KH Zubair Umar, Tokoh NU Jateng, Ahli Falak, Pendiri IAIN Salatiga
Jumat, 1 November 2024 | 10:00 WIB
Ajie Najmuddin
Kolomnis
Secara struktur organisasi, perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Tengah kerap mengalami beberapa perubahan, menyesuaikan dengan kondisi saat itu. Di era awal NU berdiri misalnya, belum terdapat istilah Pengurus Wilayah seperti saat ini. Sebab, baru ada beberapa cabang saja yang berdiri yang langsung terhubung dengan Pengurus Besar.
Pada tahun 1939 dan berubah lagi di masa kependudukan Jepang, dibentuk Majelis Konsul. Majelis Konsul ini pada awalnya hanya setingkat Karesidenan yang kemudian setelah Indonesia merdeka, naik setingkat Provinsi. Di Jawa Tengah, pada periode awal (1953-1955) terbentuk Majelis Konsul NU, terpilih sebagai Rais Syuriah yakni KH Zubair Umar.
Data pertama yang saya temukan dari buku Ringkasan Riwayat Hidup Anggota DPRD-I Hasil Pemilu Tahun 1977 Daerah Tingkat I Jawa Tengah, yang memuat biodata KH Zubair. Tertulis di dalam biodata tersebut Kyai Haji Zubair, dengan tempat tanggal lahir: Bojonegoro, 16 September 1908.
Kemudian juga dijelaskan riwayat pendidikan Kiai Zubair, mulai dari Pesantren Tremas di Pacitan selama empat tahun (1921-1925) di bawah asuhan KH Dimyathi Abdullah, Pesantren Simbang Kulon Kabupaten Pekalongan yang diasuh KH Amir Idris pada tahun 1925-1926, Tebuireng Jombang dan berguru kurang lebih selama tiga tahun (1926-1929) pada KH Hasyim Asy'ari. Selama dalam proses belajar di Pesantren Tebuireng, ilmu falak ternyata menjadi ilmu favorit beliau.
Tidak lama kemudian beliau bersama sang istri dikirim oleh ayah mertuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke Makkah al-Mukarramah dan berguru kepada beberapa ulama terkenal pada tahun 1935. Dalam catatan Ahmad Baso, harapan Kiai Zubair untuk mendalami ilmu falak di Kota Suci Makkah ternyata kandas. Sejumlah ulama yang menguji beliau dalam ilmu ini ternyata kualitasnya masih di bawah beliau. Akhirnya merekalah justru yang belajar kepada Kiai Zubair Umar.
Hal serupa juga beliau temui waktu menuntut ilmu di Kota Suci Madinah tidak juga mendapatkan seorang ulama falak yang diharapkan. Beliau disarankan untuk pergi mencari ulama dimaksud ke Damaskus, Siria, dan ke Palestina, namun hasilnya tetap sama. Di sana ada yang menyarankan beliau berguru ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, di mana ada seorang ulama falak yang mumpuni. Waktu itu rektornya dipegang oleh Syekh Musthafa al-Maraghi.
Di Al-Azhar, Kiai Zubair bertemu dengan Syekh Umar Hamdan al-Mahrasi (wafat 1949), seorang ulama multitalenta yang punya banyak murid baik di Makkah maupun di Kairo yang kemudian menjadi ulama kenamaan di Indonesia. Keahlian beliau dalam ilmu falak kemudian diakui oleh para ulama Al-Azhar, sehingga beliau diangkat sebagai dosen ilmu falak selama tahun 1931-1935.
Di tempat terakhirnya menimba ilmu inilah, KH Zubair sekaligus menjadi pengajar pada bidang studi falak serta menuliskan buah pemikirannya berbentuk kitab klasik bernama Al Khulashotul Wafiyah. Selama mengajar para mahasiswa Al-Azhar, Kiai Zubair Umar tidak menggunakan buku rujukan atau maraji yang wajib dibaca mahasiswa. Oleh karena itu para mahasiswa tekun dan rajin mencatat ceramah-ceramah beliau dalam kelas. Catatan-catatan tersebut beliau kumpulkan lalu dibawa ke Indonesia, yang ternyata memperkaya konsep buku yang sedang beliau tulis.
Baca Juga
KH Chalid Mawardi Ulama Diplomat
Kitab inilah yang dijadikan buku acuan dalam bidang astronomi oleh para ulama baik di tanah air maupun di Timur Tengah untuk menentukan hisab/perhitungan awal dan akhir bulan Ramadhan dan bulan-bulan qomariyah lainnya.
Kitab ini dinilai sebagai salah satu kitab falak yang paling lengkap, sederhana dan terperinci di antara kitab-kitab falak lain seperti Matlaus Said, Tashilul Mitsasal, dan Durrul Matslub. Kitab karya KH Zubair Umar ini banyak digunakan di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Mesir dan Irak. Di Indonesia sendiri, kitab ini juga dikaji di pesantren dan dijadikan kitab rujukan ahli falak hingga saat ini.
Pendiri IAIN Salatiga
Dari Kairo, Kiai Zubair Umar kembali ke Indonesia di tahun 1935, dan menetap di rumah keluarga istrinya tepatnya ke sebuah desa bernama Reksosari, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang tempat tinggalnya bersama sang istri, Nyai Zainab dengan dibantu iparnya KH Zainuddin, KH Zubair mendirikan pesantren falak yang dalam waktu tak lama menjadi rujukan ribuan santri yang ingin mendalami ilmu astronomi.
Pada awal kemunculannya, IAIN Salatiga adalah sebuah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama (IKIPNU) yang menempati gedung perkuliahan milik Yayasan Pesantren Luhur di Jl Diponegoro Salatiga. Lembaga ini berdiri berkat dukungan dari berbagai pihak, khususnya para ulama dan Pengurus NU Jawa Tengah. Kemudian IKIPNU dinegerikan bersamaan dengan persiapan berdirinya IAIN Walisongo Jawa Tengah di Semarang. Guna memenuhi persyaratan formal, maka dibentuklah panitia pendiri yang diketuai oleh KH Zubair dan sekaligus diangkat sebagai dekannya.
Dalam waktu yang bersamaan dengan proses pendirian IAIN Walisongo Jawa Tengah di Semarang, Fakultas Tarbiyah Salatiga diusulkan untuk dinegerikan sebagai cabang IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah dilakukan peninjauan oleh Tim Peninjau yang dibentuk IAIN Sunan Kalijaga, akhirnya pembinaan dan pengawasan Fakultas Tarbiyah Salatiga diserahkan padanya.
Keputusan ini didasarkan pada Surat Menteri Agama c.q. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Nomor Dd/PTA/3/1364/69 tanggal 13 November 1969. Ketika IAIN Walisongo Jawa Tengah di Semarang berdiri, Fakultas Tarbiyah Salatiga mendapatkan status negeri dan menjadi cabang IAIN Walisongo. Penegerian Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo tersebut berdasarkan SK Menteri Agama Nomor 30 Tahun 1970 tanggal 16 April 1970. Kini institusi tersebut telah berubah menjadi salah satu Institusi besar bernama IAIN Salatiga dan menjadi rujukan belajar para mahasiswa dari berbagai daerah.
Kampus Terpadu IAIN Salatiga yang akan dibangun di lokasi Pembangunan Kampus 3 IAIN Salatiga yang cikal-bakal pendiriannya diprakarsai oleh KH Zubair Umar. Tak hanya itu, banyak lagi institusi-institusi pendidikan yang lahir dari prakarsa KH Zubair Umar dan tetap berkembang hingga saat ini seperti SD-SMP Al-Azhar Salatiga yang hingga saat ini berada di bawah naungan Yayasan Pesantren Luhur, MTsNU dan SMK Diponegoro yang berada di bawah naungan Yayasan Imarotul Masajid wal Madaris, serta MAN Salatiga yang berganti nama dari Pendidikan Guru Agama (PGA).
Pada tahun 1971 Kiai Zubair menerima hibah tanah dari pemerintah seluas enam hektar untuk pembangunan pesantren. Pesantren ini kemudian berdiri dengan nama Pondok Pesantren Joko Tingkir di tahun 1977, karena lokasinya yang kebetulan berada di Kecamatan Tingkir Lor, Salatiga. Namun, sepeninggal Kiai Zubair, Pesantren Joko Tingkir tidak lagi menggelar pengajian, dan kini hanya tinggal petilasan saja.
Selain sibuk menggelar beberapa pengajian di tengah masyarakat, Kiai Zubair juga pernah diminta mengajar di Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng Jombang meski tidak berlangsung lama karena sibuk mengurus pesantren dan tugas yang beliau emban di tengah masyarakat.
Tugas-tugas keilmuan dan kemasyarakatan ternyata sudah banyak menunggunya. Pertama sebagai penghulu pada Pengadilan Negeri Salatiga, tahun 1945-1947, penghulu Kabupaten Semarang di Salatiga tahun 1947-1951, Koordinator Urusan Agama Karesidenan Pati tahun 1954-1956, Ketua Mahkamah Islam Tinggi yang berkedudukan di Surakarta tahun 1962-1970, serta menjadi dosen lalu diangkat jadi Rektor IAIN Walisongo Semarang sejak 5 Mei 1970 hingga 1972.
Aktivitasnya di organisasi adalah menjadi Ketua PCNU Kabupaten Semarang tahun 1945, Ketua Masyumi Cabang Salatiga, komandan Barisan Kiai-Barisan Sabilillah Kabupaten Semarang di masa revolusi kemerdekaan mengusir penjajahan Belanda, Ketua Syuriah Partai Masyumi cabang Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga tahun 1946, Rais Syuriah Partai NU Cabang Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga tahun 1952-1956, Rais PWNU Jawa Tengah tahun 1956-1967, lalu anggota Syuriyah PBNU di era kepemimpinan Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah periode 1967-1971.
KH Zubair Umar juga pernah diminta selaku promotor oleh Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta (didirikan oleh PBNU di tahun 1958) untuk menganugerahkan gelar doktor kehormatan (honoris causa) kepada dua orang sarjana asal Universitas Al-Azhar Kairo pada tanggal 15 Desember 1968. Keduanya adalah Prof Dr Muadz dan Prof Dr Bashrawi. Ini mengingat reputasinya sebagai dosen yang pernah mengajar di kampus bergengsi di Mesir itu.
KH Zubair Umar al-Jailani wafat pada tanggal 10 Desember 1990/24 Jumadil Awal 1411 H dan dimakamkan di dalam komplek pemakaman Kauman, di belakang Masjid Raya Baitul Atiq. Selain Kiai Zubair, di kompleks makam tersebut juga dimakamkan beberapa putra KH Zubair, antara lain H Wail Haris Sugianto (tokoh PMII Surakarta) dan Cholid Narbuka (salah satu pendiri PMII). Lahumul fatihah
Ajie Najmuddin, peminat sejarah, penulis buku "Menyambut Satu Abad NU 'Sejarah dan Refleksi Perjuangan Nahdlatul Ulama Surakarta dan Sekitarnya"
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
2
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
3
Peran Generasi Muda NU Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di Tengah Konflik Global
4
Luhut Binsar Pandjaitan: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian Timur Tengah
5
OSN Jelang Peringatan 100 Tahun Al-Falah Ploso Digelar untuk Ingatkan Fondasi Pesantren dengan Tradisi Ngaji
6
Pengadilan Internasional Perintahkan Tangkap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas Kejahatan Kemanusiaan
Terkini
Lihat Semua