipersiapkan untuk konsumtif, rakus dan korup. Tidak boleh ada pengabdian. Para pemimpin harus mengeruk uang negara sebesar besarnya dalam bentuk gaji tinggi, korupsi  dan sebagainya. Sikap itu tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah terutama setelah ada otonomi daerah, yang tidak lain adalah ajang elit lokal untuk mengeruk kekayaan daerah. Sehingga daerah tidak bisa membangun, hari-harunya hanya diramaikan dengan pemilihan pemimpin. Sementara pemimpin hanya sibuk memperkaya cukung yang membeayainya. Tidak peduli pada rakyat yang memilihnya.

Ketika reformasi tidak menyelamatkan bangsa ini, malah menjerumuskannya dalam krisi berkepanjangan, anarkhi tak kenal henti, maka sebagai salah satu penegak bangsa NU mulai mempelajari berbagai gerakan reformasi yang ada di dunia lain seperti reformasi Deng Hsiao Ping di Cina yang membawa keberhasilan. Tetapi juga reformasi yang mebawa kehancuran seperti reformasinya Gorbachev di Soviet Rusia. Setidaknmya Indonmesia bisa belajar dari keduanya, dimana reformasi boleh dilakukan dan tahu kapan reformasi harus dihentikan. Itu soalanya, kita tidak menguasasi reformasi, yang diugerakkan bangsa lain, yang memiliki kepentingan lain.

NU menginginkan kehidupan kembali normal berdasarkan prinsip keindonesiaa yang sudah disepakati, sebab reformasi ini juga membawa kekacauan ideologi. Banyak ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dibiarkan hidupp sehingga mereka merusak harmoni sosial. Bayangkan, dulu umat Islam hanya bersaing dengan agama lain. Kini, muncul kelompok Islam militan yang setiap hari pekrjaannya membuat petengkaran sesama Muslim, hanya karena beda aliran.

Perebutan tempat Ibadah terjadi, maka politisasi agama dan ibadah menjadi sangat tinggi. Sebagai organisasi besar yang mengayomi semua pihak, NU bersikap tegas dengan Islam garis keras yang membuat keresahan sosial itu. Sebab kalau hal itu dibiarkan akan terjadi konflik di mana-mana. Karena itu NU juga heran kenapa rezim reformasi itu membiarkan aliran yang bertentangan dengan ideologi negara dan prinsip NKRI dibiarkan. Padahal negara lain baik Eropa maupun Timur Tengah melarang gerakan semacam itu. Sekali lagi, pemerintah harus tegas agar negara ini tidak dicabik oleh konflik yang dipicu kaum militan. Ini hanya bisa dilakuakan kalau bangsa kita tahu batas reformasi, dimana harus mulai dan kapan harus berhenti, biar tidak kebablasan. (Abdul Mun’im DZ)