Warta SERTIFIKASI HALAL

LPBHNU: Sertifikasi Bukan Kewenangan Pemerintah

Ahad, 30 Januari 2011 | 07:33 WIB

Jakarta, NU Online
Sertifikasi halal produk makanan/ minuman yang sedang ramai diperdebatkan sangat berkaitan erat pada aspek konsumen. Dengan adanya sertifikasi, maka akan memperbesar biaya produksi (production cost). Ketika produk itu dilepas di pasar, maka yang merasakan dampak mahalnya biaya produksi adalah konsumen.

“Dari persepsi itu maka, NU sebaiknya menolak sertifikasi (halal, red) seperti yang sekarang sudah berjalan. Itu adalah dasar pikiran dasar NU,” ujar Ketua Lembaga Pelayanan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU), Andi Najmi di Jakarta, 30 Januari 2011.<>

Andi menambahkan, sertifikasi baru dilakukan jika ada temuan di masyarakat terhadap beberapa produk yang terindikasi haram. Barulah kemudian Pemerintah kemudian memfasilitasi untuk mengkaji dari aspek hukum Islam dan penelitian laboratoriumnya.

“Bekerjasama dengan lembaga kesehatan atau apa. Kemudian untuk aspek hukum Islamnya, Pemerintah memfasilitasi mengundang ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam untuk membahas hukum temuan itu. Kalau ternyata ditemukan bahwa produk itu terindikasi mengandung unsur haram, maka kemudian produk itu yang diberi sertifikasi haram. Jadi bukan sertifikasi halal,” tegas Andi.

Kalau usul NU meniadakan sertifikasi halal itu tidak bisa terbendung, menurut Andi Najmi, maka harus disepakati program sertifikasi dengan berpedoman pada dua hal prinsip.

“Pertama, proses sertifikasi ini tidak boleh dimonopoli. Proses sertifikasi harus dilepas dari kewenangan Pemerintah. Artinya dikelola oleh ormas. Kedua, ormas yang diberi kewenangan untuk memberikan sertifikasi produk halal ini tidak boleh dimonopoli oleh satu ormas. Harus menunjuk beberapa ormas dan itu disebut serta diatur dalam undang-undang,” tambahnya.

Andi menegaskan bahwa ormas yang ditunjuk harus memiliki beberapa kriteria mendasar. Ormas tersebut harus memiliki aspek kesejarahan dan kekuatan di akar rumput (grass root). Andi kemudian mencontohkan NU, Muhammadiyah, MUI, dan beberapa ormas lain.

“Karena ini kaitannya dengan pasar, konteks pasar. Jadi ormas yang diberi kewenangan itu ormas yang memiliki konsumen terbanyak. Jadi ormas yang punya akar atau grass root. Kalau memang tidak punya grass root yang jangan diberi kewenangan,” lanjut mantan anggota FKB DPR RI ini.

Menurut Andi hal ini tidak akan tumpang tindih jika sudah diatur dalam undang-undang dan ditindaklanjuti dalam peraturan pemerintah. Selain itu, Pemerintah juga harus meminimalisir kewenangan-kewenangan yang berkaitan dengan aspek keagamaan.

“Bahkan lebih jauh dari itu saya kira hal-hal yang selama ini yang berkaitan dengan ibadah, dan lain sebagainya itu harus dilepas dari kewenangan Pemerintah. Urusan haji misalnya, saya kira sudah bukan saatnya lagi Pemerintah mengurusi hal itu,” pungkas Andi. (bil)