Warta

Pembangunan Masjid di Alsace-Perancis, dan Dialog Antar Agama

Senin, 13 Oktober 2008 | 09:15 WIB

Alsace, NU Online
Ketika konstruksi masjid di hampir penjuru Perancis selalu menghadapi tantangan serius, namun tidak demikian di wilayah Alsace-Moselle. Wilayah jauh di sudut Perancis ini memang perkecualian, membantu pendirian masjid untuk komunitas Muslim yang cukup besar di sana.

Alsace, adalah contoh dialog antar agama yang terjalin kuat dibanding wilayah lain di Perancis," ujar Fouad Douai, orang yang bertanggung jawab pada tender pembangunan masjid negara bagian di kota Strasbourg, seperti yang dilansir oleh International Herarld Tribune Selasa (7/10) lalu.<>

Kondisi itu tidak biasa di Perancis yang sekuler. Negara dimana Undang-Undang 1905 melarang keras negara mengakui atau membiayai agama apapun, undang-undang lokal di Alsace-Moselle justru membuat Muslim memiliki hak untuk membangun masjid mereka.

Wilayah yang dikembalikan oleh Jerman kepada Perancis setelah Perang Dunia I ternyata masih menerapkan aturan Kerukunan pra-1905 yang memiliki keuangan publik untuk konstruksi tempat ibadah dan honor kependetaan.

Namun selama berpuluh tahun, Alsace-Moselle terbatas ketat hanya untuk Katholik Roma, Kristen Protestan Martin Luther, Calvinisme dan Yudaisme. Lalu pada tahun 1998, barulah kepala Gereja Katholik, Gereja Lutheranisme, Gereja Calvinisme dan kaum minoritas Yudaisme menandatangani surat kesepatakan dengan pemerintah lokal, untuk mendukung pendirian masjid.

Mereka waktu itu mengatakan jika agama dengan komunitas cukup banyak di wilayah tersebut harus menikmati status yang sama sebanding dengan empat agama resmi lain. Sementara Muslim di Alsace-Moselle menempati urutan terbanyak kedua.

Tak lama setelah penandatanganan surat itu, pemerintah lokal pun memberikan plot lahan cukup luas di tepi sungai kota Strasbourg untuk rencana masjid. Berdasar aturan Kerukunan tempat beribadah pra-1905, Kota dan dewan wilayah bertanggung jawab atas 26 % biaya konstruksi masjid. 

Toh rencana membangun masjid tersebut bukan tanpa halangan. "Ada hipokrit yang besar dalam politik Perancis," ujar Douai, yang juga menjadi kepala organisasi komunitas Muslim di Alsace-Moselle.

"Begitu orang tidak menamai hal-hal seperti mereka, setiap kali ada orang berkulit berwarna dankehitaman, atau nama Muslim, anda ditekan," ujar Douai. Kabar tentang rencana pendirian masjid pada tahun 1998 itu pun sempat memicu debat politik panas.

Roland Ries, mantan walikota Strasbourg kala itu yang membantu awal pendirian masjid baru harus membayar harga politik cukup mahal. Ia kehilangan jabatannya ketika partai pemerintah Sosialis tempat ia bernaung dikalahkan pada pemilu lokal tahun 2001.

Walikota baru yang lebih 'kanan' merevisi proyek masjid tersebut. Ia hanya mengijinkan bagian untuk ritual ibadah yang boleh dibangun, sementara pusat studi dan auditorium, yang semula ada dalam rencana ia tolak.

Pemerintah baru tersebut juga menolak memberi ijin mendirikan menara masjid. Baru pada tahun 2007 lalu konstruksi masjid benar-benar rampung. Hanya menggantungkan dana dari upaya keras komunitas Muslim, konstruksi pun berjalan sangat lambat.

Pelajaran

Pemerintah meyakini terlepas dari rintangan yang ada, Alsace-Moselle harus menjadi contoh bagi wilayah-wilayah lain di Perancis.

"Islam saat ini menjadi agama terbesar kedua di Perancis, seperti juga di Alsace-Moselle," tekan Francois Grosdidier, walikota Woippy, sebuah kota kecil di wilayah tersebut dimana sepertiga dari 15.000 penduduk adalah Muslim.

"Sikap mengeluarkan Islam, justru mendorong Muslim untuk membangun masjid di bawah tanah dan mencari dana luar negeri,"kata Francois.

Ada sekitar 1.700 tempat Ibadah umat Muslim di Perancis, negara yang menjadi rumah bagi 6 hingga 7 juta Muslim di Eropa. Namun hanya sekitar 400 yang resmi berbentuk masjid, sementara sisanya adalah ruang ibadah temporer di dalam gimnasium, toko tak terpakai, atau ruang bawah tanah di apartemen dan perumahan.

Sang walikota Francois meyakini, cepat atau lambat undang-undang dan politisi Perancis bakal sadar akan perlunya mengakomodasi populasi Muslim. "Saya kira kondisi saat ini tidak akan bertahan di Perancis," ujar Francois. "Ini tidak bisa dilanjutkan," imbuhnya lagi. (iol/rol/atj)