Wawancara SENI

Ki Enthus Susmono: Optimis Wayang Tetap Bertahan

Rabu, 4 Januari 2012 | 07:34 WIB

Ki Enthus Susmono merupakan dalang dengan dua tradisi wayang. Ia lihai memainkan wayang golek (dalam tradisi Sunda) di samping wayang kulit (dalam tradisi Jawa) dengan bahasa pengantar Jawa dialek Tegal.

Dalang kelahiran Tegal, 21 Juni 1966 ini berhasil mengangkat tema-tema aktual ke dalam dunia pewayangan. Untuk itu, ia memasukkan tokoh-tokoh dunia nyata ke dalam wayang.

<>Tak pelak, salah seorang Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Nahdlatul Ulama dan Pengurus GP Ansor Tegal ini, mendapat berbagai penghargaan. Ia digelari Doktor Honoris Causa bidang seni budaya dari International Universitas Missouri, U.S.A Laguna College of Bussines and Arts, Calamba, Philippines(2005). 

Untuk mengetahui kretivitasnya, Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarainya selepas pentas Pagelaran Wayang Simfoni Muharam, berlangsung di gedung Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diselenggarakan Lesbumi bekerja sama  Lazisnu Nahdlatul Ulama pada Rabu-Kamis malam (21-22/12) lalu.

Dalam pementasan tersebut, tidak seperti biasanya, bukan diiringi gamelan, melainkan group musik religius KI Ageng Ganjur pimpinan Al-Zastrouw Ngatawi dan Sapta Kusbini Orkestra pimpinan Sapat Kusbini.

Konsep wayang simfoni itu bagaimana?

Konsep wayang simfoni, ya biasa saja. Cuma iringannya yang berbeda. Biasanya gamelan pure, sekarang pake orkes simfoni dan Ki Ageng Ganjur.

Kenapa menggunakan orkes simfoni?

Ya karena kebutuhan. Karena kebutuhannya wayang simfoni, ya memakai orkes simfoni. Kalau wayang diiringi rebana, ya jadi wayang rebana. Wayang bisa diiringi apa pun.

Jadi, wayang itu lentur, nggak mesti diiringi gamelan?

Nggak. Nggak mesti.

Idenya dari mana?

Dari kesepakatan. Dan saya setuju dengan itu.

Ki Enthus bereksperimentasi, berinovasi, dalam pewayangan, mislanya dalam menampilkan tokoh. Tokoh-tokohnya tidak hanya dari Mahabarata dan Ramayana seperti pewayangan pada umumnya. Tapi tokoh darah daging seperti George Bush, Saddam Husein, Osama bin Laden. Juga tokoh-tokoh yang diadaptasi dari film seperti Harry Potter, Batman, dan Alien.

Bagaimana bisa tokoh-tokoh itu masuk ke dalam dunia wayang?

Untuk mengomentari George Bush, misalnya, semua orang kan bisa. Karena saya itu dalang, cara saya mengomentari ya, dengan wayang. 

Dan langsung membuat sosoknya?

Iya.

Eksperimentasi ki Enthus juga dalam segi tema pewayangan. Ia tidak hanya mengambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana dan berkutat pada isu kekuasaan. Tapi tema-tema kekinian, yang dekat dengan masyarakat seperti tema anti-narkoba, HIV/AIDS, HAM, Global Warming, program KB, pemilu damai, dll. Tema-tema itu bukan jadi sampiran atau ditautkan. Tapi jadi tema utama.

Terus kalau dari segi tema, kenapa Ki Enthus mengambil tema-tama seperti itu?

Wayang itu kan sebenanrnya membicarakan perkembangan yang ada. Dalang-dalang yang dulu, mereka menyikapi persoalan ketika ia hidup. Karena saya dalang yang hidup di zaman ini, yang dihadapi adalah masalah-masalah itu, ya saya mengambil tema-tema itu.

Dari eksperimentasi dan inovasi yang dilakukan Ki Enthus, membuktikan bahwa wayang tidak stagnan, baik dari bentuk dan tema. Sebenarnya, kalau menilik sejarah, perubahan itu sudah berlangsung lama. Pada masa Walisongo misalnya, tema-tema wayang yang semula berisi ajaran Hindu digeser jadi ajaran Islam untuk menarik simpati penonton. Dari perubahan-perubahan itu, tentu ada yang tetap.

Dari waktu ke waktu, bentuk dan tema wayang berubah. Nah, menurut Ki Enthus, apa yang yang tetap dari wayang itu apa?

Ceritanya.

Maksudnya?

Subtansinya. Yang jelek hancur, yang benar menang.

Menurut Ki Enthus, prospek dunia pewayangan ke depan, bagimana?

Optimis. Asal dalangnya bisa menjajajakan wayang itu. Asal dalangnya bisa menjadi penyedot. Asal dalangnya bisa menjadi alternatif. Contoh: yang paling membahayakan pertanyaan ini kan, siapa dua puluh tahun yang akan datang yang mau menanggap wayang? Yang mau nonton wayang?

Itu adalah kata kerja  yang harus dipecahkan oleh pekerja-pekerja seni wayang, semacam saya. Anda lihat ya, pemain seni simfoni ini rata-rata mereka anak-anak di bawah umur 20 tahun. Dan mereka setiap harinya bergaul pada dunia modern. Tapi nyatanya, dengan celetukan-celetukan humor saya, mereka tertarik. Jadi, kan ada katalisator. Ada kebersambungan. Maksud saya begitu. Meskipun saya berumur tua, saya masuk ke dunia mereka dengan mempelajari dunia mereka. Dan mereka tertarik.

Salah satu dari kegagalan dalang adalah tidak match antara wayang dan keadaan, dengan isu-isu aktual, yang lagi ramai dibicarakan banyak orang. Ketika orang rame Harry Potter, saya bikin wayangnya. Ketika ramai membicarakan George Bush dan Saddam Husein, saya bikin pula. Ketika anak saya senang Teletubies, saya bikin pula. Anak kecil itu kan tidak tahu Gatotkoco. Mereka lebih kenal Teletubies. Saya bikinkan wayang Teletubies. 

Jadi, dalang itu akan berkembang kalau didukung kepekaan, pengetahuan, dan disiplin ilmu di luar dalang. 

Pro dan kontra dalam perubahan selalu tejadi. Begitu pula dalam wayang. Pernah ada yang protes nggak? Karena itu kan keluar dari pakem pewayangan?

Yo, silakan saja. orang protes itu, memang harus, ya. Harus ada yang protes. Kalau perjalanan mulus kan kayak malaikat. Untuk bisa kita berinteraksi, berapologi, harus ada yang protes.


Profil Singkat Ki Enthus Susmono

Ki Enthus Susmono lahir pada tanggal 21 Juni 1966 di Desa Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Putra tunggal Ki Soemarjadihardja, dalang wayang golèk terkenal di Tegal. Kakek moyangnya, dalang terkenal dari Bagelen pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat di Mataram.

Penghargaan

Dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia (2005)
Gelar Doktor Honoris Causa bidang seni budaya dari International Universitas Missouri, U.S.A Laguna College of Bussines and Arts, Calamba, Philippines (2005)
Pemuda Award Tahun bidang Seni dan Budaya, dari DPD HIPMI Jawa Tengah (2005)
Memecahkan Rekor Muri sebagai dalang terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak (1491 wayang) tahun 2007

Aktivitas
Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi ) Nahdlatul Ulama (2010-Sekarang) dan Komandan Satkorcab Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Kabupaten Tegal, Jawa Tengah