Nama Kiai Tolchah Hasan sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia, lebih-lebih warga Malang, Jawa Timur. Ia masyhur sebagai sosok ulama yang aktif di dunia pergerakan dan dekat dengan masyarakat. Karirnya di Ansor pada tahun 1960-an membuat namanya populer di masyarakat sebagai seorang organisator yang ulung dan rajin. Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang pendidik yang sangat dihormati.
Ada kisah menarik datang kepada saya mengenai Kiai Tolchah Hasan sebagai seorang ulama yang juga pendidik ini. Cerita ini saya dapatkan dari seorang dosen Universitas Islam Malang (Unisma), kampus NU yang beliau dirikan bersama Kiai Masjkur dan Kiai Oesman Mansjur. Dosen yang bercerita kepada saya adalah Dr Masyhuri, salah seorang dosen penelitian di pascasarjana Unisma.
Ketika penulis sedang kuliah pascasarjana di Unisma pada tahun 2016 lalu, Dr Masyhuri mengatakan bahwa Kiai Tolchah sampai usianya yang ke-80 tahun masih merupakan sosok yang gemar membaca. Untuk mempersiapkan mengisi kuliah di Unisma (baik S-2 maupun S-3), beliau bisa menghabiskan berpuluh kitab atau buku sebagai bahan mengajar. Dari kitab-kitab itu Kiai Tolchah lalu membuat satu makalah. Dalam kebiasaannya, makalah tersebut digandakan sendiri oleh Kiai Tolchah untuk disebarkan kepada para mahasiswa yang ia beri kuliah.
“Kiai Tolchah itu setiap mau mengajar di kelas, malamnya harus membaca minimal 20 kitab,” tutur Masyhuri di hadapan para mahasiswa.
Setelah membaca berbagai referensi, Kiai Tolchah biasanya akan meminta kepada salah satu menantunya untuk membuat tayangan power point berdasarkan ringkasan konsep yang dibuatnya dalam tulisan tangan.
Penulis juga pernah mendengar dengan telinga penulis sendiri bahwa Kiai Tolchah telah membaca 10 kitab dan buku dalam satu malam untuk menyiapkan sebuah seminar bagi mahasiswa baru di Unisma.
“Makalah ini saya siapkan dalam satu malam, sampai jam satu malam tadi saya menyiapkan ini dengan 10 kitab sebagai referensi,” paparnya di hadapan sekitar 1000 mahasiswa baru Unisma.
Kiai Tolchah sebagai seorang kiai pesantren, ia juga selalu memberikan dorongan positif kepada para mahasiswa yang juga merupakan santri di pesantren. Beliau ingin mengangkat nama baik para santri dan pesantren agar tidak terpinggirkan.
Salah satu mahasiswa beliau di Unisma yang juga merupakan salah satu ustadz di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah, Mujiharto, turut memberikan testimoni tentang ini. Di dalam kelas perkuliahan suatu ketika Kiai Tolchah menyampaikan pesan, “Santri itu harus rajin membaca, menulis, dan penelitian,” kata pria yang akrab dipanggil pak Muji itu menirukan Kiai Tolchah.
Sekitar bulan April kemarin dalam sebuah kesempatan memberikan mauidhah hasanah di hadapan para wali santri Pondok Pesantren Al-Islahiyah Putri, Kiai Tolchah menyampaikan sebuah pesan yang menggetarkan hati para hadirin:
"Jika bulan depan saya masih diberi kesempatan hidup oleh Allah maka saya akan berumur 84 tahun," katanya perlahan tapi jelas sekali.
Entah itu isyarat atau bukan, pada bulan Mei ini bertepatan dengan minggu terakhir bulan Ramadhan beliau telah dipanggil oleh Sang Khaliq.
Demikianlah Kiai Tolchah Hasan, kiai dengan segenap kealiman; kiai dengan segenap kepiawaian dan kecakapan hidup. Tapi selama hidupnya sepi dari hiruk pikuk pembicaraan orang dan liputan media.
R Ahmad Nur Kholis, alumnus Program Pascasarjana Unisma Malang; kontributor NU Online