Salah satu murid Kiai Masyhud, KH Saifuddin Zuhri, menyebutkan gurunya tersebut sebagai seorang ulama yang ahli di bidang ilmu nahwu. Saking cintanya ia pada ilmu Nahwu khususnya kitab Alfiah, membuat orang menyebutnya sebagai “Kiai Alfiah”.
Kiai Masyhud putra dari Kiai Qosim lahir di Solo pada tahun 1876 M (beberapa sumber menyebutkan tempat lahir di Bonang Lasem Rembang). Ia merupakan anak pertama dari 4 bersaudara.
Nama kecilnya yakni Mustahal, yang kemudian berganti menjadi Masyhud saat ia pergi haji dan belajar di Makah. Nama Mustahal ini pula yang kelak kemudian juga diberikan kepada salah satu putranya, Mustahal Ahmad.
Setelah banyak menimba ilmu agama di beberapa pesantren, di antaranya ia pernah nyantri kepada Kiai Kholil Bangkalan, Masyhud kemudian berangkat ke Makah.
“Mbah Masjhud ini pergi ke Mekkah, ulama seangkatan beliau KH Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri. Satu perguruan. Kalau Mbah Masyhud ini lebih memilih Nahwu Shorof, sehingga disebut ulama spesialisasi nahwu,” terang sang cucu, Chalid Mawardi.
Rupanya, kecintaan Kiai Kholil Bangkalan terhadap ilmu nahwu, khususnya bait-bait dari kitab Alfiyah ibnu Maliki, juga ikut menurun kepada Masyhud.
Selepas menimba ilmu di Makah, ia pun kembali ke Tanah Air. Ada sebuah kisah yang dituturkan salah satu cucu Kiai Masyhud, Nasirul Umam, di mana ketika Kiai Masyhud pulang dari Makah ia sempat mampir ke Pesantren Sarang.
“Di Sarang, Mbah Masyhud ninggali kitab, yang kemudian menjadi koleksi perpustakaan di sana,” terang Nasirul Umam.
Mendirikan Pesantren
Kiai Masyhud menikah dengan seorang perempuan asli Kauman Solo, dan kemudian mendirikan rumah di daerah Keprabon. Rumah tersebut kelak populer disebut dengan nama Pesantren Al-Masyhudiah, merujuk pada nama sang pengasuh.
Pada tahun 1912, Kiai Masyhud dikaruniai anak pertama, seorang putri yang kelak akan menjadi tokoh srikandi NU, Mahmudah Mawardi. Di tahun-tahun berikutnya, menyusul kemudian lahir 4 anak, yang kesemuanya putri. Mereka adalah Mahwiyah, Mahsunah, Mahdumah, dan Mahmulah. Hingga akhirnya, dari istri yang pertama ini total mereka dikaruniai 5 putri.
Setelah sang istri meninggal, Kiai Masyhud menikah dengan Nyai Syuaibah, yang dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai satu-satunya putra yang diberi nama Mustahal Ahmad. Tercatat, dalam riwayat hidupnya, Kiai Masyhud pernah menikah sebanyak 4 kali dan dikaruniai 6 anak.
Rumah Kiai Masyhud terletak di sebelah timur langgar Keprabon Wetan. Langgar tersebut, pada masa itu juga menjadi tempat tinggal (kos) sekitar 25 santri, termasuk di antaranya Saifuddin Zuhri muda. Selain menjadi tempat tinggal, langgar tersebut berfungsi sebagai tempat belajar. Mereka belajar bersama, berdiskusi, memusyawarahkan berbagai kebutuhan organisasi pelajar ataupun kebutuhan pribadi.
Sedangkan untuk memperdalam ilmu agama, khususnya dalam pelajaran ilmu Nahwu, para santri tersebut belajar kepada Kiai Masyhud. Para santri yang belajar kepada Kiai Masyhud berasal dari dalam Kota Solo maupun di sekitarnya. Adapun kitab yang dipakai sebagai pedoman adalah Alfiah Ibnu Malik, hingga Kiai Masyhud kadang disebut sebagai “Kiai Alfiah”.
Pada zaman itu, para santri, konon mereka yang hendak khataman kitab Alfiyah, rasanya belum afdol apabila belum sowan dan ditashih oleh Kiai Masjhud. “Ilmu yang ia ajarkan mendapat jaminan mutu,” tulis mantan Menteri Agama RI ini, dalam bukunya Berangkat dari Pesantren.
Santri yang pernah mengaji dengan beliau banyak yang kemudian menjadi tokoh, seperti KH Maimoen Zubaer, Mbah Liem, KH Mukhtar Rosjidi, dan lainnya.
Riwayat Perjuangan
Sejak kelahiran NU pada tahun 1926, beberapa ulama di Kota Solo menyatakan dukungannya kepada organisasi tersebut. Tak terkecuali Kiai Masyhud. Banyak faktor yang akhirnya membuat ia mantap memilih NU sebagai organisasi yang diikuti, selain tentunya ia merupakan murid Kiai Kholil Bangkalan serta sahabat karib Kiai Hasyim Asy’ari.
Sebagai seorang ulama, Kiai Masyhud dikenal memiliki pendirian yang tegas dan teguh terhadap agama. Tokoh NU yang juga mantan Ketua PP GP Ansor KH Chalid Mawardi, mengenang kakeknya sebagai pribadi yang memiliki sikap keras terhadap kaum penjajah.
“Cara pandang dia (Kiai Masyhud, pen) terhadap pemerintahan Belanda juga konservatif. Misalnya, ia melarang keturunannya untuk menjadi pegawai pemerintahan (Ambtenaar). Karena (Belanda) itu pemerintahan kafir, jadi sederhana sekali. Tidak mau tunduk kepada pemerintahan kafir,” tutur Chalid.
Sikap ini sejalan dengan kebijakan yang telah digariskan oleh organisasi yang ia ikuti, Nahdlatul Ulama (NU), yang kala itu mengambil sikap non-kooperatif terhadap Belanda.
Sikap antipati yang diperlihatkan NU ini dilakukan dalam bentuk simbolik, semisal mengharamkan anggotanya menyerupai (tasyabbuh) orang Belanda dalam hal berpakaian (memakai celana, dasi, topi, dan sepatu).
Pun ketika para kyai membentuk Barisan Kyai, yang ikut dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, Kiai Masyhud pun turut di dalamnya. Sifat pejuang serta komitmennya bersama NU ini kemudian menurun kepada putra-putrinya.
Putrinya yang pertama, Nyai Mahmudah Mawardi menjadi salah satu idola kaum perempuan NU, di mana ia pernah menjadi ketua umum Muslimat NU selama delapan periode (1950-1979). Kemudian, putranya Mustahal Ahmad menjadi tokoh pendiri IPNU, PMII, dan bahkan juga ikut membidani berdirinya IPPNU.
Di Pesantren Al-Masyhudiah ini pula yang pernah menjadi saksi lahirnya salah satu badan otonom di kalangan pelajar putri NU. Beberapa santri putri yang ikut mengaji di tempat tersebut, antara lain, Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Saimuri. Mereka inilah yang kelak menjadi para perintis berdirinya IPNU Puteri (sekarang bernama IPPNU).
Sayangnya, masa-masa kelahiran dan perkembangan IPPNU di Al-Masyhudiah pada tahun 1954 tersebut, tidak dapat disaksikan langsung oleh Kiai Masyhud, sebab sang kiai telah wafat empat tahun sebelumnya. Kiai Masyhud wafat pada tahun 1950 dan dimakamkan di Pemakaman Tipes Surakarta. (Ajie Najmuddin)
Sumber :
- Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Yogyakarta, LKiS, 2013)
- Wawancara dengan Nasirul Umam (cucu KH Masyhud/putra H Mustahal Ahmad) di Solo, 2014.
- Wawancara dengan KH Chalid Mawardi (cucu KH Masyhud/putra Nyai Hj Mahmudah Mawardi) di Jakarta, 2017.