Risalah Redaksi

Maulid Sebagai Kebangkitan

Jumat, 30 Maret 2007 | 07:24 WIB

Kondisi masyarakat yang penuh keterbelakangan, kelemahan, keterpurukan baik secara politik maupun moral itulah yang menjadi alasan kenapa seorang Nabi diutus pada suatu kaum. Tidak lain kecuali untuk menjalankan misi kenabian untuk membangkitkan spiritualitas umat, menjadikan manusia yang bermartabat teguh secara jasmani dan rohani, agar menjadi masyarakat yang dinamis percaya diri, sehingga bisa dan berani menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun jumlah mereka kecil.

Kebangkitan spiritual yang digerakkan oleh Nabi itu mendorong bangkitnya mental kaum Muslimin, sehingga mereka tidak gentar menghhadapi dominasi kafir Quraisy yang sangat kuat. Demikian pula dalam sekala yang lebih besar mereka mampu keluar dari belenggu dominasi politik dan budaya dua imperium besar saat itu yaitu Romawi dan Persia. Bahkan pada akhirnya keduanya bisa ditaklukkan dengan bermodalkan iman.

<>

Sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW itulah yang memberi inspirasi Sultan Salahuddin Al-Ayyubi untuk memulai mengadakan perayaan maulid guna membangkitkan spiritual dan mental umat islam yang saat itu terpuruk oleh tekanan kaum salib. Ternyata dengan adanya peringata Maulid itu moral umat Islam bangkit, semangatnya bangkit  sehingga bisa diajak bergerak membela Islam dan mengusir kaum salib. Walaupun pasukan salib merupakan sekutu dari beberapa negara Eropa, tetapi dengan semangat baja mereka bisa dikalahkan. Dengan demikian Dunia Islam bisa dibangun sehingga mencapai puncak peradaban.

Itulah tujuan utama perayaan maulid, untuk membangkitkan kembali semangat keislaman yang sudah pudar, baik dalam beragama, bermuamalah termasuk berjihad menegakkan kalimat Allah. Saat ini pimpinan umat Islam tenggelam dalam gelimang materi, sehingga hilang semangat pengabdiannya, hilang semangat berkorbannya. Dalam melakukan aktivitas tidak lebih sebagai perdagangan biasa, persaingan dan permusihan mewanai pergaulan, sehingga kehidupan menjadi kering.

Saat ini aktivitas agama telah diperjual-belikan, pengabdian dan perjuang ditingalkan, karena itu walaupun pelaksanaan ritual agama sangat marak semarak, tetapi pelanggaran terhadap norma agama juga sangat norak, kemunkaran telah dianggap sesuatu yang lazim dan diterima. Kemerosotan moral secara kolektif ini yang membuat semangat untuk mengabdi kepada agama berkurang, sebaliknya semangat memperdagangkan agama semakin tinggi.

Padahal kalau mau melihat saat ini Islam sedang dalam ancaman besar, sebanding dengan ancaman Islam zaman Nabi, maka tidak lain kita mesti kembali pada semangat Nabi. Dengan memalui renungan maulid ini sudah selayaknya kita kembali pada ajaran dan spirit Nabi. Dunia Islam sedang menghadapi berbagai penjajahan seperti Irak dan Afganisatan. Saat ini Iran sedang alam ancaman kaum penjajah. Pusat dunia Islam  itu teah dihancurkan. Hal itu tidak bisa kita bertopang dagu.

Sebagaiman dicontohkan pimpinan NU betapa gigih membela kemerdekaan bangsa lain termasuk bangsa Palestina, bangsa Lebanon, bangsa Syiria, termasuk juga Iran. Sebab agresi militer yang kini mengena negara-negara Timur Tengah itu tidak menutup kemungkinan juga akan dilakukan terhadap Indonesaia. Kolonialisme tidak mengenal batas, mereka akan menyerang negara mana saja yang memiliki sumber kekayaan.

Sungguh sebuah perkembangan yang ironis, dunia yang memamerkan diri dengan deklarasi hak asasi manusia, serta berbagai konvensi kemanusiaan yang telah diratifikasi. Tetapi negara penganjur deklarasi itu justru paling kejam dan paling brutal dalam melakukan penjajahan dengan penuh penindasan terhadap bangsa lain dan umat manusia yang berada di Asia, Afrika dan Latin.

Kehadiran Nabi Muhammad adalah untuk menegakkan moralitas berupa kebenaran dan keadilan. Dengan spirit iman kekuatan besar kedloliman bisa ditaklukkan. Intinya karena di sana ada semangat pengabdian, bukan semangat perdagangan, karena itu ada semangat perjuangan. Semangat juang itulah yang membuat mereka rela berkorban untuk membela kebenaran dan keadilan untuk semua manusia agar dunia berjaan damai. Kalaupun terpaksa ada perang, tidak lain untuk mengusir pembuat onar untuk mempertahankan perdamaian. Itulah arti keislaman. (Abdul Mun’im DZ)