Warta

CBDRMNU Finalisasi Modul Penanggulangan Bencana

Rabu, 20 Juni 2007 | 11:33 WIB

Jakarta, NU Online
Setelah bekerja keras hampir satu tahun, akhirnya modul penanggulangan bencana ala NU yang berbasiskan pesantren dan masyarakat difinalisasi dalam wokshop ke 3 yang diselenggarakan mulai 18-20 Juni di Bandung,

Program Manager Community Based Disaster Risk Management Nahdlatul Ulama (CBDRMNU) Avianto Muhtadi menjelaskan bahwa konsep penanganan bencana yang dikembangkan oleh NU lebih bersifat preventif, bukan emergency response.

<>

Untuk menyusun modul ini, tim CBDRMNU telah melakukan survey ke tiga pesantren percontohan, melakukan ToT kepada para santri dan selanjutnya para santri juga sudah memberikan pelatihan kepada masyarakat di sekitarnya. Masing-masing tahapan tersebut memberikan masukan yang sangat berharga dalam penyusunan modul.

Pesantren percontohan juga dipilih berdasarkan karakteristik kerawanan bencana yang berbeda. Pesantren Assidiqiyah Jakarta dipilih mewakili ancaman bencana banjir dan kebakaran. Pesantren Darussalam Watucongol dipilih mewakili ancaman bencana gunung berapi sedangkan Pesantren Nurul Islam dipilih mewakili ancaman bencana tanah longsor.

Ketua Banser DKI ini menjelaskan penanganan bencana berbasis komunitas yang dikembangkan oleh NU ini melibatkan tiga fihak dimasing-masing lokasi, yaitu pesantren, PCNU setempat dan masyarakat. Karena itu, dalam workshop ini masing-masing kelompok diwakili oleh 2 orang.

Dalam pertemuan finalisasi ini, masih terdapat masukan dari tiga pesantren yang menjadi proyek percontohan. Untuk Ponpes Assiddiqiyah mereka membuat program pengurukan dan pembersihan kali. Untuk pesantren Nurul Islam mereka meminta adanya reboisasi guna mencegah terjadinya banjir sedangkan Ponpes Darussalam Watucongol meminta dibuatkan jalur evakuasi. 

Avianto menjelaskan sejauh ini AusAid sebagai penyandang dana untuk program ini telah berkomitmen untuk membantu program awal penanggulangan bencana yang diusulkan oleh masing-masing pesantren, namun dana yang diberikan sifatnya hanya sebagai pancingan. Selanjutnya pesantren dan masyarakat diharapkan dapat mengembangkannya upaya penanggulangan bencana ini dengan melibatkan elemen masyarakat lainnya seperti Satlak dan Pemda setempat.

“Mereka kita jadikan ujung tombak NU dalam penanggulangan bencana berbasis pesantren. Kita tidak hanya berwacana dalam kelas, tatapi action langsung di lapangan, Sasat ini sudah 500 orang santri dan masyarakat yang sudah dilatih menangani bencana,” tandasnya.

Kendala yang masih dihadapi saat ini adalah status kelambagaan yang menaunginya karena dalam NU, belum ada lembaga khusus yang menanganinya “Mereka menanyakan bagaimana kelembagaannya, dimana keterlibatan PCNU dan pesantren serta masyarakat sementara NU tidak memiliki lembaga khusus ini,” tuturnya.

Modul yang rencananya akan dikembangkan ke 15 pesantren ini materinya berisi pengenalan bencana, preparedness, aspek teologis, penyadaran lewat moral dan akhlak, sama apa yang harus dilakukan, dan pengorganisasian masyarakat.

Hadir dalam acara tersebut 18 orang yang mewakili tiga lokasi rawan bencana sedangkan para pembicara datang dari PBNU, ITB dan LSM peduli bencana dan lingkungan seperti ACF dan Walhi. (mkf)