Ada dua Dimyati dari Bandung. Namanya sama persis yaitu Ahmad Dimyati sehingga harus ada nama belakang untuk membedakannya. Dua nama tersebut, yang satu berasal dari pesantren Sukamiskin dan yang kedua berasal dari pesantren Sirnamiskin.
Kedua Dimyati itu memiliki hubungan guru murid. KH Ahmad Dimyati Sirnamiskin merupakan santri dari KH Ahmad Dimyati Sukamiskin. Dari sisi usia memang KH Ahmad Dimyati Sirnamiskin lebih muda dari gurunya itu. Dua Dimyati ini patut dicatat karena sedikit banyak berhubungan dengan NU di Jawa Barat, khususnya Bandung.
KH Ahmad Dimyati Sukamiskin dikenal dengan Mama Gedong. Hal itu mengacu kepada rumahnya yang telah dibangun dengan dinding tembok. Keadaan rumah seperti itu menunjukkan status sosial dan kepemilikan harta kiai tersebut. Ia merupakan kiai keturunan bangsawan yang kaya, KH Muhammad Alqo yang mendirikan pesantren pada tahun pesantren tersebut pernah dibom Jepang pada tahun...
KH Ahmad Dimyati Sukamiskin adalah salah seorang pelopor ngalogat dalam bahasa Sunda. Santri-santrinya yang kemudian menjadi tokoh NU adalah KH Zainal Mustofa Tasikmalaya. Memang sepertinya ia tidak mewajibkan santri-santrinya untuk berorganisasi di NU, karena ada juga lulusannya yang aktif di Persis dan PSSI.
KH Ahmad Dimyati Sukamiskin meninggal dan dimakamkan di daerah Pacet, Bandung selatan, pada saat pelarian dari pengerjaran Belanda dan Jepang.
Sampai saat ini penulis belum menemukan apakah ia tercatat sebagai pengurus NU atau bukan. Namun, yang jelas ia pernah menjadi peserta Muktamar NU keempat di Semarang pada 1929. Ia juga pernah membela amaliyah warga NU ketika berdebat dengan A. Hasan dengan tema persoalan bid’ah.
Putra KH Ahmad Dimyati Sukamiskin, KH Ahmad Haedar yang merupakan aktivis NU sejak muda. Ia melakukan konsolidasi NU ke daerah-daerah dengan menggunakan sepada motot Harley Davidson. Namun sayang, ia meninggal pada usia muda.
Pesantren itu masih melanjutkan tradisi aktif di NU. Hal itu ditunjukkan oleh KH Imam Shonhaji yang pernah menjadi Rais Syuriyah PCNU Kota Bandung hingga wafatnya.
Sementara KH Ahmad Dimyati Sirnamiskin selain nyantri kepada KH Ahmad Dimyati Sukamiskin, ia juga pernah nyantri kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Selulus dari pesantren itu, ia mendapat tugas dari Kiai Hasyim untuk mengembangkan NU di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung.
Tugas itu ditunjukkan dengan sebuah surat yang langsung ditulis Kiai Hasyim untuk KH Ahmad Dimyati Sirnamiskin. Agak aneh memang, menurut salah seorang cucu KH Ahmad Dimyati Sirnamiskin, surat itu hanya bisa dibaca oleh KH Ahmad Dimyati Sirnamiskin sendiri dan hanya bisa dibaca dengan diterangi lampu cempor (teplok) baik siang maupun malam. (Abdullah Alawi)