Badan otonom dan lembaga merupakan perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang menjalankan program-program organisasi. Posisi ini sangat penting karena di tangan merekalah keberadaan NJ sebagai organisasi massa Islam dinilai oleh masyarakat melalui kerja-kerja yang mereka lakukan. Posisi mereka seperti kementerian atau lembaga negara lainnya dalam struktur pemerintahan yang secara langsung menangani bidang garapan tertentu. Rapat Pleno PBNU 2019 yang berlangsung di Pesantren Al-Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat, 20-21 September, menjadi saksi laporan kinerja mereka setidaknya dalam masa khidmah kepengurusan kali ini.
Terdapat total 30 badan otonom dan lembaga yang menyampaikan laporan kepada jajaran syuriyah, tanfidziyah, mustasyar, dan a’wan PBNU. Dari laporan yang sudah disampaikan, PBNU mengapresiasi kerja-kerja yang sudah dilakukan terkait dengan sasaran, dampak, sampai dengan besarnya jumlah dana yang dialokasikan.
Kita harus bangga dengan kerja-kerja militan yang dilakukan oleh para pengurus badan otonom dan lembaga. NU bukanlah organisasi yang semua kebutuhannya mulai dari dana sampai dengan SDM-nya sudah tersedia seperti di pemerintahan. Tentu tidak mudah untuk menjalankan sebuah program karena rancangan kegiatan, pendanaan, dan pelaksanaannya semua harus dilakukan sendiri. Tapi demi sebuah perjuangan untuk memberdayakan masyarakat, hal-hal tersebut berhasil dilaksanakan.
Namun demikian, kita tidak boleh berpuas diri atas capaian tersebut. Masih banyak kerja-kerja besar yang perlu terus digarap. Tiga program utama NU sesuai dengan amanah hasil muktamar ke-33 di Jombang yaitu bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi perlu mendapatkan penanganan serius dan berkelanjutan mengingat masih besarnya masalah yang harus diselesaikan.
Kerja-kerja tak kenal lelah tersebut sudah selayaknya kita apresiasi. Dan yang tak kalah vitalnya bagaimana menilai kinerja secara terukur dan objektif. Hal ini akan memudahkan penilaian dari PBNU atau jajaran kepengurusan NU di setiap tingkatan terhadap capaian perangkat organisasinya. Kinerja dapat dibandingkan dengan perangkat organisasi NU lainnya, organisasi lain yang bergerak dalam sektor yang sama, atau dengan perbandingannya dengan kinerja masa lalu.
Ada banyak indikator yang bisa digunakan menilai keberhasilan. Balanced score card (BSC) yang kemudian didetailkan dalam bentuk key performance indicator (KPI) kini populer sebagai alat pengukur dan penilai kinerja organisasi. Model ini mengatasi kelemahan penilaian yang dulu berfokus pada indikator keuangan. Bentuk ini bisa diadopsi dengan melakukan penyesuaian sesuai kondisi yang ada di lingkungan NU karena BSC juga dapat dimanfaatkan untuk organisasi nirlaba. Model penilaian kinerja lain yang telah dikembangkan oleh para ahli manajemen juga bisa dipertimbangkan.
Terdapat empat indikator dalam BSC yang meliputi perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses internal, dan proses pembelajaran dan pertumbuhan. Di lingkungan badan otonom dan lembaga, masing-masing indikator memiliki tingkat prioritas yang berbeda karena sifat-sifat kerjanya yang berbeda. Di lembaga zakat NU, indikator capaian ZIS yang dikumpulkan dapat menjadi indikator penting, tetapi pada lembaga bantuan hukum NU, capaian kinerjanya tidak berdasarkan uang yang dikumpulkan atau disalurkan tetapi bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat.
Contoh lain, Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU untuk mengawal keberhasilan RUU Pesantren memiliki dampak sangat penting bagi eksistensi pesantren, tetapi susah untuk mengukurnya. Atau upaya Gerakan Pemuda Ansor-Banser dalam menjaga NKRI dari kelompok-kelompok yang ingin menggantikannya dengan sistem lain, tentu merupakan sesuatu yang sangat penting. Publik mengapresiasi langkah-langkah yang mereka lakukan, tetapi bagaimana mengukurnya? Hal-hal seperti ini susah dikuantifikasi dalam bentuk angka-angka.
Capaian kinerja tersebut, juga harus mempertimbangkan sektor yang sama atau secara horizontal. Misalnya, LAZISNU dalam satu tahun mampu meningkatkan perolehan dananya sebesar 50 persen, maka kinerjanya bisa dimaknai baik atau buruk. Kinerja dianggap baik jika rata-rata perolehan lembaga zakat lain hanya 30 persen atau di bawah 50 persen tetapi kinerja LAZISNU bisa buruk jika ternyata rata-rata perolehan ZIS dari lembaga zakat lain di atas 50 persen. Penilaian kinerja, juga perlu mempertimbangkan pendekatan vertikal, yaitu membandingkannya dengan kinerja di tahun-tahun sebelumnya. Pertumbuhan perolehan dana LAZISNU bisa baik atau buruk melalui pembandingan dengan capaian di tahun-tahun sebelumnya.
Dengan membuat panduan kinerja, maka kegiatan lembaga dan badan otonom NU menjadi lebih tertata dan terarah sesuai dengan visi misi organisasi. Kegiatan yang dilakukan tidak asal ada aktivitas sehingga potensi persinggungan penyelenggaraan program dengan lembaga lain yang akhirnya menimbulkan gesekan dan kesalahpahaman antarlembaga NU bisa diminimalisasi.
Dari penilaian yang terukur dan objektif ini, NU di berbagai tingkatan dapat menilai kinerja lembaga-lembaga yang menjadi perangkat kerjanya. NU ingin melayani masyarakat dan warga NU dengan baik, dan itu membutuhkan orang-orang terbaik yang memiliki kapasitas mengelola lembaga tersebut. Ini bukan soal menghalangi orang untuk mengabdi kepada NU, tetapi memberikan kesempatan terbaik kepada orang-orang yang memiliki kapasitas atau menempatkan orang pada posisi yang tepat karena semuanya sama-sama berniat mengabdikan diri kepada umat melalui NU.
Keberhasilan sebuah organisasi, salah satunya ditentukan oleh kemampuannya dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Juga melakukan perencanaan sampai dengan evaluasi. Perbaikan-perbaikan berkelanjutan yang dilakukan di lingkungan NU akan membuat potensi yang ada termanfaatkan secara maksimal serta kemampuan untuk terus beradaptasi dengan situasi terbaru yang terus berubah. (Achmad Mukafi Niam)