Warta

Siraman Ruhani KH Hasyim Muzadi bagi Korban 6,2 SR

Selasa, 6 Juni 2006 | 03:14 WIB

Serpihan Ikhlas di Ladang Gempa

Entah angka berapa yang bisa kita gunakan untuk menunjukkan jumlah rangkaian musibah yang menyertai perjalanan bangsa kita. Tak terhitung jumlahnya dan tak terukur nilai kerugiannya. Kerugian material sudah barang pasti tak dapat kita tolak tetapi kerugian rohani yang mengiringinya, sungguh jauh lebih dahsyat dampaknya.

<>

Tak ada yang dapat kita lakukan kecuali menerima semua ketetapan Allah SWT. Ini tak berarti kita berdiam diri. Bukan. Menyerahkan sepenuhnya persoalan kepada Allah, bermakna pula kita selalu siap dengan segala "aaqibaat" dari keputusan yang akan diambil Allah. Siapa yang bisa mengintervensi, kalau Allah sudah menjatuhkan putusan? Siapa? Tidak ada. Tidak juga malaikat-Nya yang suci. Musibah menyimpan sejuta rahasia dan menyimpan pula sejuta hikmah. Semuanya sudah diatur sesuai dengan garis ketetapan Allah. Gempa yang meluluhlantakkan Yogyakarta dan sebagian di Jawa Tengah, pasti sudah lama, lama sekali ditetapkan oleh Allah untuk terjadi.

Apa yang sepatutnya kita lakukan kecuali menyerahkan semua ini kepada Allah? Banyak. Tentu yang paling utama kita lakukan adalah mengulurkan tangan kita kepada saudara-saudara kita yang oleh Allah sudah ditetapkan akan menjadi korban keganasan bencana alam ini. Jangan pernah menunggu mereka mengulurkan tangan,meminta-minta kita mengulurkan tangan kepada mereka yang secara kodrati sudah by-design oleh Allah akan menerima cobaan dan ujian.

Sungguh lalim kita, kalau sampai kita seperti ditamsilkan oleh Syaikh Nashruddin Khoja soal kepelitan dan kekikiran. Seorang yang teramat pelit, suatu waktu jatuh ke sungai. Beberapa kawannya meminta  dia memberikan tangannya agar mereka dapat segera menariknya dari sergapan arus sungai yang ganas. Aneh.

Dia menolak meski tingkat kecemasan sudah mengepung kawan-kawannya. Nashruddin Khoja paham apa yang sesungguhnya terjadi. Dengan lembut ia berkata, "Ambillah tanganku, kawan!" kata Nashruddin. Dengan nalurinya, si pelit mengambil tangan Nashruddin. Dia tidak mau memberikan tangannya, meskipun dengan cara itu dia akan selamat. Maka selamatlah dia karena ketulusan dan keikhlasan Nashruddin meski hal itu dilakukan terhadap si pelit sekalipun. Duh Gusti!

Duh Gusti! Kisah Nashruddin ini memang tidak, atau belum terjadi di tengah erangan kesakitan, di tengah ketegangan yang teramat sangat, di tengah kepiluan yang memuncak di pohon nurani, di tengah luluhlantaknya kehidupan akibat gempa bumi yang kita kira tak akan sebanyak ini jumlah korban jiwanya, dan kita duga tidak akan sedahsyat itu kerusakan yang ditimbulkan.

Dari berbagai informasi yang secara terus menerus menjelaskan soal gempa dan akibat-akibatnya serta proses evakuasi korban juga recovery yang dilakukan, muncul berita tidak sedap. Berita yang memperkenalkan kita kepada kata "ikhlas dan tulus". Bagaimana tidak. Kendati pun banyak saudara kita yang datang dengan keikhlasan dan ketulusan untuk membantu para korban, tetapi sungguh juga beberapa lainnya datang hanya untuk memberikan dengan harapan mendapatkan sesuatu.

Padahal Allah jelas-jelas melarang tindakan semacam ini. "Walaa Tamnun Tastaktsir" (Jangalah engkaumemberi tetapi berharap sesuatu yang lebih banyak).Ironisnya, sudah tidak ikhlas dan tidak tulus, masih pula saling menyalahkan.

Sadarkah kita apa yang kita sajikan ini justru menambah kepiluan saudara-saudara kita ? Kita seperti tak pernah belajar dari sejarah; sudah sekarat, kita masih saja berteori soal siapa, cara serta waktu untuk
menolong korban. Ada apa ini sebenarnya? Kalau itu yang kita lakukan, itu sungguh jauh dari kategori ketulusan sejati. "Al-Mubaadarotu 'alamatul Haqiiqati" (Kecepatan bertindak adalah tanda kesejatian dan ketulusan).

Para korban bencana serta masyarakat yang turut berduka, bisa dengan mudah melihat siapa yang tulus, ikhlas dan jujur. Jangan pernah mereka berpikir bahwa rakyat tidak tahu apa yang mereka simpan di dalam hati mereka. Rakyat kita sudah terlalu pandai untuk dibohongi. Rakyat sudah sangat maklum benar mana bantuan yang tulus dan mana uluran tangan yang bermuatan seringai dusta. Mana kedatangan seseorang yang menebar berkah dan mana kedatangan yang cuma menyebar tipu daya. Duh Gusti! Betapa susahnya kita menemukan keikhlasan di tengah kelaraan yang teramat sangat ini. Duhai! Betapa sulitnya memaknai sikap ikhlas dan betapa susahny