Nyai Solichah, Bergerak di Politik, Bangun Kesejahteraan Wong Cilik
Senin, 12 Juni 2023 | 11:00 WIB
Muhammad Syakir NF
Penulis
Lahir dari pasangan KH Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Chadijah pada 11 Oktober 1922, Nyai Solichah kecil bernama Munawwaroh. Nama Solichah sendiri muncul setelah ia menikah dengan KH Abdul Wahid Hasyim dan tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Besar dan tumbuh di lingkungan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur Nyai Solichah telah belajar berbagai pelajaran keagamaan Islam kepada orang tuanya, sebagaimana ditulis Aboebakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH A Wahid Hasyim (2011). Terlebih orang tuanya dikenal sebagai salah satu kiai yang pertama dalam mendirikan pesantren bagi kaum perempuan.
Pernikahannya dengan KH Abdul Wahid Hasyim membuat sosoknya semakin matang, baik dari sisi keilmuan maupun pergerakannya. Hal ini tak lepas dari dukungan sang suami itu sendiri yang menularkan intelektualitasnya dan membuka ruang aktivitas yang lebih luas bagi pergaulannya.
Ia dengan setia mengikuti suaminya. Saat pindah ke Jakarta, ia turut serta tinggal di sana. Pun saat Kiai Wahid dipanggil Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari untuk tinggal di Pesantren Tebuireng, Nyai Solichah pun membersamainya. Sampai kemudian sang suami kembali ke Jakarta karena mendapat tugas negara, ia pun menemaninya di sana. Tak pelak, ia pun banyak belajar dengan segala aktivitas yang dilakukan suaminya.
Saat perjuangan kemerdekaan, Nyai Solichah juga tidak tinggal diam. Dikutip dari Nur Khalik Ridwan dalam Ensiklopedia Khittah NU Jilid 4: NU dan Tokoh-tokohnya (2020), ia terjun di medan pertempuran dengan membantu para pejuang memenuhi segala kebutuhannya.
Tindak-tanduknya yang demikian berani di masa-masa itu dan pergaulannya yang luas membuat sosoknya cakap sebagai seorang perempuan pemimpin. Selepas suaminya wafat pada April 1953, praktis ia menjadi orang tua tunggal bagi keenam anaknya.
Di rumah, Nyai Solichah hadir sebagai orang tua bagi putra-putrinya. Di luar rumah, sosoknya aktif sebagai seorang politisi dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta pada pertengahan 1950-an.
Kemudian, saat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dibubarkan dan dibentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Nyai Solichah juga dipilih sebagai salah satu anggotanya.
Kiprahnya di bidang politik tidak berhenti di situ. Ia pun kembali terpilih dalam beberapa Pemilu berikutnya sebagai Anggota DPR RI dari fraksi Partai NU maupun Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Bergerak sejahterakan masyarakat
Nyai Solichah bukanlah politisi yang duduk manis di atas kursi kantor. Ia betul-betul hadir di tengah masyarakat dengan berbagai aktivitasnya. Ia tercatat aktif sebagai pengurus Muslimat Nahdlatul Ulama dan pendiri Yayasan Kesejahteraan Muslimat Nahdlatul Ulama (YKMNU). Bahkan, di yayasan tersebut, ia menjadi ketua umum sejak pendiriannya pada tahun 1963 hingga akhir hayatnya pada tahun 1994.
Melalui YKMNU, Nyai Solichah menggerakkan kaum ibu untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan Indonesia. Sebab, YKMNU merupakan buah dari Kongres ke-8 Muslimat NU di Solo, Jawa Tengah tahun 1962.
Di kongres tersebut, ia bersama Nyai Hj Siti Solihah Saifuddin Zuhri sebagai pengurus di bidang sosial, memutuskan untuk mengusahakan terselenggaranya Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), menghibur dan berbuat kebaikan secara serentak untuk anak-anak yatim, dan memberikan bantuan pada keluarga yang berkesusahan. (Ariyana Wahidah, Pengabdian Emas 50 tahun 1963-2013 Yayasan Kesejahteraan Muslimat Nahdlatul Ulama, 2013).
Sebagai perangkat Muslimat NU, YKMNU mendirikan klinik-klinik bersalin di sejumlah daerah untuk membantu proses lahiran ibu-ibu. YKMNU juga mendirikan panti-panti asuhan guna melindungi dan melayani tumbuh kembang anak-anak yatim piatu dan berkekurangan.
Selain itu, Nyai Solichah juga turut serta mendirikan Yayasan Bunga Kamboja, Pengajian Al-Ishlah, Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia, dan Lembaga Penyantun Lanjut Usia.
Nyai Solichah juga tercatat sebagai salah seorang yang kali pertama menyosialisasikan program Keluarga Berencana kepada kalangan Nahdliyin. Dengan kharismanya dan penjelasannya, program ini menjadi lebih mudah diterima masyarakat saat itu.
Nyai Solichah sebagai Ketua YKM yang mengelola program Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana Jam'iyah Nahdlatul Ulama menyerahkan pengelolaannya kepada Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK).
Penyerahan itu dilakukan secara resmi melalui naskah timbang terima yang ditandatangani olehnya sebagai Ketua YKM, Nyai Hj Asmah Syachruni sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muslimat NU, dan KH Ali Yafie sebagai Ketua LKK pada 27 Januari 1978.
Nyai Solichah wafat di usia 72 tahun pada 9 Juli 1994. Kiprahnya yang sedemikian luas dan legasinya yang tertanam kuat membuat sosoknya bukan saja ibu bagi putra-putrinya, tetapi juga masyarakat Nahdliyin.
Penulis: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua