Tokoh

Mbah Idris, Pengawal Resolusi Jihad dari Wonosobo

Ahad, 18 Agustus 2013 | 02:02 WIB

Kiai Idris Kauman Wonosobo atau Mbah Idris lahir bertepatan dengan tanggal dan bulan serta tahun kelahiran Ratu Belanda Yuliana, 30 April 1909 M. Karenanya pada masa kolonial pernah mendapat hadiah dari pemerintah Belanda karena kesamaan dalam tanggal kelahiran Ratu Belanda.<>

Ia adalah seorang kiai yang menonjol dan sekaligus unik. Di samping lugas dalam berbicara, berani melawan yang dianggapnya tidak benar, juga mempunyai rasa yang sangat tresno terhadap umat. Dengan keteguhan jiwa orang yang menemukan dirinya sendiri, Mbah Idris menjadi sangat dihormati semua orang, dicintai santri-santrinya, disegani kawan-kawannya.

Sekalipun demikian kehidupan Mbah Idris adalah sangat sederhana. Kesederhanaan hidupnya menjadi contoh  bagi setiap orang yang kekurangan akibat terpaan dalam cobaan hidup. Dan bagi orang yang berada, Mbah Idris menjadi sosok lembaran yang harus ditiru dalam kezuhudan.

Kesederhanaannya tampak dalam kehidupan yang menempati sedikit ruangan untuk sekedar beristirahat dan menerima tamu. Walaupun secara materi, ekonomi Mbah Idris tergolong berkecukupan, bahkan tergolong kaya, namun lebih memilih hidup sederhana. Pakaian kesehariannya yang tampak dan lebih menyukai pakaian yang berwarna putih, mulai dari sarung, peci, dan serban yang sering dipakai merupakan bukti lain dari kebersahajaan dalam kehidupan.

Agaknya semua manifestasi lahiriah tersebut merupakan penyingkapan dari proses penyerbukan panjang benih-benih ruhaniah religius Mbah Idris. Sebagai hasil didikan dari Pesantren Tremas Pacitan tempat ia menimba Ilmu bertahun tahun di Tremas. Bahkan oleh sebagian kalangan ia dinobatkan sebagi orang yang telah menempati Maqom tertentu dalam kehidupan tasawwuf.

Bagi masyarakat Mbah Idris adalah magnet sekaligus semen perekat yang membuat kohesivitas sosial, dan benar-benar menjadi strum dalam kehidupan sosial. Dalam realitasnya, memang secara gemilang telah malahirkan kehidupan religious, dengan menjadikan Al-Qur`an, Hadits dan ijtihad “ulama sebagai motornya. Dalam etape pengabdiannya ia terlihat ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih dalam pengabdiannya.

Karena itu pantas jika banyak kalangan yang berebut mendatangi rumahnya, mulai rakyat biasa hingga para pejabat. Bahkan beberapa Menteri pada tahun 1970an sowan kepadanya untuk mencium jemari tangannya dengan meminta sekedar nasehat atas pemecahan atas berbagai belitan masalah yang melilit. Tatapan matanya yang teduh, raut muka yang teduh serta tutur katanya yang menyejukkan seakan membasuh pekarangan batin umat yang kerontang. Akhlak kekiaiannya untuk menyantuni segenap lapisan masyarakat yang tidak mampu tidak pernah lekang dalam ruas-ruas perjuangannya.

Mbah Idris adalah orang yang corak pemikirannya radikal, menggugat tatanan masyarakat dengan menawarkan perubahan total, memasuki pengembaraan spiritual, sehingga melahirkan paradigma baru untuk merubah kehidupan masyarakat. Aktifatas, ide, dan pemikirannya selalu berorientasi ke masa depan. Sehingga santri-santrinya digembleng sedemikian rupa dengan harapan, di kemudian hari nanti mampu berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang heterogen dan berbeda kondisi sosialnya.

Mbah Idris adalah tipe kiai yang tidak terlalu menyukai popularitas. Keengganan berpamer kepandaian dengan cara mengutip dalil dan sejumlah referensi Islam merupakan salah satu karakteristiknya. Bahkan dalam hal tertentu misalnya masalah fiqih ia kadang bertanya kepada kiai yang secara umur lebih muda darinya, atau ketika dimohon untuk memberikan do'a dalam sebuah acara terkadang ia malah menyuruh Kiai lain untuk memimpin do'a. Dalam memdedahkan pemikiran-pemikirannya, ia sangat jarang merujuk secara verbal dalil-dalil agama. Namun melalui proses perjumpaan dengan realitas-realitas sosial yang konkrit dan berangkat dari pemahaman agama.

Syahdan, pada September 1945 ia menghadiri pertemuan para ulama atas prakarsa Hadratussy Syekh KH M. Hasyim Asy’ari di daerah Kawatan Surabaya dan merumuskan “Resolusi Jihad”. Ia lalu masuk dalam barisan Hizbullah dan Laskar Ketentaraan hingga berpangkat Mayor, namun setelah kondisi aman ia meletakkan jabatan itu dan memilih lahan perjuangan memberdayakan masyarakat.

Sebagai konsekuensinya ia terlibat dalam berbagai front seperti pertempuran Ambarawa, 10 November 1945, perebutan Jogjakarta dari kekuasaan Belanda dan sejumlah pertempuran lainnya. Keberaniannya pada tahun 1948 menggalang solidaritas untuk Muslim Palestina dari warga Nahdliyin dengan bentuk dukungan moril dan dana.

Awal tahun 1960-an ia membuka madrasah-madrasah di lingkungan warga nahdliyyin yang saat itu belum lazim dengan pendidikan formal, disebabkan cara pandang terhadap pendidikan formal dan kondisi ekonomi yang sangat tidak memungkinkan. Kontroversi di masyarakat kemudian muncul bahkan nyaris membawa penyudutan dalam dirinya.

Namun semua itu bisa dilalui. Boleh saja kita berpikiran bahwa dalam pemikiran Mbah Idris, biarlah masyarakat yang berasumsi beraneka ragam sekalipun asumsi itu menyudutkannya, dan pada saatnya mereka akan mengetahui. Dengan bahasa agamanya bicaralah kepada manusia dengan kadar kemampuan nalar mereka. Menjadi ikon untuk memaklumkan masyarakat yang tidak sekehendak dengan  beliau.

Dalam hal ijtihad politik, semula ia berafiliasi dengan partai yang berbasis massa Islam, berbalik dengan mendukung partai yang dipimpin oleh negara. Akibat dari sikap politiknya ini pada awalnya mendapat kritikan yang tajam dari berbagai kalangan utamanya justru para Kiai yang tidak sama dalam pandangan politiknya.

Jika dipandang dari sudut politik sekitar awal dicanangkannya Khittah NU 1926 di kalangan Kiai NU, sikap Mbah Idris cukuplah unik namun dalam pengamatan yang lebih jauh, mungkin adalah sebagai suatu strategi yang ampuh dan jitu untuk membangun umat Islam tidak hanya dengan ukuran politik secara praktis namun justru dengan high politik untuk mencapai hasil yang maksimal. Alhasil apa yang dilakukan Mbah Idris pada gilirannya justru menjadi batu loncatan untuk berpolitik yang sesuai dengan tujuan Islam yaitu untuk kesejahteraan untuk umat manusia.

Mbah Idris merintis Pengajian Seton. Penyelenggaran pengajian ini, erat dengan syiar Islam di kota Wonosobo. Keberadaan Masjid sebagai salah satu elemen utama masyarakat juga menjadi bagian dari pengajian yang selanjutnya kegiatan ini berlangsung.

Pada tahun 1961 Kiai Idris bersam KH.Masykur dan KH.Muntaha merintas pengajian Setiap hari Sabtu yang dikenal dengan pengajian Seton. Awalnya adalah untuk membendung gerakan partai Komunis yang melalui memprofokasi masyarakat dengan propagandanya. Pengajian ini terbukti efektif hingga saat ini masih tetap dihadiri ribuan masyarakat setiap hari sabtu.

Disamping sebagai sarana komunikasi, pengajian ini juga dimaksudkan sebagai sarana penguat ajaran Islam ‘ala ahlussunah wal jama’ah, semakin tahun pengaian ini samakin banyak jamaahnya. Karena sistem yang digunakan sangat menarik minat masyarakat, yaitu  dengan menggabungkan sistem pesantren dan pengahian umum.

Mbah Idris memasuki kawasan substansi dari ajaran Islam, sebagai model untuk mengaktualisasikan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. Secara paradigmatik cara pandang sebagaimana di atas mungkin salah, bahkan tidak melalui genre yang benar. Namun catatan itu setidaknya patut diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap beliau, Kiai Idris. (Ahmad Muzan*/Red:Anam)

 

*Direktur AP Fatanugraha dan Islamic Homeshooling Fatanugraha, Wonosobo