Risalah Redaksi

Ketika Politik Kembali Menjadi Panglima

Jumat, 4 Juli 2003 | 12:08 WIB

Jakarta, NU.Online
Kehidupan manusia  pada dasarnya bersifat prismatik, kaya dimensi dan penuh nuansa, berupa nuansa keagamaan, keilmuan, kesenian, perpolitikan dan perdagangan dan sebagainya, semua berjalan serentak, adanya  yang satu mengandaikan adanya yang lain untuk mencapai kesempurnaan. Tetapi ketika satu aspek kehidupan menjadi dominan, maka aspek yang lain akan didominasi, disetrap dan didekte. Persis itulah yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang, pada zaman multi partai ini, yang ditandai dengan kebebasan politik setelah 30 tahun didepolitisisasi, maka reaksi baliknya adalah politisasi yang gencar, sehingga kembali menjadikan politik sebagai panglima dalam kehidupan, sehingga aspek kehidupan lain diabaikan.

Ketika politik lama ditumbangkan, maka kebutuhan terhadap politisi baru sangat besar, karena itu diadakan rekrutmen politik besar-besaran, dari kalangan yang selama ini dianggap memiliki integritas moral, sedikit pengetahuan politik, dan memiliki komitmen demokrasi, karena itu diambilkan dari kalangan yang selama ini dianggap moralis dan pro demokrasi, maka kalangan perguruan tinggi, aktivis sosial, aktivis agama, para professional, termasuk dari kalangan seniman dan pengangguran.

<>

Akhirnya penggerak aspek kehidupan sosial yang lain terserap oleh kekuatan politik, sehingga mengakibatkan institusi sosial, apakah itu perguruan tinggi, ormas keagamaan, organisasi sosial, dan lembaga profesi, kehilangan sumberdaya terbaiknya, karena semuanaya terserap ke dunia politik. Itu semua dilakukan dengan alasan keadaan darurat, tetapi kemudian situasi darurat itu berkelanjutan. Akibatnya institusi masyarakat menjadi lemah, tidak mampu melayani masyarakat secara optimal, apalagi kemudian lembaga sosial dimana para politiisi berbasis juga dijadikan sarana politik, maka organisasi sosial, keagamaan dan profesi kehilangan fungsi utamanya, berbelok menjadi sarana politik, yang tidak beda dengan partai politik.

Karena kader aktivis sosial terserap ke wilayah politik maka posisi organisasi kemasyarakatan yang ada mengalami kekeringan sumberdaya dan ini susah diregenerasi, karena sistemnya memang belum mapan. Maka dominasi politik atas kehidupan social semakin menguat, seolah tidak ada sesuatu yang lebih penting dari politik, maka akhirnya lembaga sosial menjadi semi organisasi politik, melakukan lobi, manuver dan rekayasa politik. Kalau tidk mereka dipaksa terlibat dalam berbagai kekalutan politik yang terjadi, yang berpretensi sebagai menegak moral untuk mencari solusi, padahal ormas sekarang ini merupakan bagian dari kekalutan itu.

Politik pada dasarnya adalah sebuah cita-cita luhur, tetapi sekarang ini dikritik karena politik berbelok arah, sebagai sarana penguasaan yang penuh manipulasi. Demikian dominasinya yang kuat atas aspek kehidupan yang lain menjadikan kehidupan ini kering, tidak terjadi perkembangan akademis yang memadai, pendalaman spiritualitas yang semakin langka, membuat mandek kreativitas di bidang kesenian. Karena semua tenaga, pikiran dan dana dicurahkan semuanya untuk kegiatan politik, seolah kehidupan yang lain tak lagi penting, yang hanya berperan sebagai penunjang kepentingan politik, yang sepenuhnya didominasi oleh para elite.

Kalau dulu orang berpolitik karena mendapatkan panggilan hidup karena memiliki visi dan  kemampuan, untuk memperbaiki situasi, kalaupun punya ambisi pribadi biasanya sudah tercakup dalam cita-cita bersama, kesejahteraan pribadi akan diperoleh ketika kesejahteraan umum tercipta. Tetapi sekarang ini orang berpolitik, lebih karena ambisinya sangat menonjol hanya untuk mengejar kekuasaan, tanpa harus memiliki visi dan nir-kemampuan. Karena cita-cita mereka bukan hendak mengatur kehidupan ini, tetapi semata untuk mengumpulkan kekayaan, karena itu eskalasi korupsi dalam tatanan politik baru itu sangat tinggi.

Ketika di arus atas terjadi politisasi kehidupan yang luar biasa besarnya, maka terjadi arus balik di kalangan masyarakat bawah, yang berkembang sikap apriori politik sampai anti politik. Sikap itu tumbuh karena politik dikembangkan tidak untuk mereformasi atau pembaruan kehidupan, tetapi digunakan sepenuhnya oleh para elite politik untuk mengejar kekuasaan dan untuk mengeruk kekayaan negara, sementara nasib rakyat tidak pernah diperhatikan. Perkembangan aneh terjadi di masyarakat, walaupun politik menjadi penglima, tetapi masyarakat enggan bahkan muak pada politik,  semua kegiatan yang berbau politik mereka hindari apakah itu seminar, membeli buku politik.

Pemilu yang persiapannya hingar-bingar itu, ternyata semakin menambah apatisme masyarakat, sebab diperkirakan dengan sistem yanga ada pemilu hanya akan melahirkan politisi karbitan yang tidak memiliki komitmen sosial, bahkan menjadi akan menjadi politisi yang asosial yang akan semakin menyengsarakan rakyat, baik karena korupsinya, atau karena penggunaan fasilitas di luar batas, atau mereka menggaji dirinya sendiri sangat tinggi dengan mengeruk dana-dana yang semestinya disediakan untuk rakyat. Semua itu mengakibatkan aktivitas social terabaikan dan terbengkalai, tidak ada perhatian dan kekurangan dana, semua digunakan untuk dana politik yang amat mahal, ini tidak hanya mengakibatkan beaya ekonomi tinggi, tetapi juga mengakibatkan beaya pendidikan m