Wawancara

Lewat Sistem Sel, LDNU Ciptakan "Bola Salju" Dakwah

Senin, 2 Juli 2012 | 04:29 WIB

Menabur kebaikan melalui dakwah merupakan kebutuhan. Peran ini pun dapat dilakukan dengan berbagai metode, sarana dan saluran yang mendukung efektifitas penyebarluasan. Dalam konteks ini, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) tengah berupaya mengambil peran yang sestrategis mungkin.

<>

Untuk mengembangkan nilai-nilai keaswajaan (moderasi, toleransi, dan keseimbangan), pilihannya jatuh pada pola yang ia sebut sebagai model dakwah “sistem sel”. Yaitu, sebuah strategi dakwah yang berbeda dengan cara-cara dakwah konvensional selama ini. Untuk mengetahui ulasan model dakwah sistem sel dan karakteristik dakwah NU, berikut wawancara Mahbib Khoiron (NU Online) dengan Ketua Pengurus Pusat LDNU Dr KH Zakky Mubarak.

Apa sebetulnya maksud dari dakwah sistem sel yang dikembangkan LDNU?

Kita ini kan sedang mengkader sekian banyak dai. Dari dai-dai yang sudah kita kader ini, mereka itu bikin ta’lim (majelis  ta’lim, red) lagi di sekian tempat. Nah, dari ta’lim itu akan dikader lagi, begitu seterusnya. Seperti bola salju, yang digelindingkan dari bukit, mulai dari kecil, sampai di bawah menjadi semakin besar dan semakin besar. 

Nah, proses itu tetap kita pantau sehingga menjadi luas. Misalkan, yang sekarang ini ada 71 orang. Dari jumlah ini nanti akan bikin ta’lim lagi, dari ta’lim ini kemudian mengkader ta’lim lagi secara berantai. Kita mengkader mereka selama tiga bulan. Rencananya setelah ini nanti juga akan ada gelombang kedua. Jadi, secara bergulir, perkembangan dakwah akan menjadi semakin luas. Dan semua itu akan terus dimonitor oleh kita sehingga pada satu waktu mereka bisa berkumpul dalam berapa bulan sekali dalam satu forum. Dan mereka akan terus dibina. Tidak kemudian dilepas, tidak. Termasuk kita berikan kepada mereka bimbingan-bimbingan dakwah tertulis dan seterusnya. Kira-kira gambaran umumnya begitu.

Apa pandangan LDNU tetang Dakwah yang selama ini berkembang?

Dakwah yang selama ini berkembang biasanya ada pengkaderan lima hari atau seminggu, lalu bubar. Nah, sekarang ini nggak. Kita ikat. Kemudian dari mereka itu kita minta partisipasinya untuk megembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Jadi dakwah yang dikembangkan adalah Aswaja. Semua yang sudah kita kader itu kita bekali pemahaman tentang Ahlussunnah wal Jamaah, sehingga mereka ketika terjun di masyarakat punya pedoman yang kuat untuk berdiskusi dengan kelompok lain, tentu dengan cara sebijaksana mungkin. 

Dari mana inspirasi penerapkan dakwah sistem sel ini?

Kita belajar dari pengalaman yang ada. Selama ini, dakwah sekali, terus bubar, kan begitu? Nggak ada ikatan yang kuat. Nah, yang ini (dakwah sistem sel, red) ada ikatan yang kuat. Semakin besar jaringannya, sehingga itu dapat digerakkan. Mereka juga dapat saling berkoordinasi tentang masalah-masalah baru; masalah-masalah dakwah, masalah-masalah keagamaan, dan sebagainya. Terus terang, mereka itu cepat dan mudah saling terhubung. Misalnya, dalam pelatihan kita kasih tulisan, misalnya, mengenai pegangan Ahlussunnah wal Jamaah dalam mengembangkan akidah. Itu kita kirim, nah mereka akan sebarkan lagi. Jadi cepat. 

Perkembangan dakwah sistem sel yang sudah berjalan seperti apa?

Perkembangannya cukup bagus. Mereka malah minta nambah lagi, bukan tiga bulan, jadi enam bulan. Makanya pada 3 Juli nanti akan ada rombongan lain. Jadi ada angkatan pertama, ada angkatan kedua. Angkatan pertama, mereka tidak ingin selesai, ingin terus lagi. Nanti mereka juga akan dikasih kesempatan bergiliran dengan dai-dai lain untuk ceramah 10 menit. Yang kita lakukan ini praktik dakwahnya 80 %, sedangkan materi dakwahnya 20% saja. Jadi mereka senang karena praktiknya itu, karena di tempat lain biasanya terlalu banyak teorinya. Di pelatihan ini mereka bicara satu persatu selama 7-10 menit, kemudian  kita evaluasi. Mereka berkali-kali di mimbar kita, sehingga mereka jadi terbiasa. Adapun kekurangan-kekurangan selalu kita perbaiki.

Kalau soal materi dakwahnya sendiri?

Kalau soal materi mereka banyak mengambil dari buku-buku yang pernah saya susun. Di antaranya, “Riyadhul Mu’min: Lima Puluh Hadits Shahih Membahas Akidah, Syari’ah dan Akhlak”. Buku ini merupakan himpunan hadits shahih yang dijabarkan secara luas yang dikaitkan dengan hadits-hadits lain dan ayat al-Qur’an. Mengenai Ramadhan, kita juga sudah punya buku, judulnya Shiyam Ramadhan, Tuntunan dan Hikmahnya. Itu adalah bahan yang membahas banyak permasalah seputar Ramadhan. Termasuk juga, buku Menjadi Cendikiawan Muslim, yaitu kajian-kajian Islam secara intelektual. Bagaimana berdakwah secara intelektual, ya pakai itu. Ada juga Al-Asma’ul Husna, Jalan Menuju Allah SWT. Terus ada lagi, kumpulan-kumpulan ayat dan hadits dan ini kita berikan langsung kepada mereka. 

Terkait dengan etika dakwah Islam, LDNU melihatnya bagaimana?

Dakwah itu tidak boleh bersifat reaksioner. Dakwah kita sifatnya tabayyun (klarifikasi), menjelaskan saja. Misalkan hendak menyampaikan bid’ah itu apa, maka mesti dibahas secara ilmiah. Kenapa kita mengadakan peringatan maulid, itu semua kita sampaikan menurut agama secara ilmiah. Tapi itu semua sifatnya tabayun untuk menjelaskan, ini lho ajaran kami. Kita tidak menyerang yang lain. Memberikan pemahaman kepada orang lain bahwa apa yang kita pegang itu kuat.

Makanya kita ingin mengembangkan apa yang kita sebut “ummatan wasathan”. Ummatan wasathan adalah pengembangan sikap yang moderat, pertengahan, tidak ekstrem. Selama ini kan kita jumpai ada dua kelompok dalam perkembangan terakhir dari masarakat muslim. Ada kelompok literal yang sangat kaku, dogmatis, tekstualis, keras; yang kedua kelompok yang liberal, longgar, tidak ada pedoman yang baku, kemudian menafsirkan seenaknya. Nah, kita menarik kedua kelompok tadi ke tengah. Sehingga tidak terjebak pada wilayah ekstrem. Kita mengkajinya juga secara integral, menyeluruh, holistik dan mendalam. Komprehensif. Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits kita kaji secara keseluruhan, baru kita bisa mengambil kesimpulan. Itu yang disebut dengan ummatan wasathan. 

Menaggapi penyampaian dai atau khatib yang kadang bersifat provokatif?

Kita nggak. Dakwah kita mempunyai sifat pertama, mengajak kepada hikmah. Yang kedua, mengusahakan untuk mencerdaskan umat dalam memahami agama. Yang ketiga, mengaplikasikan ilmu-ilmu agama dalam kehidupan modern. Yang keempat, membimbing para dai supaya tidak ada kesan menggurui. Hilangkan itu menggurui! Apalagi provokatif, menggurui aja tidak boleh. Kita harus kedepankan sistem dakwah yang dialogis. Kelima, mengembangkan toleransi (tasamuh) sesama umat Islam maupun dengan non-muslim. 

Terkait dengan khutbah, khutbah itu di zaman Rasulullah adalah wahana untuk mengkader umat. Jadi khutbah itu pertama, materinya harus bermutu. Kedua, materinya harus bisa dipahami secara maksimal oleh jamaah. Ketiga, pengambilan sumbernya jelas, yaitu al-Qur’an, As-Sunnah, Ijama’ dan Hadits. Kemudian keempat, mengembangkan ukhuwah, yakni ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama bangsa), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia) sebagaimana dikembangkan oleh NU. Sehingga dengan demikian jamaah akan mendapat pengetahuan yang bermutu, yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan dia juga sangat menyenangi dainya. Kalau dainya sering memaki-maki, orang juga tidak senang. 

Program dakwah memang membutuhkan penataan-penataan yang bijak. Baik tema-temanya maupun para pendakwahnya. Dalam pelatihan yang kita selenggarakan, kita bekali itu semua, minimal garis-garis besarnya.