Mengenal Suluk, Tradisi Tarekat Naqsyabandiyah di Pidie Jaya Aceh yang Menenteramkan Hati
Ahad, 9 Maret 2025 | 22:00 WIB
Helmi Abu Bakar
Kontributor
Pidie Jaya, NU Online
Burung berzikir dengan suara nyaring, cahaya pagi merembes perlahan melalui kaca jendela di Dayah Miftahul Ulum Diniyah Islamiah Al Waliyah (MUDIA) Al Aziziyah Ulee Glee Bandar Dua, Pidie Jaya, Aceh.
Di dalam mushala yang luas ukuran 30x20 meter, lebih dari 150 jamaah tampak duduk bersila, menundukkan kepala, dan larut dalam zikir.
Bagi siapa pun yang baru pertama kali menapaki lantai tempat ibadah ini, keheningan yang tercipta akan terasa begitu menenteramkan hati. Layaknya gelombang lembut yang membelai perasaan, suasana sunyi itu seolah mengajak setiap orang untuk masuk lebih dalam ke samudera kontemplasi.
Di Dayah MUDIA Al-Aziziyah ibadah suluk dipimpin oleh Tgk H Abdullah, ulama kharismatik yang akrab disapa Abu Tanjong Bungong.
Selama bertahun-tahun, ulama sufi yang juga ahli falakiyah Aceh itu membimbing ratusan, bahkan sudah ribuan orang dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah suluk.
Momen ini kian bermakna karena bertepatan dengan bulan Ramadhan, saat umat Islam di seluruh dunia tengah menjalani ibadah puasa.
"Namun, bagi para jamaah di sini, Ramadhan bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan juga kesempatan berharga untuk melaksanakan suluk," ungkap Tgk Sanusi Abdullah, putra Abu Tanjong Bungong, pada Ahad (9/3/2025)
Menyelami sunyi, mendekatkan diri pada Ilahi
Suluk merupakan tradisi Tarekat Naqsyabandiyah yang telah berakar kuat di Ranah Aceh, sebuah laku spiritual yang biasa disebut sulok oleh masyarakat setempat.
Ketika memasuki ruang suluk, hal pertama yang menyergap pancaindera adalah keheningan yang menyelimuti seluruh penjuru ruangan.
Berbagai kaligrafi menghiasi dinding, berpadu dengan ornamen khas Aceh. Di lantai, jamaah menutupi kepala dan tubuh mereka dengan kain panjang, sorban, atau mukena, menyisakan jemari yang terus menggulirkan tasbih. Denting butiran tasbih itu beradu dengan senandung pelan zikrullah qalbi, menciptakan harmoni spiritual yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, ujarnya.
Menurut Walidi kepala yang ditutupi berfungsi menjaga konsentrasi penuh. Dalam suluk, jamaah berusaha menjauhkan diri dari segala bentuk gangguan.
Dengan menutupi kepala, jamaah akan lebih fokus kepada Allah dan pikiran tidak mudah berkelana ke hal-hal duniawi.
Ia menambahkan, setiap peserta suluk juga rutin melakukan tawajjuh atau zikir ismu zat fi qalbi untuk menghadirkan kesadaran penuh pada keagungan Allah.
Jejak tarekat di Bumi Aceh dan Japakeh
Praktik suluk di Pidie Jaya, atau dikenal pula dengan nama negeri Japakeh, mendapat pengaruh dari Tarekat Naqsyabandiyah, salah satu tarekat terbesar di dunia Islam.
Tarekat ini dirintis oleh Syekh Bahauddin Naqsyabandi di Asia Tengah, lalu tersebar ke berbagai wilayah, termasuk Aceh, berkat peran ulama-ulama sufi.
Salah satu yang paling terkenal merupakan Syekh Muda Waly Al Khalidi, yang dikenang karena berhasil menanamkan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik di pesisir maupun pedalaman.
Tgk Syahrul, seorang Guru di Dayah MUDIA Ulee Glee yang ditemui terpisah, menjelaskan bahwa inti ajaran Tarekat Naqsyabandiyah terletak pada keseimbangan antara ibadah lahiriah dan penghayatan batin.
Baginya, suluk merupakan gerbang untuk menanggalkan atribut duniawi dan menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah.
"Banyak orang datang jauh-jauh, rela mengambil cuti atau bahkan meninggalkan usaha sementara, hanya agar bisa merasakan kedamaian di dalam ruangan suluk ini," jelasnya.
Pola ibadah dan pantangan makanan
Sebelum memasuki suluk, para calon peserta diwajibkan mempersiapkan fisik dan mental. Biasanya, mereka melaksanakan mandi taubat serta salat sunnah taubat, simbol bahwa mereka siap memasuki laku spiritual yang mendalam.
"Sebagaimana diungkapkan Walidi, kami mengadakan tawajjuh empat kali sehari: setelah subuh, zuhur, asar, dan tarawih. Di luar itu, jamaah terus berzikir kecuali saat salat fardhu, sahur, dan berbuka puasa. Ada target hingga 70 ribu kalam Allah per hari yang diupayakan dicapai," katanya.
Tata tertib suluk turut mencakup pola makan. Di dapur khusus yang disediakan dayah, menu berbasis nabati seperti aneka sayuran mendominasi sajian.
Hal itu dilakukan supaya peserta terhindar dari rasa kantuk berlebih dan dapat menjaga kejernihan pikiran.
"Makanan yang terlalu berat atau mengandung darah bisa memicu hawa nafsu dan menurunkan sensitivitas rohani. Jadi, kami betul-betul membatasi asupan daging segar selama masa suluk," jelas Tgk Syahrul.
Mendekatkan kaum muda milenial
Menariknya, ritual suluk di Dayah Miftahul Ulum Al Waliyyah kini bukan hanya milik orang tua. Kaum muda (milenial) mulai dari santri, mahasiswi, hingga pelajar juga ramai-ramai ikut bergabung.
Mereka memandang Ramadhan sebagai saat tepat untuk menepi sejenak dari hiruk-pikuk dunia digital, mencari ketenangan batin yang sering sulit didapatkan dalam rutinitas modern.
Bagi Tgk Syahrul, hal ini menunjukkan bahwa tradisi suluk mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman.
"Saya melihat banyak generasi milenial yang mulai sadar akan pentingnya kedamaian jiwa. Di era informasi yang serba cepat, mereka butuh ruang untuk menata ulang hati dan pikiran, dan suluk merupakan jawabannya," kata Tgk Syahrul.
Selain Ramadhan, Dayah Miftahul Ulum Al Waliyyah juga menggelar suluk pada bulan Zulhijjah (musim haji) dan Rabiul Awal (maulid Nabi). Dengan demikian, siapa pun yang memiliki keterbatasan waktu pada Ramadhan, bisa mengikuti program suluk di periode lain.
Menapaki akhir suluk, memulai lembaran baru
Di balik kesan tertutup dan sunyi, suasana di dalam ruang suluk justru amat hangat. Jamaah saling mendoakan dan memberi dukungan, meski jarang terucap dalam kata-kata.
Usai azan, mereka serentak berdiri untuk shalat berjamaah. Saat tiba waktu berbuka puasa, sepiring sayur sederhana terasa nikmat karena disantap dalam suasana penuh rasa syukur.
“Kadang kami hanya saling melempar senyum atau anggukan kecil saat bertemu di koridor. Tapi itu sudah cukup untuk menyampaikan dukungan, menandakan kita sama-sama berjuang mendekatkan diri pada Allah," ucap Walidi.
Di luar ruang suluk, tetangga dan kerabat dayah pun kerap membantu memasok sayuran dan kebutuhan sehari-hari. Hal ini mencerminkan betapa kuatnya semangat gotong royong di kalangan masyarakat Aceh.
Pada waktu yang telah ditentukan, bisa 10-30 hari masa suluk berakhir. Peserta pun kembali ke rutinitas mereka: ada yang mengajar di sekolah, bekerja di ladang, atau melanjutkan kuliah. Namun, perubahan besar tampak dari raut wajah dan kebiasaan.
Menurut Tgk Syahrul, mahasiswa program magister UNISAI Samalanga itu, di antara kisah yang diutarakan jamaah, ketika suluk selesai, banyak yang merasakan seolah hati mereka terisi kembali dengan energi positif. Shalat jadi lebih khusyuk, emosi lebih stabil, dan kehidupan sehari-hari terasa lebih tertata.
Bagi jamaah, suluk diibaratkan seperti labuhan rohani. Mereka sengaja menepi dari hiruk-pikuk dunia agar bisa membenahi batin, membersihkan diri dari hal-hal yang mungkin menumpulkan nurani.
"Ibarat kapal yang merapat untuk memperbaiki layar dan mengisi bahan bakar, mereka kemudian siap berlayar kembali ke samudra kehidupan dengan semangat baru," paparnya.
Tradisi yang terus lestari
Di tengah arus modernisasi, Dayah Miftahul Ulum Al Waliyyah menunjukkan bahwa suluk tetap relevan dan penting. Bukan hanya bagi generasi tua, tetapi juga generasi digital yang memerlukan oase batin di tengah bisingnya dunia maya. Keheningan yang ditawarkan bukanlah bentuk pelarian, melainkan cara mendalam untuk memperkuat iman serta mencari makna hidup yang lebih hakiki.
Walidi menutup pembicaraan dengan kisah inspiratif yang mengatakan bahwa setiap kali suluk berakhir, ia melihat betapa besar perubahan yang dialami para jamaah. Mereka pulang dengan wajah yang lebih cerah, kata-kata yang lembut, dan sikap yang meneduhkan.
"Bagi kami di dayah, itulah bukti nyata bahwa sunyi dapat mempertemukan kita dengan kedamaian sejati," katanya.
Melalui praktik suluk, masyarakat Aceh, khususnya di Pidie Jaya, merajut benang-benang spiritual yang menguatkan identitas mereka sebagai Muslim pencinta kedamaian.
Dalam suasana Ramadhan yang penuh berkah, zikir yang dilantunkan di ruang hening seolah membuka pintu-pintu rahmat Ilahi.
Semoga tradisi ini terus hidup dan menjadi pengingat bahwa di balik hiruk-pikuk dunia, selalu tersedia ruang hening untuk bersimpuh dan meresapi kebesaran-Nya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pentingnya Pendidikan Keluarga di Bulan Ramadhan untuk Membangun Karakter Anak
2
KH Anwar Manshur Istiqamah Ngaji dan Shalat Malam Berjam-jam, Ini Kesaksian Santrinya
3
Kemenhub Sediakan Mudik Gratis via Jalur Darat dan Laut, Berangkat 26-28 Maret 2025
4
7 Ramadhan Hari Wafatnya Pendiri NU KH Hasyim Asy'ari, Nahdliyin Diimbau Kirim Doa dan Surat Al-Fatihah
5
Kultum Ramadhan: Keutamaan Shalat Tarawih dan Witir di Bulan Ramadhan, Meraih Ampunan dan Pahala
6
Kultum Ramadhan: Mengelola Waktu dengan Baik di Bulan Suci
Terkini
Lihat Semua