Pada tanggal 3-6 Maret 1954, Menteri Agama KH Masykur menyelenggarakan Konferensi Ulama di Cipanas, Bogor. Konferensi yang antara lain menelurkan keputusan pemberian status Waliyyul Amri Dlaruri bis Syaukah kepada Presiden Soekarno ini menjadi penting, sebab selain menjadi titik temu pembahasan persoalan wali hakim nikah, juga mempertegas sikap mayoritas umat untuk tidak mendukung tindakan makar DI/TII, yang hendak merongrong keutuhan bangsa.
Pertemuan itu dihadiri oleh para ulama yang amat berpengaruh, dari hampir seluruh provinsi kecuali Yogyakarta. Mereka di antaranya ialah: KH Abdurrahman Marasabessy (Maluku), KH Abdurrahman Ambo Dale (Pare-pare), KH Mahrus Ali (Kediri), KH Tubagus Ahmad Khatib (Banten), KH Zuber (Salatiga), KH Abu ‘Amar (Solo), dan lain-lain.
Dari beberapa nama tersebut, turut hadir satu nama ulama dari Kota Solo, yakni KH Abu ‘Amar. Dari data awal inilah, penulis kemudian mulai tertarik untuk mencari keterangan tentang tokoh yang juga disebutkan dalam Muktamar NU ke-X di Surakarta pada 13-19 April 1935 M / 10-15 Muharram 1354 H.
Pada awal pencarian data dengan menulis kata kunci di google, penulis sempat menemukan artikel berjudul Laporan penelitian dan penulisan biografi KH Abu Amar di Provinsi Jawa Tengah yang ditulis oleh Rosihan Anwar dan Chairul Fuad Yusuf. Tulisan tersebut dipublikasikan oleh Balitbang Departemen Agama tahun 1987. Sayangnya, ketika dikonfirmasi ke Balitbang Kemenag, tulisan tersebut tidak dapat ditemukan.
Proses pencarian data kemudian berlanjut dengan mengumpulkan sejumlah keterangan dari hasil wawancara dengan sejumlah narasumber, kemudian dari beberapa buku, dan yang terpenting, yakni sebuah arsip yang ditulis oleh salah satu putra beliau, KH M. Bilal.
Darah Pejuang
Kiai Abu ‘Amar, yang memiliki nama kecil Slamet Abdul Kholiq lahir di Desa Pengkol, Kaligawe, Pedan, Klaten. Ia merupakan keturunan dari para ulama pejuang. Ayahnya bernama Kiai Abdul Ghoniy bin Kiai Maulani bin Kiai Muqoyyad bin Kiai Muqdi (Mukowi) bin Kiai Fatuhuddin Makam Gumantar.
Kakek buyut Kiai Abu ‘Amar, Kiai Muqoyyad, merupakan seorang panglima perang yang ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) dan mendapatkan julukan Singawaspada. Di daerah Klaten, ia berjuang bersama Kiai Imam Rozi Singamanjat Tempursari Klaten. Kiai Muqoyyad yang memiliki senjata bernama “Kyai Royyan” gugur dan dimakamkan di Juwiring.
Sedari kecil, Abu ‘Amar mendapatkan pendidikan agama dari sang ayah, yang kemudian diperdalam dengan nyantri ke sejumlah pesantren, di antaranya Pondok Ngadirejo Klaten di hadapan Kiai Haji Ahmad. Kemudian, berpindah ke Pesantren Jenengan Sala yang diasuh Kiai Haji Fadil Katib Arum.
Sempat nyantri di Kediri Jawa Timur, selanjutnya ia belajar di Pesantren Jamsaren Solo yang kala itu diasuh Kyai Muhammad Idris. Kemudian pindah ke Yogyakarta mengaji kepada Kiai Haji Mudzakkir (ayah KH Kahar Mudzakkir) untuk menghafal Al-Quran.
Setelah dari Yogyakarta, ia kembali ke Pesantren Jamsaren, yang masih diasuh Kyai Idris, selain itu ia juga bersekolah di Madrasah Mambaul Ulum yang dipimpin oleh kepala sekolah Kiai Haji Bagus Ngarfah.
Sanad Keilmuan
Setelah melanglang buana, mengaji ilmu ke berbagai guru, ia pergi ke Makah untuk memperdalam ilmunya sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun, sebelumnya ia telah dinikahkan dengan salah satu putri Kiai Idris dan dikaruniai beberapa anak.
Saat berangkat ke Mekah, Kiai Abu ‘Amar sudah dikaruniai 3 orang anak (1. Belum sempat diberi nama, 2. Badrul Ma’ali / M. Hilal, dan 3. Ali Darokah)
Selama tiga tahun tinggal di Makkah, Kiai Abu Amar mengaji kepada Syaikh Nahrowi (ulama asal Banyumas, yang menjadi Mursyid Thariqah Syadziliyah dan Mufti di Haramain). Ada kemungkinan besar, pergantian nama Kiai Abu Amar, yang memiliki nama kecil Slamet Abdul Kholiq, tabarukan dari nama salah satu saudara Syaikh Nahrowi, yang juga bernama Abu ‘Amar.
Di Tanah Suci, selain berguru kepada Syaikh Nahrowi, ia juga belajar kepada Kiai Haji Mahfud, dan Syekh Abdulkarim Al-Bagistaniy.
Rupanya, setelah belajar di Makah pun, sekembalinya ke Indonesia, Kiai Haji Abu ‘Amar kembali diperintahkan Kiai Idris untuk mondok ke Watucongol Muntilan mengaji Bukhari Muslim kepada Kiai Abdurrahman bin Abdurrauf, dengan pesan langsung dari Kiai Idris: “aku durung tau ngaji kitab Bukhari Muslim, kowe ngajiya (Aku belum pernah mengaji kitab Bukhari Muslim, maka kajilah (kitab itu) !”
Perintah itu kemudian dilaksanakan Kiai Abu Amar, dengan mengaji di hadapan Kiai Abdurrahman dengan sistem sorogan, yang kemudian diberi ijazah sebagaimana biasa.
Dari beberapa riwayat atau sanad keilmuan yang telah ditempuh, dimulai dari KH Ahmad Ngadirejo Klaten, Kiai Idris, serta Syekh Nahrowi maka dapat dikatakan Kiai Abu Amar ini selain dikenal sebagai ulama yang alim khususnya di bidang tauhid (Saifuddin, 2013), juga merupakan penganut Thariqah Syadziliyyah.
Mertua Kiai Abu Amar, Kiai Idris juga dikenal sebagai seorang mursyid Thariqah Syadziliyah yang kemudian diturunkan kemursyidannya kepada Kiai Abdul Muid Tempursari Klaten, dilanjutkan kepada Kiai Ma’ruf Mangunwiyata pengasuh Pesantren Jenengan Solo.
Meski demikian, sampai tulisan ini dimuat, penulis belum bisa menemukan dari jalur mana, Kiai Abu Amar mengambil baiat thariqah.
Riwayat Perjuangan
Setelah banyak belajar di berbagai tempat, ia mulai menetap di rumah Jamsaren. Setiap harinya ia bekerja sebagai magang abdi dalem keraton, yang bertugas di Kepatihan untuk membaca Al-Quran dengan pakaian seragam berkain panjang, berbaju hitam, berkeris, berkepala ikat-ikatan.
Sembari mengajar, ia juga berdagang dengan membuka toko kitab yang dipelajarkan di Jamsaren, serta berbagai barang kebutuhan rumah tangga, seng bekas dari pabrik kayu bakar dan nila dari Tebuireng. Dari relasi ini pula, kemudian dibangun hubungan erat dengan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yang berlanjut hingga perjuangan bersama di Nahdlatul Ulama (NU).
Pada tahun 1923 Kiai Muhammad Idris wafat. Maka, pihak keraton meminta Kiai Abu Amar untuk menggantikannya sebagai wedana guru. Namun, karena merasa belum sanggup untuk mengembannya, tugas tersebut ditolak oleh Kiai Abu Amar. Posisi wedana guru kemudian diterima oleh KH Muhsan, dan selanjutnya diserahkan kepada Kiai Abdul Jalil (Raden Ngabehi Prajawiyata Al-Jamsari).
Namun, beberapa waktu kemudian, pihak keraton kembali memanggil KH Abu Amar untuk menjadi ulama Masjid Agung dan kemudian tugas tersebut diterimanya. Ia kemudian mendapat gelar Raden Ngabehi Darma Tenaya Abdi Dalem Matri, selanjutnya dinaikkan menjadi khatib diberi gelar Raden Ngabehi Darmadiputra Abdi Dalem Panewu.
Perjuangan hidupnya, memang lebih banyak tercurah pada bidang pendidikan. Di samping mengajar bagi penghafal Al-Quran di Keraton dan khutbah di Masjid Agung, ia juga bercocok tanam di kebun samping rumah dan di daerah Ngruki. Selain itu, ia juga mengajar tafsir Al-Quran di beberapa masjid, dan kitab Ihya Ulumuddin.
Di bidang organisasi kemasyarakatan, Kiai Abu Amar ikut menjadi pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Solo. Bersama sejumlah tokoh ulama, antara lain Kiai Masyhud Keprabon, Kiai Dimyati Al-Karim Mangkunegaran, Kiai Siradj Panularan, Kiai Raden Mohammad Adnan dan lain-lain. Pada tahun 1935, Kota Solo bahkan diberi kepercayaan untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Muktamar NU kesepuluh.
Hingga akhir hayatnya, dari 3 istri yang ia nikahi, Kiai Abu Amar dikaruniai 21 anak (10 laki-laki dan 11 perempuan). Kiai Abu Amar wafat pada Senin 3 Jumadilakhir 1385 H / 29 Agustus 1965 M dan dimakamkan di Makamhaji Pajang.
Sepeninggal Kiai Abu ‘Amar, estafet pengasuh Pesantren Jamsaren kemudian diserahkan kepada salah satu putranya, KH Ali Darokah (wafat 1997). Sedangkan salah satu putrinya yang bernama Nyai Hj Umul Kirom diperistri KH Abdussomad Nirbitan (salah satu tokoh NU Solo, sejak tahun 1930-an). Kiai Abdussomad bersama KH Imam Ghozali, dan KH As’ad inilah yang kemudian merintis berdirinya Madrasah Al-Islam Surakarta.
Hingga sekarang, Pesantren Jamsaren dan Madrasah Al-Islam, masih tetap eksis keberadaannya dan semoga menjadi jariyah bagi para pendahulunya. Lahumu al-fatihah!
Ajie Najmuddin, anggota LTN-NU Boyolali
Rujukan:
Muhammad, Bilal. Riwayat Hidup Bapak Kyai H Abu ‘Amar. Solo. tanpa tahun.
Saifuddin, Zuhri. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS. 2013.