Warta

40 Hari, Jangan Sebut Lagi Kematian Pram

Jumat, 9 Juni 2006 | 03:45 WIB

KAMIS malam (8/6) suasana haru memenuhi ruangan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Ratusan pasang mata para pengagum Pramodya Ananta Toer (pramis) memandang layar yang memantulkan kembali detik-detik terakhir kematian Pram. Malam itu, tepat 40 hari meninggalnya sastrawan besar itu.

Kenapa 40 hari? Dulu Pram dibuang ke pulau Buru karena dianggap sebagai bagian dari gerakan komunisme. 30 April 2006 lalu, saat Pram disemayamkan, terdengar lagu-lagu komunis bersemangat bersahutan. Tapi Pram dimakamkan secara Islam dan ditalqin secara NU. Keluarga Pram juga mengadakan tahlilan sampai tujuh hari, dan malam itu adalah tahlilan 40 harinya.

<>

“Menurut adat sampai empat puluh hari kita masih boleh bercerita tentang kematian Pak Pram. Arwah beliau masih di sini, di sekitar kita. Tapi setelah itu, setelah keluar dari sini, jangan coba-coba Anda bicara kematian Pram. Kita bercerita kehidupan Pram, karya Pram,” kata budayawan Eka Budianta malam itu di hadapan para pramis.

Acara 40 hari Pram bertajuk "Menentang Penindasan, Mengagungkan Kemanusiaan" itu didukung sepenuhnya oleh Gus Dur yang juga mantan ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Eka Budianta, Romo Mudji Sutrisno, Rieke Diah Pitaloka, Muhidin M. Dahlan, Lokal Ambience, Marjinal, Indonesia Buku, Hantoeroemahbiroe, Rdp Management, Lentera Dipantara, DKJ, Mata Pusaran, Taringbabi, dan pramis lainnya. Acara dirangkai dengan aksi penggalangan dana untuk korban gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Para pramis malam itu secara bergantian mengungkapkan kekagumannya tentang Pram; bercerita, berorasi, berpuisi, menyanyi, berdoa, dan menangis. “Kejahatan itu ada fungsinya buat kita bisa belajar melawan,” demikian suara almarhum Pram itu memecah suasana gedung.

Sekjen Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi NU), M Dienaldo, yang disebut-sebut sebagai pramis utama mengungkapkan dua kalimat tarakhir, wasiat yang terpatah-patah keluar dari mulut Pram sendiri. “Apakah sampah di samping rumah sudah dibakar?” “Pemuda sekarang harus melahirkan pemimpin!”

Ada juga yang malam itu menyebut Pram sebagai Mahatma Gandi. Ya. Pramodya Ananta Toer telah meninggalkan banyak hal: Semangat, keberanian, karya dan kata-kata. Adalah, sastrawan yang mempraksiskan bagaimana “seni untuk rakyat” dan memikirkan tiap centimeter tanah-air di Indonesia. “Jangan dulu meninggal. Pekerjaan masih banyak.” (a khoirul anam)