Tokoh

KH Asmoeni Iskandar, Tokoh IPNU Angkatan 54

Senin, 26 Februari 2018 | 06:45 WIB

KH Asmoeni Iskandar, Tokoh IPNU Angkatan 54

Asmoeni Iskandar. (istimewa)

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) didirikan pada tanggal 24 Februari 1954. Mereka, yang menjadi generasi awal dalam proses berdirinya IPNU disebut juga sebagai tokoh angkatan ’54, mengacu pada tahun berdirinya organisasi pelajar NU itu.

Salah satu dari tokoh Angkatan ’54 tersebut, berasal dari Kediri, KH Asmoeni Iskandar. Nama Asmoeni Iskandar, pada awalnya kami temukan pada keterangan sebuah foto yang terdapat pada buku biografi Moh Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan (Caswiyono, dkk., 2009). Pada keterangan foto tersebut, Asmoeni Iskandar berdiri nomor dua dari sebelah kiri, diapit dua perwakilan dari Jombang dan Yogyakarta, M.S Cholil dan Moh Djamhari.

Berdasarkan keterangan pada foto tersebut, mulailah penulis melakukan penelusuran melalui wasilah media sosial ke beberapa aktivis IPNU Kediri. Kemudian, singkat cerita, penulis akhirnya mendapatkan sebuah kontak nomor ponsel milik salah satu kader PAC IPNU Gurah Kabupaten Kediri, Muhammad Irhason.

Dari penuturan Irhason, kemudian diketahui bahwa selama ini, sosok KH Asmoeni Iskandar sebagai salah satu pendiri IPNU di Kediri, dikenal kepada kader sebagai salah satu peserta Konferensi Lima Daerah di Surakarta pada tahun 1954.

“KH Asmoeni bin Iskandar bin Munsyarif, kita tahu beliau dari materi Lakmud. Kebetulan makam beliau di daerah saya, tepatnya di Pucang Anom. Setiap tanggal 9, kami dari PAC IPNU dan IPPNU Gurah mengadakan kegiatan ziarah ke makam beliau,” ungkap Irhason.

Dari Irhason pula, kami kemudian mendapatkan kontak Ibnu, salah satu putra KH Asmoeni Iskandar. Ibnu merupakan putra keempat sekaligus terakhir dari KH Asmoeni.

Pendiri PERPENO

Asmoeni Iskandar yang kelak mendirikan PERPENO (Persatoean Peladjar Nahdlatoel Oelama) di Kediri pada tanggal 5 Agustus 1933 di Dusun Pucanganom, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Asmoeni merupakan putra dari pasangan H. Iskandar Munsyarif dan Hj. Aminatun.

Masa remajanya, diisi dengan menempuh pendidikan formal Sekolah Rakyat, kemudian dilanjutkan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta menjadi santri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo Kediri.

“Saat mendirikan PERPENO tanggal 13 Juni 1953 beliau masih aktif sebagai santri di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Liboyo Kediri,” terang Ibnu.

Tak sampai setahun, PERPENO yang dirintisnya kemudian ikut melebur ke dalam IPNU, seiring dengan diresmikannya pendirian IPNU. Asmoeni pun kemudian ikut menjadi bagian dari pertemuan Konferensi Panca Daerah (Konferensi Segi Lima) pada 30 April-1 Mei 1954.

Pertemuan yang diikuti perwakilan dari lima daerah, yakni Yogyakarta, Solo, Semarang, Jombang, dan Kediri ini sebagai tindak lanjut setelah disahkannya pendirian IPNU tanggal 24 Februari 1954 pada Konferensi Nahdlatul Ulama Ma’arif di Semarang.

Selain Asmoeni Iskandar, beberapa tokoh perwakilan yang hadir dan kemudian dikenal sebagai Tokoh Angkatan ’54 yaitu Moh. Tolchah Mansoer, M. Djamhari AS, Ach. Alfatih AR (Yogyakarta), M. Shufyan Cholil, Sochib Bisri (Jombang), Mustahal Ahmad (Solo) dan Abdul Ghony Farida (Semarang), Abd Chaq, dan nama-nama lainnya.

Kepala Desa pejuang NU

Usai berjuang di IPNU, KH Asmoeni Iskandar tetap meneruskan perjuangannya di dunia pendidikan dan dakwah. Pada tahun 1961, ia mendirikan Madrasah Diniyah Salafiyah Syafi’yah, yang sekarang dikenal menjadi Madrasah Ibtida’iyah “Diponegoro” Pucanganom Sukorejo Gurah.

Kemudian, pada tahun 1967 ia bersama para Kyai dan tokoh NU lainnya se-Kecamatan Gurah mendirikan Yayasan Pendidikan “Sunan Gunung Jati” Gurah Kediri. Lembaga ini terus berkembang pesat, yang pada awalnya hanya lembaga Pendidikan Guru Agama, sekarang menjadi 3 lembaga pendidikan Madrasah Dinyah, Madrasah Tsnawiyah, dan Madrasah Aliyah.

Di tahun yang sama, KH Asmoeni Iskandar diberikan kepercayaan dan tugas oleh KH Machrus Aly Lirboyo Kediri untuk berjuang dan mengabdi di masyarakat menjadi Kepala Desa Sukorejo Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri. Ia pun dipercaya masyarakat untuk memimpin bahkan hingga 20 tahun lebihm (1967-1990).

Yang menarik, jabatan kepala desa yang ia emban, tak menyurutkan langkahnya dalam berjuang bersama NU. Tercatat ia pernah aktif di NU, mulai dari tingkatan ranting hingga cabang.

“Kami sebagai putra beliau sangat bangga atas perjuangannya dalam masyarakat danterutama perjuangan beliau dalam kepengurusan NU. Apalagi pada masa Orde Baru, di mana seorang kepala desa dalam tanda kutip tidak boleh aktif dalam organisasi NU, akan tetapi beliau tetap gigih dalam mengabdi di organisasi NahdlatulUlama,” tutur Ibnu.

KH Asmoeni Iskandar wafat di usia 72, pada Kamis, 9 Desember 2004, pukul 15.00 WIB. Jenazah salah satu tokoh perintis IPNU tersebut dimakamkan di Kompleks Pemakaman Dusun Mantren Desa Tengger Kidul Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.

KH Asmoeni Iskandar dan para pendiri IPNU telah memberikan sebuah kontribusi penting, dengan mendirikan sebuah organisasi pelajar NU, yang keberadaan dan manfaatnya masih bisa kita saksikan dan rasakan hingga saat ini. Lahumu al-fatihah! (Ajie Najmuddin)

Sumber:
1. Wawancara Ibnu (putra KH Asmuni Iskandar), Selasa (20/2/2018)
2. Wawancara M Irhason (Aktivis IPNU PAC Gurah Kediri), Senin (12/2/2018)
3. Caswiyono, dkk, "KH Moh Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan", Pustaka Pesantren (2009).