Risalah Redaksi

Memperkuat Peran Internasional NU

Selasa, 29 Juli 2008 | 08:42 WIB

Posisi NU sebagai Islam ahlussunnah wal jamaah yang berperspektif kebangsaan yang menghargai lokalitas, pluralitas dan kedaulatan nasional, telah menjadi kekuatan politik dan budaya tersendiri di republik ini. Dengan sikap itu NU berada dalam posisi tengah, di satu sisi sebagai kekuatan Islam, di sisi lain juga berdiri sebagai kekuatan kelompok kebangsaan. Dua kelompok yang selama ini berhadapan dan bertentangan terintegrasi dalam diri NU.

Sebagai organisasi yang tumbuh dalam budaya Nusantara NU memiliki falsafah kebudayaan memayu hayuning bawono (menjaga keseimbangan dunia) yang dalam bahasa Al-Qur’an-nya rahmatan lil alamin (rahmat untuk seluruh alam).<>

Falsafah ini yang menggerakkan aktivitas Nahdliyin walaupun organisasi ini dianggap local dan tradisional sejak awal memiliki perhatian internasional. Bahkan organisasi ini berawal dari Komite Hejaz yang berjuang keras untuk menciptakan kerukunan di Saudi Arabia agar semua mazhab Islam diberi kesempatan bersama dalam mengkelola tempat suci umat Islam itu.

Usul itu diterima oleh Raja Saudi, sehingga di jantung kota suci itu kehidupan beragama kembali damai, tidak lagi ada pengejaran dan pembantaian mazhab lain yang dilakukan aliran Wahabi. Ini salah satu peran internasional NU, karena itu organisa ini menggunakan simbol jagat dengan arti memiliki visi kesejagatan sejak awal berdirinya.

NU menampilkan keislaman berdasarkan pemahaman yang mendalam, sehingga melahirkan tingkat toleran yang tinggi tanpa harus meninggalkan prinsip pokok yang tidak bisa ditawar. Di situ NU mampu mengapresiasi paham kebangsaan, sehingga melahirkan kebangsaan religius dan sekaligus berwawasan internasional, sebagai kebangsaan yang lebih dinamis dan terbuka. Dengan posisi seperti itu NU selalu bisa menjadi kekuatan penyeimbang setiap terjadi keteganagan antara Islam garis keras dengan kelompok nasionalis.

Sebagai kelompok penyeimbang itu dengan sendirinya secara nasional NU memiliki peran penting untuk menjaga keseimbangan hidup bersama di negeri yang secara etnis, agama, budaya sangat majemuk. Sejak dulu hingga sekatang siapapun yang menghadapi persoalan sosial politik selalu mengajak bicara NU untuk turut menyelesaikannya. Dengan keislamannya yang mendalam karena dipimpin oleh para ulama kharismatik yang berwibawa, maka kekuatan Islam selalu menghormati pendangan keagamaan NU. Demikian juga dengan kesetiaannya yanag luar biasa pada Negara kestuan ini, siapapun akan percaya yang disarankan NU untuk menyelamatkan bangsa dan negara.

Peran NU dalam menyerukan keseimbangan hidup itu ternyata didengar juga oleh dunia internasional, sejak NU dipimpin Abdurrahman Wahid, Hingga Hasyim Muzadi banyak diminta sumbangannnya dalam menyelesaikan berbagai persoalan politik di berbagai belahan dunia. Mulai dari Palestina, konflik Lebanon, Afghanistan, hingga Filipina dan Thailand Selatan. Bahkan peran itu telah dilakukan sejak awal NU berdiri, peran NU dalam mendorong kemerdekaan dan pembangunan bangsa-bangsa Asia dan Afrika juga sangat besar.

Peran yang pernah dirintis KH. Ahmad Sjauchu dengan Konfrensi Islam Asia Afrika (KIAA) di tahun 1960-an itulah yang diorganisir kembali oleh KH Hasyim Muzadi dalam Konfrensi Ulama dan Cendekiawan Internasional (ICIS), guna meningkatkan kontribisi NU dalam memayu hayuning bawono (menciptakan ketertiban dunia), di tengah dunia yang dilanda krisis karena adanya atatanan yang tidak adil. Di sinilah kehadiran ICIS banyak mendapatkan sambutan dari kalangan internasional, termasuk dari lembaga-lembaga internasional, mulai dari OKI, Rabithah Alam Islami sampai PBB.

Problem besar yang dihadapi dalam penataan dunia baru ini adalah masih besarnya konflik yang terjadi di dunia Muslim. Hal dasar itu perlu diselesaikan terlebih dulu. Bila dunia Muslim telah bersatu baru memiliki kekuatan diplomasi yang beasar sehingga bisa dijadikan sarana untuk menata kembali tata dunia yang lebih adil, terutama bagi dunai muslim yang terjajah. Tugas ini memang berat dan melelahkan, tetapi ini sebuah tugas dan panggilan yang mesti dialksanakan, sebagai tanggung jawab keulamaaan pada bangsa dan kepadsa dunia. (Abdul Mun’im DZ)