Wawancara

Langkah LPBI NU dalam Penanggulangan Bencana

Kamis, 19 Juli 2012 | 13:53 WIB

Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) merupakan lembaga relatif muda dibanding lembaga-lembaga NU lain. Tapi keberadaannya, nyata dirasakan warga nahdliyin, terutama terkait dengan program penanggulangan bencana. <>

Untuk lebih mengenal kiprah LPBINU dan program-program kerjanya, Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai Manager Program Advokasi Kelembagaan Bencana LPBINU Sulthonul Huda. Berikut petikannya:

Bisa dijelaskan kerja-kerja atau program LPBI NU selama ini? 

Program LPBI NU yang pertama soal program clean and sefty untuk 3R (Reuse, Reduce Recyle, red). Konsentrasinya pengelolan sampah. Sekarang sudah melalui tahap monitoring. Sebentar lagi sudah 1 tahun dan akan berakhir. Kemungkinan kalau diperpanjang, diperpanjang lagi. Program ini kerja sama LPBI dengan JICA (Japan International Cooperation Agency). Ini mulai bulan Juni tahun lalu. Kemungkinan, ya sebentar lagi selesai.

Tempat pelaksanaan programnya?

Tempat pelaksanaan program ini di Jakarta Barat. Kita punya mesin pengelolaan sampah. Kemudian bagaimana penguatan masyarakat dan sebagainya, ada rumah kompos di sana. Kita punya tempat pengelolaan sampah, rumah kompos itu. 

Program kedua? 

Yang kedua adalah kegiatan Advokasi Kelembagaan Bencana (AKB). Sekarang sudah mulai memasuki tahun kedua. Dan persiapan berjalan. Tahun kedua memasuki bulan Mei ini. Program AKB ini yang pertama kita lakukan adalah berinisiatif dan mendorong penyusunan peraturan daerah (Perda) di delapan kabupaten. Ini merupakan kerjasama LPBINU dengan AIFDR (Australia Indonesia Facility for Disaster Reduction).

Nama-nama kabupaten itu?

Trenggalek, Tulungagung, Malang, Lumajang, Pasuruan, Mojokerto, Lamongan, dan Bojonegoro.

Nah, kegiatan yang akan kita lakukan di tahun kedua ini ada tiga. Yang pertama adalah penguatan kapasitas Badan Penangulan Bencana Daerah (BPBD). BPBD di daerah itu masih sangat rendah dalam penanggulangan bencana walaupun sebetulnya mereka itu pemerintah. Penguatan di tingkat regulasi dan kelembagaaan, sistem dan struktur, kemudian kapasitas dalam pengelolaannya kemampuan-kemampuan dia dalam penanggulangan bencana. Itu yang kita lakukan.

Yang kedua adalah membuat media kampanye dalam bentuk news letter terbit bulan Juni tahun ini. Terbit bulanan. Akan disebarkan di masing-masing kabupaten. Yang ketiga, melakukan, tetap penguatan di tingkat masyarakat. Bagaimana masyarakat punya kemampuan. Bagaiamana masyarakat memiliki kemampuan dalam menanggulangi bencana. 

Kalau ditingkat pemerintah yang diperkuat itu pada regulasi dan tingkat penguatan kelembagaan, sistem dan struktur, kemudian kapasitas dalam pengelolaannya, kemampuannya dalam menanggulangi bencana. Itu yang kita lakukan. Itu tiga hal yang kita lakukan. Kalau yang lain-lainnya sama, monitoring empat bulanan ke delapan kabupaten itu. 

Itu program yang kedua, yang ketiga?

Yang ketiga, kita ini kan punya yang disebut policy ya. Aliansi dengan beberapa organisasi, lembaga LSM, yang ini bekerja yang pertama di Platform Nasional tentang Pengurangan 

Risiko Bencana (PRB). Ini menekankan pada bagaimana melakukan pengarusutamaan penanggulangan bencana kepada masyarakat dan koordinasi kita itu langsung dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Platform Nasional itu, ya secara tidak langsung itu jadi bagian dari perwakilan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam penanggulangan bencana. Itu unsurnya itu dari ormas, LSM, perusahaan, media, kemudian perguruan tinggi, pemerintah sendiri, BNPB. Keterlibatan kita intens, karena kemarin dalam munas Platform Nasional ini kebetulan dari LPBI itu terpilih sebagai ketua umumnya, Pak Avianto Muhtadi. Sudah hampir setahun. 

Kemudian kita juga punya KPB, Konsorsium Penanggulangan Bencana. Ini cukup banyak sekali anggotanya. Kebetulan LPBI juga, waktu pemilihan presidium; jumlah anggotanya 65 organ. Kemudian presidiumnya ada lima. Pada pemilihan itu, saya dari LPBI juga masuk presidium.

Apakah ini termasuk program juga? 

Ini juga memang program, yaitu untuk sosialisasi LPBINU kepada pihak-pihak yang lain. Ini juga membantu sebetulnya. Karena apa? Yang kita urusin misalnya soal kebijkan pemerintah. Kemudian soal bagaimana kita melakukan kegiatan-kegiatan sosialisasi kepada berbagai pihak. KPB itu melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Ngumpulin kepala sekolah-kepala sekolah, guru-guru, kemudian bagaimana penanggulangan bencana itu ada di dalam lingkungan sekolahan. Ini tiga program besar ya. 

Dengan capaian-capaian yang telah disebutkan, bagaimana LPBI NU menilai keberhasilan program? 

Ya, sebenarnya capaian-capaian ini 80 persenlah, karena di dua kabupaten yang mestinya di tahun pertama seharusnya sudah terbit, tapi nyatanya belum. Di tahun kedua ini tetap dilaksanakan. Ya, terpaksa diundur di tahun kedua. Kita juga di tahun kedua ini melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang Perda penanggulangan bencana. Jadi, Perda yang sudah disyahkan itu disosialisasikan ke masyarakat dalam bentuk woro-woro, seminar, workshop, pengumuman di pengajian-pengajian.

Penyebab ketidakberhasilan di dua kabupaten itu apa?  

Sebenarnya begini. Fungsi kita itu kan sifatnya hanya mendorong. Kalau yang didorong itu sikapnya belum begitu terbuka, maka kita akan kesulitan juga. Kalau lamban masih mending. Kadangkala responnya rendah. Jadi misalkan kita ke eksekutif atau ke legislatif yang punya kewenangan untuk membentuk Perda, kemudian respon mereka itu seakan-akan kurang membutuhkan. Nah, itu kemudian yang jadi problem. Itu problem pertama. Problem kedua, kadangkala juga itu kelemahan dari tim kabupaten dalam melakukan negosiasi, lobby, sehingga tingkat komunikasi, intensitas pertemuan, bagaimana memberikan penjelasan betapa pentingnya Perda ini nggak ada. Itu kemudian berpengaruh juga kepada tingkat penerimaan eksekutif dan legislatif sehingga kemudian menganggap ini kurang begitu penting. Tetapi melalui proses pendampingan juga. Jadi, yang melakukan itu tidak hanya tim daerah, tetapi tim dari Jakarta; dari pusat juga melakukan itu, saat monitoring. Kita juga ikut melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah. Tapi eksekusinya kan tim yang ada di daerah.

Kenapa setiap daerah tidak memililki peraturan penanggulangan Bencana? 

Belum semua daerah punya kehendak untuk menyusun peraturan ini karena memang begini: ada satu probem utamanya adalah, mestinya kewajiban provinsi, kabupaten dan kota untuk melanjutkan peraturan yang sudah ada karena semua peraturan itu kan dia kan butuh kaki. Kalau aturan dibuat kemudian tidak ada implementasi, ya buat apa. Artinya, ketika di tingkat pusat ada undang-undang, otomatis mestinya di tingkat daerah juga harus ada Perda, karena perundang-undangan tertinggi di tingkat daerah  itu ya perda itu, kalau di tingkat nasional kan Undang-Undang. Cuma problemnya waktu itu di Depdagri itu, ada semacam peraturan pemerintah yang menyatakan tingkat kabupaten/kota itu “dapat”; ada kata-kata “dapat”. Kata dapat ini banyak dimaknai boleh iya, boleh tidak. Bukan harus. Jadi, kabupaten/kota “dapat” membuat kelembagaan penaggulangan bencana. Artinya kata “dapat”, bisa iya, bisa tidak kan begitu. Itu tidak tepat. Undang-Undang kok “dapat” seharusnya “harus’. Peraturan pemerintah itu kan di bawah Undan-Undang, yang boleh memansukh itu kan peraturan yang lebih tinggi kan. Indonesia ka begitu, kadang peraturan yang lebih rendah malah kemudian menasakh peraturan yang lebih tinggi. Contohnya Perda dikebiri oleh Perbup. Padahal dalam perundang-undangan itu, kekuatan hukumnya itu di bawah Perda. 

Sebagai tanda keberhasilan program LPBINU itu apa?

Tolok ukur keberhasilan LPBI NU, dari tahun pertama dari delapan kabupaten itu, sudah terbit perda penanggulangan bencana. Kecuali yang masih dalam proses itu di Bojonegoro dan Lumajang. Di enam kabupaten itu sudah terbentuk itu. Itu yang pertama. Yang kedua, kita juga melakukan di tingkat daerah itu terjadi kerjasama-kerjasama penanggulangan bencana antara NU dan pemerintah dalam penanggulangan bencana. Ini yang kedua. Ini sangat efektif. Yang selama ini biasanya kan, hubungan NU dan pemerintah itu hanya bersifat kerja sama dalam keagamaan tidak hanya. Itu yang utama keagamaan. Jarang sekali kerjasama dalam bentuk masalah-masalah riil di masyarakat, masalah-masalah sosial lainnya. Kalau ada inisiatif perda ya perda yang berkaitan dengan keagamaan, yang langsung mengatur kehidupan keagamaan.

Yang ketiga, ada peningkatan kapasitas di tingkat masyarakat. Karena memang kan masyarakat ini kita latih sampai beberapa kali. Tidak hanya sekali tentang bagaimana melakukan menenggulangi bencana yang efektif dan efisien. Jadi, per kabupaten, kalau dihitung per kabupaten 25 orang. Jadi, sekarang ada 200 orang terdidik ini kader NU, yang sampai empat kali di masing-masing kabupaten itu itu mengadakan pelatihan. Jadi, kalau empat kali dilatih mereka nggak punya kemampuan, ya istilahnya itu, parah, ya.