Padahal masyarakat dan penyelenggara negara baik pemerintah, parlemen maupun kejaksaan, serta aparat negara lainnya sekarang ini telah kehilangan semangat juang. Bahkan mereka kehilangan komitmen kebangsaan. Semuanya itu tercermin dalam aktivitas mereka, baik dalam bekerja, berpolitik atau aktivitas sosial lainnya hanya dijadikan sebagai sarana mencari kekayaan pribadi. Tidak peduli pada orang lain apalagi bangsa secara keseluruhan. Pengabdian telah dilecehkan sedemikian rupa, dengan ungkapan, “Hari gini masih mau mengabdi, ketinggalan jaman!”. Semua aktivitas seolah harus bisa dikonversi secara kekuasaan dan kekayaan. Ini baru dianggap rasional. Sedang selainnya dianggap kesia-siaan yang tidak masuk akal.<>
Demikian juga pada Hari Pahlawan diperingati sedemikian meluas, seolah masih ada orang yang ingin dan mau mempertahankan negeri ini dari penjajahan. Pahlawan masih dipuja dengan kata-kata, tetapi keteladanan pahlawan dilupakan sedemikian sirna. Kata perjuangana sesekali dikumandangkan, tetapi saat ini mereka telah takluk seluruhnya pada kehendak asing yang secara bertahap telah mengambil kedaulatan bangsa ini. Cara berpikir kaum intelektual telah dibelenggu hanya menjadi corong kepentingan modal asing. Perilaku para politisi telah menjadi boneka kepentingan kapital untuk memuluskan intervensi mereka dalam kekuasaan dengan memberikan dasar hukum serta legitimasi politik.
Dalam sebuah masyarakat yang tidak lagi mengenal pengabdian tidak mungkin di dalamnya terdapat semangat juang ataua perjuangan. Dengan demikian tidak mungkin ada kepahlawanan. Ucapan verbal tentang perjuangan dan kepahlawanan, justru digunakan untuk menutupi semangat pencarian kekayan pribadi. Kekayaan negara yang adalah kekayaan rakyat selain telah diserahkan pada pengusaha asing, sehingga rakyat dan bangsa sendiri miskin. Akhirnya negara hanya mampu utang untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Sementara kekayaan negara yang uang hutang itu dikorup padahal rakyat dan negara yang harus membayar utang tersebut. Bukan para koruptor.
Hutang dan kemiskinan negara telah mengakibatkan rakyat miskin, tetapi mengakibatkan segelinir kelompok elite menjadi kaya raya. Bayangkan di tengah rakyat yang menjerit akibat kesulitan ekonomi, para elit menaikkan gaji mereka. Ketika rakyat sedang kesulitan pangan mereka berbelanja rumah mewah dan mobil mewah. Memperjuangkan rakyat sudah tidak pernah ada, perjuangan pada diri sendiri menjadi tujuan utama. Di tengah bencana alam tidak sedikit justru orang saling berebut kekayaan hasil bencana.
Sementara para pahlawan itu hadir karena perjuangannya yang tidak mengenal pasrah dan juga pengabdiannya yang tidak mengenal batas. Tidak hanya harta dan tenaga yang mereka pertaruhkan, tetapi nyawa mereka pertaruhkan. Namun karena diniati sebagai pengabdian pada Tuhan, pada negeri pada sesama manusia, maka mereka tidak pernah menuntut jasa.
Justru para pejuang tidak pernah meneriakkan perjuangan, tetapi mereka terus mengabdi di tengah dunia pencitraan yang manipulatif. Mereka ini jauh dari popularitas, jauh dari liputan media, karena mereka menenggelamkan diri dalam berkarya, membela sesama manusia, membela bangsanya dan menegakkan martabat negaranya. Karena sudah saatnya semangat pengebdian dihidupkan kembali. Memang Islam mengajarkan pengabdian yang total atas seluruh usahanya, baik mengabdi kepada Allah maupun mengabdi pada kepentingan sesama manusia. Hanya dengan semangat pengabdian itu perjuangan bisa terjadi dan hanya dengan adanya semangat juang yang penuh pengorbanan itu kepahlawanan muncul. Ini yang dicontohkan para pahlawan kita di masa lalu. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Rahasia Mendidik Anak Seperti yang Diajarkan Rasulullah
4
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
5
Doa Istikharah agar Dapat Jodoh yang Terbaik
6
5 Masalah Bakal Dibahas Komisi Maudhu'iyah di Munas NU 2025, Berikut Alasannya
Terkini
Lihat Semua