Al-Qur’an di satu sisi memang memberi peluang kebebasan kepada manusia untuk berfikir dan bertindak. Akan tetapi di satu sisi, Al-Qur`an juga menyebut manusia (insan) dengan sebutan hamba (abd) yang senantiasa tunduk dan beribadah kepada Allah.
Kedua premis ini mengisyaratkan sebuah ajaran penting, yakni dalam memakmurkan bumi, umpamanya, harus dilakukan dalam koridor kesantunan beribadah kepada Allah.<>
Kesimpulan ini memberi gambaran bangunan Islam yang bermaksud mewujudkan masyarakat yang senantiasa beribadah sekaligus membangun dan memakmurkan bumi (mujtama al-ibadah wa al-imarah), yang pada akhirnya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Demikian antara lain penjelasan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH Said Agil Siradj dalam presentasi bertajuk Islam and Plural Society dalam acara The International Confrence OF Islamic Sholars (ICIS) III di Jakarta, Rabu (30/7).
Apabila menilik sejarah Islam paska hijrah, Nabi Muhammad SAW menemui masyarakat Madinah al-Munawwarah yang majemuk dan beragam. Beliau mendapati kalangan Yahudi Bani Nadzir, Quraydzah dan Qaynuqa. Perjanjian Nabi dengan kalangan tersebut tidak memaksudkan Madinah sebagai kawasan Islam (dar al-Islam), tetapi kawasan keselamatan (dar as-Salam), yang dilandasi oleh semangat toleransi, saling menghormati dan tolong-menolong.
“Ini menjelaskan bahwa pengertian Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (Islam rahmatan lil-alamin) mesti dilandasi semangat-semangat tersebut. Islam dengan demikian tidak hanya sekedar menjadi rahmat bagi orang-orang muslim (muslimin), tetapi justeru kepada seluruh alam ('alamin),” katanya.
Dalam Al-Qur’an sendiri, persaudaraan sesama kaum muslim dinyatakan dengan persaudaraan (ikhwah), bentuk plural yang bererti saudara kandung (nasab), dan tidak diungkapkan dengan teman (ikhwan) yang bermakna perkawanan dan pertemanan (sahib). Ini mengisyaratkan makna eratnya perhubungan antara kaum muslimin. Meskipun demikian, Al-Qur’an tidak memungkiri kenyataan bahwa dalam setiap kelompok masyarakat terdapat kekhususan, adat kebiasaan dan keistimewaannya sendiri-sendiri.
Keberagamaan ini kemudian didorong oleh Al-Qur’an untuk saling diperkenalkan, yang akhirnya bisa saling dihargai dan dihormati.
Persaudaraan dengan demikian mendorong kaum muslim untuk maju dan membangun, bukannya ketertinggalan dalam makna kebodohan dan kemiskinan. Persaudaraan mendorong kasih sayang di antara kaum muslimin, bukannya egoitas, merasa benar sendiri dan saling berbangga-bangga.
Semua itu mengharuskan kaum muslimin untuk memantapkan tekad menuju perdamaian dan menumbuhkan peradaban kemanusiaan dengan cara mencari solusi segala permasalahan secara bersama. Sejak sekarang, setiap orang semestinya berjanji agar sejarah kemanusiaan adalah sejarah yang dipenuhi dengan perdamaian. (hil/nucim)
Terpopuler
1
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
2
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
3
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
4
Surat Al-‘Ashr: Jalan Menuju Kesuksesan Dunia dan Akhirat
5
Haul Ke-15 Gus Dur di Yogyakarta Jadi Momen Refleksi Kebijaksanaan dan Warisan Pemikiran untuk Bangsa
6
Mariam Ait Ahmed: Ulama Perempuan Pionir Dialog Antarbudaya
Terkini
Lihat Semua