Risalah Redaksi

Menegaskan Kembali Pancasila

Kamis, 12 April 2007 | 00:18 WIB

Belakangan ini ada kelompok yang dengan tanpa dasar mengatakan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara besar, seolah sekarang telah ada persiapan matang baik secara mental maupun teknis serta modal untuk melangkah ke sana. Dalam kenyataannya kita ini bukan menuju kejayaan, tetapi menuju kehancuran, sebab seluruh aset negara dimiliki asing, keutuhan wilayah NKRI digerogoti. Sebaliknya kalau Indonesia mau maju di tahun itu maka langkah strategis harus disiapkan, seperti membagangun karakter bangsa, menasionalisasi seluruh aset baik ekonomi maupun kultural, sehingga bangasa ini bisa mengatur dan merencanakan masa depannnya sendiri.

Dengan tegas NU mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final. Sikap itu kemudian diterjemahkan menjadi berbagai aktivitas yanag mengarah pada penguatan komitmen kebangsaan dan kerakyatan berdasarkan akidah ahlussunnah waljamaah. Persoalannya sekarang apakah sikap tersebut memadai dan apakah program yang dijalankan sudah menyentuh problem dasar keindonesiaan, sehingg penegasan itu bukan sekadar slogan atau klaim melainkan telah merupakan kesungguhan.

<>

Penegasan Keindonesiaan sebagai finalitas itu bukanlah sikap statis melainkan bentuk sikap aktif, sebab sikap itu sendiri lahir dari sebuah benturan ideologi, sehingga Pancasila dijadikan sebagai Ideologi penengah dalam negeri kesatuan ini. Karena itu bentuk negara dan ideologi negara merpakan amanat yang harus dibela dan dikembangkan.  Pada dasarnya keindonesiaan bukan merupakan suatu yang sekali jadi tetapi sesuatu yang terus menjadi dalam arti terus berproses. Persoalnnya dalam proses itu apakah keindonesiaan masih tetap eksis. Apakah Indonesia masih ada pada tahun 2030 mendatang. Ini bukan suatu pertanyaan, melainkan sebuah tugas dan tanggung jawab buat NU sebagai pemangku republik dan bangsa ini.

Ada kelompok yang melihat Indonesia sedang berkembang menuju kejayaan, terutama setelah reformasi dan demokrasi bergulir. Tetapi ada kelompok yang melihat Indonesia menuju kehancuran, ketika seluruh dasar keindonesiaan itu digerogoti oleh virus reformasi. Kelompok nasionalis, termasuk Islam nasionalis seperti NU berpandangan seperti ini. Maraknya gerakan sparatis sejak dari Aceh hingga Irian telah mengancam kesatuan republik ini. Bila ini terjadi secara geografis keindonesiaan akan tereduksi. Kemudian secara ideologi, sejak reformasi seolah orang tabu merujuk pada Pancasila sebagai deologi Nasional dan telah mengatikan dengan ideologi humanisme universil (DUHAM) yang menolak lokalitas. Demikian pula UUD 45 yang nasionalis dan populis diganti UUD 2000 yang elitis dan kapitalistik. Konstutusi ini tidak digali dari kebudayaan Indonesia, tetapi diramu dari berbagai hasil perjalanan luar negeri sehingga tidak mengakar, semerawut dan gado-gado, setiap lemen saling mendistorsi.

Secara kebudayaan bangsa ini juga mengalami kemuduran sebab kesadaran sejarah dan kebanggaan atas budaya sendiri semakin menipis. Akhirnya bangsa ini kehilangan harga diri dan kehilangan identitas, sehingga menjadi bangsa peniru, tidak hanya ska mengimpor beras, tetapi rajin mengimpor ide tanpa seleksi. Dengan budaya semacam itu maka terjadi sok asing sehingga seluruh sektor ekonomi dikuasasi asing. Dengan demikian bangsa in termasuk negara ketika telah menswastanisiasi sektor stretegis, maka negara tidak mempu mengendalikan ekonomi dan tidak hanya tidak mampu membiayai kesejahteraan rakyat, tetapi juga tidak mampu membiayai perasional pemerintahanan dan kebutuhan negara sendiri.

Saat ini semua sektor ekonomi negara dan sektor ekonomi rakyat, seperti industri rumah tangga, kaki lima, tukang cuci, tukang kopi, tukang sapu telah dikuasai asing. Lama kelamaan bangsa kita tidak hanya tidak bisa menjadi tuan di negeri sendiri tetapi juga tidak bisa menjadi kuli di negeri sendiri. Semua sektor mikro telah dikuasai asing, sehingga bangsa ini tidak memiliki basis ekonomi yang kuat. Karena sektor ekonomi merupakan basis material bagi penegmbangan kebudayaan dan membangun sebuah tatanan politik. Dengan tidak adanya modal ekonomi bangsa ini tidak mampu membangun  peradabannya sendiri.

Sektor sosial yang sedang mengalami pergeseran dari komunalisme ke individualisme itu membawa ketegangan, di satu sisi rasa tanggung jawab belum tumbuh di sisi lain egoisme telah jauh berkembang, maka yang terjadi disintegrasi sosial, sehingga muncul konflik sosial di mana-mana. Kebijakan otonomi daerah yang merupakan sublmasi dari pikiran federalisme itu semakin mempertajam disitegrasi sosial dan nasional. Pemerintah akhirnya tidak mampu mengendalikan politik di republik ini, langkah ke arah disitegrasi mengancam di depan mata.

Keadaan sosial ekonomi dan ideologi itu semakin parah ketika perahanan dari segi militer juga telah rapuh bahkan bobol. Pencuri ikan, penyelundup bahkan tentara asing dengan leluasa melangar kedaulatan negeri ini belalu tanpa mampu mencegah. Bahkan berbagai negeri gurem seperti Singapura, Malaysia, Brunai, Timtim yang dulu takut pada Indonesia kini mempermainkan Indonesia semnara aparat keamanan tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak mampu beli senjata.

Bila proses itu dibiarkan terus Indonesia akan hilang paling tidak secara geografis, kalau tidak begitu minimal secara ideologis atau hilang secara kultural, ketika telah kehilangan identitas. Padahal bila identitas diri bangsa telah hilang akan hilang seluruh aset bangsa baik yang bersifat fisik maupun rohani. Maka di situlah stretegi kebudyaan harus dirumuskan agar Indonesia tetap ada dan utuh baik secara geografis, ideologis dan kultural. Untuk mencapai Indoinesia masa depan tidak bisa menngu dengan bertopang dagu, sebab bisa jadi Indonesia telah lenyap, karena itu harus berjibaku agar Indonesia tetap ada bahkan lebih maju dengan identitas dan ideologi sendiri.

Langkah itu memang tidak mudah, selama ini kita telah terbiasa berpikir dan bersikap instan. Semua keperlan telah ada dipasar ide tinggal membeli dan memakai. Padahal untuk memangun keindonesiaan yang mandiri dan bermartabat pertama perlu kesabaran untuk menggali sejarah, kedua perlu menggali kebudayaan sendiri, ketiga harus mampu  menemukan teori dan tema gerakan sendiri. Keempat dituntut untuk mampu menggali dana sendiri.

Semuanya itu buisa berhasil kalau kita bisa mensiasati kalau tidak bisa membendung gelombang globalisasi yang berisi pasar bebas, yang tidak lebih merupakan erluasan kapital. Penjarahan internsional terjadi, seperti yang terjadi di negeri ini, sehingga rakyat tida bisa makan, tidak bisa sekolah, tidak bersawah tidak berumah. Sementara negara yang mampu mensiasati globalisasi dengan strategi pasar  bebasnya, itu seperti Cina,Venezuela, Iran dan sebagainya mampu menjadi negeri yang maju secara ekonomi, politik dan peradaban.

Tentunya Indonesia mesti punya strategi sendiri yang khas Indonesia yang berakar pada budaya sendiri sehingga strategi itu bisa dipahami rakyat, sehingga didukung oleh rakyat. Hanya ideologi yang didukung rakyat yang bisa hidup dan berkembang serta berdaya guna. Di situlah perlu terus menggali sejarah da kebudayaan sendiri, karena itu perlu terus menggali, menjabarkan dan mepromosikan Pancasila tanpa henti, sebagai simber nilai dan landasan ideologi. Hanya dengan cara ini penegasan NU itu memiliki arti. (Abdul Mun’im DZ)