Tokoh HAUL KE-2 KH ALI MUSTAFA

Mengenal Lebih Dekat Kiai Ali Mustafa Yaqub

Sabtu, 7 April 2018 | 19:00 WIB

Kiai Ali Mustafa Yaqub merupakan sosok ulama ternama yang meninggal dua tahun lalu. Kiprah beliau untuk umat islam, khususnya di Indonesia sangatlah besar. Dalam bidang keilmuan pun tak dapat diragukan lagi, hadis adalah nafasnya, hingga beliau dikenal dengan kedalaman ilmu haditsnya.

Pada bagian sebelumnya telah diceritakan kelahiran, masa kecil, hingga remajanya. Kali ini kita ikuti proses pendidikan, karya, sampai proses kewafatannya.

Pendidikan Pesantren, dari Seblak ke Tebuireng
Hampir ketujuh anak Kiai Yaqub nyantri di pesantren Tebu Ireng, Jombang. Dari tujuh anaknya hanya dua yang tidak nyantri, Lin Maryni, anak kedua karena memang telah wafat pada umur tujuh tahun, dan Sri Mukti yang mengenyam pendidikan hanya sampai SD saja.

Pendidikan Kiai Ali Mustafa meliputi Pesantren Seblak, Tebuireng, IKAHA, S1 dan S2 di Saudi Arabia, S3 di Universitas Nizamia Hyderabad India.

Pesantren Salafiyah Syafiiyah Seblak adalah tempat awal beliau nyantri, meski ketika SMP beliau pernah nyantri juga, ibaratkan ketika itu hanya santri kalong. 

Pesantren Seblak terletak di dusun Seblak, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Perlu diketahui pula bahwa pesantren ini adalah perkembangan dari Pesantren Tebuireng. Sebab beliau memilih Seblak karena kakanya, Ali Jufri, waktu itu masih nyantri sekaligus kuliah di IKAHA (Insitut Keislaman Hasyim Asy’ari), tepatnya pada tahun 1966. Pasca selesainya Ali Jufri kuliah di IKAHA, Ali Mustafa benar-benar harus hidup mandiri di pondok.

Selama di Seblak, Ali Mustafa muda banyak belajar dari Kiai Muhsin Jalaluddin Zuhdi, wakil pengasuh pesantren Seblak. Petuah kiai Muhsin yang sangat terpatri dalam diri Ali Mustafa muda adalah, “Jadilah kamu orang yang dibutuhkan oleh orang lain, janga jadi orang yang membutuhkan orang lain.” Dengan pesan ini beliau berusaha menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang lain dan tidak merepotkan orang lain.

Banyak hal yang diperoleh Ali Mustafa muda saat nyantri di Seblak, di antaranya adalah ilmu alat, fikih, hadis, dan ilmu lainnya. Kenangan ini banyak ia ceritakan pada santrinya.

Setelah selesai di Seblak, Ali Mustafa tak langsung pulang, namun melanjutkan nyantri ke pesantren Tebuireng, Jombang. Di sana beliau menempuh Madrasah Aliyah Syafiiyah Tebuireng selama tiga tahun, mulai dari tahun 1969 hingga 1972. 
Tidak hanya mondok, beliau pun melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng mulai dari dari 1972-1975. Selain kuliah, beliau pun menekuni kitab-kitab kuning di bawah bimbingan kiai sepuh..

Selama di Tebuireng ini Ali Mustafa banyak bertemu dengan kiai-kiai hebat dan kharismatik, serta belajar pada mereka. Di antara ulama-ulama hebat ini adalah, Kiai Idris Kamali, Kiai Adhlan Ali, Kiai Shobari, Kiai Sansuri Badawi, dan Kiai Syuhada Syarif. Dan di antara mereka yang paling berpengaruh dalam proses belajarnya adalah Kiai Idris Kamali.

Ali Mustafa sering menyebut dirinya dengan 'Tukang Pijit Kiai Idris'. Tatkala beliau ingin berguru pada Kiai Idris, Kiai Idris bertanya kepada Ali Mustafa, “Siro mau apa? (Kamu mau apa?); Namamu siapa? Hafalkan sepuluh kitab, ya.”

Seketika Ali Mustafa terdiam membisu mendengar perintah ini, namun tetap ia jalankan. Sepuluh kitab itu adalah Matan al-Jurumiyah, Matan al-Kailany, Nadzom al-Maqsud, Nadzom al-Imrithy, al-Amtsilah Tasrifiyyah, Alfiyah, al-Baiquniyyah, dan al-Waraqat.

Setelah lulus, Ali Mustafa diminta untuk mengabdi mengajar Bahasa Arab untuk santri tingkat Sekolah Persiapan (SP) Tsanawiyah ketika itu. Beliau sangat andal dalam mengatur waktunya, tak ada kata nganggur, setiap waktu selalu digunakan dengan hal yang bermanfaat.

Meluncur Nyantri S1 dan S2 di Arab Saudi, dan Menyandang Gelar Doktor
Di usianya 24 tahun, Ali Mustafa mendapat panggilan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Syariah, Universitas Islam Muhammad bin Saudh, Saudi Arabia. Beliau memperoleh pendidikan ini setelah melalui jalur murosalah (korespondensi) atau pengajuan lamaran jarak jauh via pos. Ali Mustafa menyelesaikan S1 dengan ijazah Licence pada tahun 1980.

Selepas pendidikan S1, beliau tak langsung pulang ke tanah air. Jiwa haus akan ilmunya masih menggebu-gebu. Kiai Ali masih ingin melanjutkan studinya di Arab Saudi. Akhirnya beliau melanjutkan studinya di S2 Universitas King Saud, Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis, sampai lulus dengan mendapat ijazah Master pada tahun 1985.

Ketika pascasarjana inilah beliau bertemu dengan salah satu guru besarnya, Syaikh Mustafa Azami. Syaikh Mustafa Azami adalah ulama hadis kontemporer ternama di kancah internasional, lahir di India pada tahun 1932.

Tahun 1985, Kiai Ali Mustafa pulang ke Indonesia dan mengakhiri studinya, namun jiwa menuntut ilmunya belum surut juga, akhirnya berkat saran gurunya, Syaikh Hasan Hitou, beliau pun melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Nizamia, Hyderabad, India, pada tahun 2005. Studi ini tidak bersifat resindensial atau belajar di kampus, namun melalui komunikasi jarak jauh.

Studi ini rampung setelah beliau menulis disertasinya yang berjudul Ma’âyir al-Halâl wa al-Harâm fî Ath’imah wal Asyribah wal Adawiyah wal Mustahdharat at-Tajmiliyyah ‘ala Dhau’ al-Kitâb wa al-Sunnah (Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis).

Disertasi ini diujikan di Indonesia. Karena kesibukan Kiai Ali adalah Imam Besar Masjid Istiqlal, maka disertasi pun diujikan di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Disertasi sidang dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou, ilmuan Suriah, sekaligus Guru Besar Fikih dan Ilmu Ushul Fikih dari Universitas Kuwait dan Direktur ilmu-ilmu keislaman Frankfurt Jerman. 

Sedangkan dewan penguji terdiri dari Prof Dr Taufiq Ramadhan al-Buuthi, Guru Besar dan Ketua Jurusan Fikih dan Ushul Fikih Universitas Damaskus Suriah; Prof Dr Mohammed Khaja Syarief M. Shihabuddin, Guru Besar dan Ketua Jurusan Hadis Universitas Nizamia, Hyderabad India; Prof. Dr. M. Saifullah Mohammed Afsafullah, Guru Besar dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Nizamia Hyderabad India.

Gelar doktor tak menyurutkan dahaga beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau memiliki semboyan hidup “Nahnu Thullabul’Ilmi Ila Yaumil Qiyamah” (Kami adalah penuntut ilmu hingga hari kiamat).

Khidmah dengan Berdakwah 
Kiai Ali Mustafa sangat telaten dalam berdakwah, mengkhidmahkan diri untuk umat. Bahkan ketika masih di Saudi Arabia, beliau pernah berkeinginan untuk berdakwah di tanah Papua jika sudah pulang nanti, meskipun impian ini tidak terealisasikan karena beberapa sebab.

Pemikiran kiai Ali Mustafa
Kiai Ali sangat diterima hampir di setiap kalangan. Kita dapat membaca dari pendidikan beliau sejak kecil, dengan corak ke-NUanya yang begitu kental. Meskipun beliau mengenyam sembilan tahun di Arab Saudi, beliau tidak pernah terpengaruh sama sekali dengan pemikiran Salafi-Wahabi.

Hal ini diungkapkan oleh Prof. KH. Ali Yafie, “Meskipun tercatat sebagai salah seorang alumnus Timur Tengah, yang sering diklaim jumud (keras), statis, dan cenderung agak keras dalam menyikapi berbagai fenomena keagamaan, tak menjadikan beliau (Ali Mustafa) bersikap keras.”

Ulama yang Produktif
Dilihat dari beberapa buku yang beliau tulis, dapat dihitung bahwa Kiai Ali Mustafa termasuk ulama yang produktif. Beliau memiliki motivasi untuk selalu berkarya. Santrinya sangat beliau anjurkan untuk menulis, maka tak salah wejangan beliau sangat akrab sekali di telinga para santrinya, yaitu “Wa laa tamutunna illa wa antum muslimun” (Janganlah kalian mati kecuali menjadi penulis).

Hingga akhir hayatnya Kiai Ali telah menulis 49 buku, namun ada juga buku terakhir yang terbit pascawafatnya beliau, hasil transkip dari ceramah-ceramahnya, jadilah jumlah buku itu berjumlah 50 buku.

Berikut judul-judl buku yang ditulis Kiai Ali Mustafa:
Memahami Hakikat Hukum Islam (Alih bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah al-Bayanuni, 1986)
Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan Penghafal Quran (1990)
Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits (1991)
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Alih bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, 1994)
Kritik Hadis (1995)
Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan Masyarakat (Alih Bahasa dari Muhammad Jamil Zainu, terbit di Saudi Arabia, 1418 H)
Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997)
Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999)
Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2000)
Islam Masa Kini (2001)
Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi’i (Alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd. Al-Rahman al-Khumays, 2001)
Aqidah Imam Empat Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad (Alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd. Al-Rahman al-Khumays, 2001)
Fatwa-fatwa Kontemporer (2002)
MM Azami Pembela Eksitensi Hadis (Karya Bersama KH. Abdurrahman Wahid (Gius Dur), dkk, 2002)
Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003)
Hadis-hadis Bermasalah (2003)
Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadha (2003)
Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Alquran dan Hadis (2005)
Imam Perempuan (2006)
Haji Pengabdi Setan (2006)
Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007)
Pantun Syariah ‘Ada Bawal Kok Pilih Tiram’ (2008)
Toleransi Antar Umat Beragama (Bahasa Arab dan Indonesia, 2008)
Kriteria Halal dan Haram untuk Pangan, Obat, Kosmetika dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2009)
Mewaspadai Provokator Haji (2009)
Islam di Amerika (2009)
Islam Between War and Peace (Bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia, 2009)
Kidung Bilik Pesantren (2009)
Ma’âyir al-Halâl wa al-Harâm fî Ath’imah wal Asyribah wal Adawiyah wal Mustahdharat at-Tajmiliyyah ‘ala Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah (2010)
Kiblat, antara Bangunan dan Arah Kabah (Dalam Bahasa Arab dan Indonesia, 2010)

Masih ada 20 buku lagi yang tak dapat kami cantumkan di sini.

Kewafatan  
Kamis, 24 April 2016 menjadi hari yang mengundang kesedihan, perginya salah satu ulama Nusantara yang banyak bergulat di bidang hadis. Kewafatan beliau seperti tak ada tanda-tanda sebelumnya.

Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang pengurus masjid Agung Sunda Kelapa, bahwa pada malam Jumat, 28 April 2016 Kiai Ali Mustafa akan mengisi jadwal kajian rutin Arbain Nawawi di Masjid Sunda Kelapa.

Rabu sore, sehari sebelum kewafatannya pun beliau masih sempat menerima telepon untuk mengkonfirmasi apakah bisa mengisi kajian tersebut atau tidak. Beliau menjawab dengan suara lemah diselingi batuk, jika badan sehat maka bisa, namun kalau batuk belum juga reda, maka terpaksa diliburkan.

Jika melihat pada tahun sebelum tahun kewafatan Kiai Ali Mustafa, beliau pernah berbicara ketika di atas panggung saat berlangsungnya haflah takhorruj (wisuda) Darus-Sunnah ke-13, tepatnya tanggal 6 Juni 2015.

“Rasulullah wafat umur 63 Tahun, kami sudah umur 64 tahun,” ungkap Kiai Ali.

“Artinya apa?” lanjut beliau, 

“Rasulullah pada akhir hayatnya sering mengatakan begini: يَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ لَعَلِّي لا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِكُمْ هَذَا

“Saya pesan pada kalian, siapa tahu tahun depan saya nggak bertemu lagi dengan kalian.”

“Maka dengan anak-anak kami, selalu kami sampaikan: أُوْصِيْكُم يا أَبْنائِي الطَّلَبَةُ لَعَلِّي لا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِكُمْ هَذَا

“Saya pesan, wahai murid-muridku, siapa tahu tahun depan saya nggak bertemu lagi dengan kalian.”

Begitulah kiranya kata-kata yang mengarah pada firasat kewafatan beliau, tentunya kalimat terakhir inilah yang sangat membekas dalam benak santrinya. 

Beliau dimakamkan di belakang area masjid Muniroh Salamah, di dalam kawasan pesantren. Semoga Kiai Ali Mustafa Yaqub diterima seluruh amalnya dan diampuni segala dosa-dosanya. Amiin.

Disarikan dari buku: Biografi Kyai Ali Mustafa Yaqub, Meniti Dakwah di Jalan Sunnah (Ulin Nuha Mahfudhon, Maktabah Darus-Sunnah, Cetakan pertama, April 2018).

Amien Nurhakim, Mahasantri di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Science, Ciputat; mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; pengisi kolom keislaman di Islami.co dan NU Online.