Warta

Menag Minta Para Kepala Daerah Jelaskan Masalah Ahmadiyah

Rabu, 9 Juli 2008 | 08:12 WIB

Jakarta, NU Online
Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni meminta kepada para pimpinan daerah untuk memberikan penjelasan tentang masalah Ahmadiyah. Hal itu untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang ini.

“Dalam waktu dekat ini, kita akan buat surat edaran ke para gubernur, walikota, kakanwil. Kita akan memberikan penjelasan kepada mereka bagiamana cara-cara yang akan dilakukan dalam menghadapi masalah ini,” jelas Maftuh.<>

Ia mengatakan hal itu pada acara sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang peringatan dan perintah kepada anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan masyarakat di auditorium Departemen Agama Jakarta, Rabu (9/7).

Menag juga menyatakan, bahwa SKB tersebut bukanlah bentuk intervensi pemerintah terhadap keyakinan warga masyarakat. “Bagi pemerintah, masalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia mempunyai dua sisi,” ujarnya.

Sisi pertama lanjutnya, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, warga JAI adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat. “Kedua sisi ini harus ditangani pemerintah,” tandas Menag.

SKB yang ditandatangani Menag, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung itu berisi 6 butir yang intinya terbagi atas dua bagian. Pertama, memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad.

“Bagi pelanggarnya, dapat dikenai sanksi hukum termasuk badan hukum dan organisasinya,” kata Maftuh seraya menambahkan sanksi yang dimaksud tercantum dalam pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

Menjawab dampak pasca-dikeluarkan SKB itu, menurut Menag, sekarang mulai reda aksi protes masyarakat. Di samping itu, penganut Ahmadiyah juga mengikuti aturan yang ada di SKB, “Menurut saya sudah lebih baik, seperti di NTB (Nusa Tenggara Barat),” ujarnya.

Pada bagian lain, Menag memaparkan, penolakan umat Islam terhadap Ahmadiyah telah terjadi sejak 1930-an. Kemudian, penolakan pun terjadi, baik dalam bentuk keberatan maupun perusakan bangunan rumah, masjid dan musala milik Ahmadiyah di berbagai daerah, antara lain, di Sumatera Timur (1953), Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969), NTB (1976), Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Surabaya dan Parung Bogor (1981), serta Riau, Palembang, Sumatera Barat dan Jakarta (1990).

Akhir-akhir ini penolakan tersebut muncul kembali di sejumlah daerah, seperti NTB (2002), Parung, Bogor (2006), Kuningan, Majalengka, dan Sukabumi (2008).

Semua penolakan itu hanya ditujukan kepada JAI yang mengusung faham bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi.

Sikap penolakan juga dilakukan dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan MUI pada 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian adalah jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan, dan pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah Qodian dan Lahore adalah sesat dan menyesatkan. (rif)