Risalah Redaksi

Menangkap Potensi Turis Muslim dengan Wisata Halal

Sabtu, 28 April 2018 | 14:40 WIB

Menangkap Potensi Turis Muslim dengan Wisata Halal

Ilustrasi (via alarbaiya.net)

Tren menjalankan perjalanan wisata kini menjangkau seluruh dunia, termasuk umat Islam di berbagai kawasan. Dalam perspektif lokal, jika akhir pekan atau musim liburan panjang, maka kawasan-kawasan wisata di penjuru Indonesia selalu dipenuhi pengunjung. Bukan hanya wisatawan lokal, kunjungan wisata dari berbagai negara juga meningkat drastis. Kawasan Puncak di Cianjur Jawa Barat kini juga merupakan salah satu tujuan utama turis-turis dari jazirah Arab yang merindukan udara dingin dan segar mengingat tempat tinggal mereka yang panas dan bergurun. 

Meningkatnya jumlah turis dikarenakan semakin sejahteranya Muslim di berbagai negara dan juga semakin murahnya biaya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Wisata juga sudah menjadi industri yang dikelola dengan baik, yang dipromosikan dengan gencar untuk menarik minat calon pengunjung. Banyak faktor yang mendorong manusia untuk lebih rajin berpiknik dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

Dengan adanya kebutuhan menjalankan ibadah harian seperti shalat lima waktu, tempat-tempat wisata yang pengunjungnya Muslim sudah seharusnya menyediakan sarana yang memudahkan umat Islam menjalankan kewajibannya. Untuk memfasilitasi atau menarik konsumen wisata Muslim maka lahirlah beberapa istilah seperti wisata halal, wisata syariah, dan wisata religi. 

Wisata religi muncul dalam Perpres RI No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional. Pasal 14 ayat 1 pada aturan tersebut menjelaskan bahwa daya tarik wisata meliputi, wisata alam, budaya, dan hasil buatan manusia. Selanjutnya daya tarik wisata hasil buatan manusia dikembangkan dalam berbagai sub jenis atau kategori kegiatan wisata, satu darinya ialah wisata religi. Jenis wisata ini menekankan keindahan dan keunikan dari tempat-tempat yang memiliki nilai religius seperti masjid, makam suci, dan tempat lain yang terkait dengan nilai-nilai keagamaan.

Wisata syariah merupakan konsep yang dikembangkan dengan mempertimbangkan kesesuaian wisata tersebut dengan ketentuan syariah dalam Islam seperti hiburan yang tidak bertentangan dengan syariah, makanan halal, atau hal-hal lain menegaskan bahwa upaya untuk menyegarkan diri tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Belakangan, yang sedang menjadi tren global adalah wisata halal. Konsep ini muncul ketika banyak Muslim yang melancong ke luar negeri di mana mereka mengharapkan agar kebutuhan bertindak sebagai Muslim yang baik terpenuhi. Jadi wisata halal tidak identik dengan wisata religi yang mengunjungi masjid atau tempat-tempat suci. Wisata halal bisa mengunjungi obyek pantai, gunung, tempat buatan manusia, kuliner, atau yang lainnya tetapi memenuhi kebutuhan akan Muslim. Studi Crescent Rating di 130 negara tentang wisata halal menunjukan terdapat enam kebutuhan utama bagi Muslim saat berwisata yang meliputi 1) Makanan halal; 2) Fasilitas shalat; 3) Kamar mandi dengan air untuk wudhu; 4). Pelayanan saat bulan Ramadhan; 5) Pencantuman label non halal (jika ada makanan yang tidak halal), dan 6) Fasilitas rekreasi yang privat (tidak bercampur baur secara bebas).

Mengingat potensi pasar Muslim yang besar, banyak negara-negara dengan penduduk Muslimnya minoritas mengembangkan konsep wisata halal ini untuk menarik turis datang ke negerinya. Jepang, Taiwan, Korea, dan negara-negara lain yang menjadikan sektor wisata halal sebagai salah satu pendapatannya mengingat ada 1.6 Miliar penduduk Muslim di bumi ini. Upaya tersebut tidak sia-sia karena jutaan turis mengunjungi negara yang ramah dalam penyediaan fasilitas bagi mereka.

Malaysia merupakan negara dengan peringkat teratas terkait dengan penyediaan fasilitas halal sementara Indonesia hanya menduduki peringkat keenam. Pada 2015, provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menerima penghargaan World Halal Travel Awards karena dianggap telah memenuhi sejumlah kriteria wisata halal di tingkat dunia.

Indonesia merupakan negara dengan potensi wisata yang luar biasa, baik dari sektor wisata alam, budaya, atau bangunan buatan manusia. Sayangnya potensi tersebut belum dikembangkan dengan baik. Banyuwangi merupakan salah satu daerah yang bisa menjadi contoh bagaimana memaksimal potensi yang selama ini masih belum tergarap. 

Mengembangkan potensi wisata tidak harus dengan rumusan konvensional 3 S (sun, sea, and sex) yang mengorbankan nilai-nilai agama dan budaya demi meraih uang dari para turis yang mencari kesenangan. Wisata tak juga harus membiarkan perilaku liar dari turis, entah dari mana dengan menutup diri bahwa perilaku mereka jauh dari nilai-nilai masyarakat di sekitarnya. 

Wisata halal bisa menjadi strategi untuk mengembangkan sektor wisata yang memberikan keuntungan finansial tetapi dari sisi lain tetap menjaga nilai-nilai keislaman, bahkan turut menjaga ajaran Islam terlaksana bagi Muslim yang datang dari luar. Fasilitas tak harus dibangun dengan mewah, tetapi yang lebih penting lagi adalah kebersihan dan kemudahan aksesnya. Yang harus dipahami adalah soal khilafiyah dalam tata cara beribadah sesuai dengan mazhab di masing-masing negara. Tapi hal ini sekaligus dapat memperkaya pemahaman kita akan keragaman Islam. (Achmad Mukafi Niam)