Risalah Redaksi

Perlunya Strategi Kebudayaan Nasional

Kamis, 26 Juli 2007 | 05:43 WIB

Selama ini kita sering mebicarakan masalah keutuhan nasional, sejak dari masalah bobolnya benteng  ideologi yang merembet pada porak-porandanya sistem politik, yang menjalar pada degradasi sistem ekonomi nasional. Kali ini kita perlu menyinggung masah bobolnya estetika dan etika dalam bidang seni dan budaya. Peristiwa ini disambut gembira oleh kelompok liberal, tetapi sangat diprihatini oleh kelompok agama dan para aktivis kesenian sendiri.

Sejak masa reformasi berbagai produk kesenian Indonesia diwarnai dengan berbagai ekspos pornografi dan kekerasan, negara dan lembaga sensor tidak berdaya menghadapi kenyataan itu, dengan alasan bisnis mereka bisa berekspresi semaunya. Padahal ekspos semacam itu pertama-tama melangggar prinsip kesenian itu sendiri yaitu estetika. Dengan pornagrafi dan kekerasan estetika yang sublim didegradasi menjadi selera primitif,  selera rendahan, seolah manusia tidak pernah memperoleh kemajauan dalam olah citarasa.

<>

Produk yang dianggap mengabdi pada estetika itu pada dasarnya menafikan estetika, mereka itu hanya orang yang memiliki selera estetika rendah, dan malas berkreasi atau bereksperimentasi. Dengan sikap semacam itu lalu mengambil daya tarik yang paling gampang yaitu memperdagangkan dada dan paha wanita. Akhirnya estetika yang sublim yang perlu penghayatan, mendorong ke arah perenungan ditiadakan, karena para seniman sekarang tidak mampu menjangkau tingkat estetika itu. Kerakusan terhadap harta dan popularitas memperparah kondisi itu, mereka bekerja sedikit tapi ingin mendapat untung banyak, maka para pekerja seni juga dieksploitasi. Maka kesenian rendah ini juga dikerjakan secara kasar.

Kemalasan, kebebalan itu kemudian dilegitimasi dengan kebebasan, akhirnya bebas untuk bermalas-malasan, tidak berpikir, tidak merenung, dan tidak melakukan eksperimentasi. Akhirnya bebas melakukan pengawuran. Lihat karya yang dibuat tidak memiliki nalrar maupun logika, sekenanya. Seniman tidak bisa melihat dibalik kenyataan, kenyataan yanag sesungguhnyapun mereka tidak tahu, akhirnya  hanya mampu melihat kenyataan semu. Estetika yang dihayati menjaadi rendah, dari segi bahasa, aksi maupun ekspresinya. Ekpresi kesenian yang ada tidak hanya tidak etis secara budaya, tetapi juga tidak estetis secara kesenian.

Bagi bangsa ayanag beradap tentu kritik terhadap moralitas kesenian sangat diperlukan, demikian juga bagi bangsa yang beradap kritik terhadap estetika kesenian sangat penting untuk kemajuan dan ketinggian karya seni. Tetapi anehnya kelompok seniman liberal yang dangkal dana rendah penghayatan estetikanya dan rendah penghayatan moralnya menolak dengan tegas segala bentuk kritik dan pembatasan terhadap kesenian rendah itu. Mereka menganggap bahwa pembatasan berdasarkan moral dan kekuasaan dianggap menghambat kemajuan. Padahal yang menghambat kemajuan dan tingginya peradaban manusia adalah selera kesenian yang rendah, baik secara etis maupun estetis.

Mengingat kenyataan itu kalangan NU dengan tegas menolak segala bentuk pornaografi dan kekerasan. Bahkan dengan gigih Ketua Pusat Pemantau Media NU H Said Budairi telah mengidentifikasi kemereosotan tersebut, sehingga berusaaha keras melakukan kontrol dan pencegahan terhadap berbagai espos yang mengeksploitasi pornografi dan kekerasan. Maka aneh kalau di mlingkungan Nahdliyin ada yang mendukung  atau mebiarkan pornografi, dengan alasan kebebasan. Atau ada yang beralasan aneh yang dianggap menghambat perempuan untuk mengekspresikan keindahan tubuhnya. Bagi kalangan Muslim jelas bahwa di sana ada yang namanya ketentuan aurat, penolakan pornografi berlandaskan pada ketentuan fikih tentang aurat. Satu hal lagi yang menjadi landasan tantangan bahwa pornografi adalah merupakan sarana kapitalisme untuk memperluas akumulasi modal.

Mengingat kenyataan itu, maka seruan Ketua Umum PBNU untuk membentuk ”Front Nasional Pancasila” untuk menjaga keutuhan NKRI menjadi sangat strategis. Bangsa Indonesia dengan segenap sistem sosial-ekonomi, politik dan budayanya perlu diselamatkan, jangan sampai jatuh pada segelintir kelompok liberal yang ingin menyerahkan negeri ini pada imperialisme, dengan berdalih kebebasan, yakni kebebasan untuk menjual negara beserta aset dan sumberdaya manusianya.

Tidak mungkin suatu bangsa dibangun tanapa berlandaskan etika atau moral, hukum sendiri merupakan kristalisiasi dari nilai moral. Hukum tanpa moral ibarat bandan tanpa roh, akan kosong dan tidak hidup. Demikian juga moral atau etika akan bisa dipertinggi dan diperhalus dengan nilai-nilai estetis, di situlah etikat dalam kehidupan terbentuk, maka peradaban berjalan. Kelompok liberal yang tidak peduli moral, tidak peduli dengan agama, hanya memperjuangkan kebebasan untuk dirinya sendiri karena tidak punya tanggung jawab sosial. Itulah bedanaya dengan kelompok besar seperti NU dan komunitas agama lainnya yang peduli soal etika dan estetika, karena mereka adalah pembimbing bagi umat. Ini tugas profetik mereka membantuk masyarakat etis dan harmonis.

Di sinilah perlu dirumuskan strategi kebudayaan nasional agar negeri ini punya arah yang jelas dalam mengembangkan kebudayaannya, sehingga tidak terkatung-katung antar satu undang-undang dengan undang-undang yang lainnya, yang setiap saat diancam kaum liberal untuk diganti. Agar tidak setiap keinginan bisa diwujudkan, tanpa ada seleksi, tanpa ada kriteria dan pertimbangan yang matang. Negeri ini butuh arah yang jelas, strategi kebudayaan itu yang akan memberi arah  dari gerakan bangsa ini. (Abdul Mun’im DZ)